Siswa mengikuti Ujian Praktik Kejuruan di bengkel kendaraan ringan SMK Negeri 3 Yogyakarta, Jetis, Yogyakarta, Senin (19/2/2018), sebagai alat ukur pencapaian kompetensi siswa selama di sekolah. Pendidikan vokasi akan jadi tumpuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Namun, pembenahan pendidikan vokasi itu hingga kini belum optimal.
JAKARTA, KOMPAS – Separuh penduduk usia produktif Indonesia adalah generasi milenial. Namun, kualitas mereka masih rendah. Keterampilan dan produktivitas mereka tak hanya kalah bersaing dengan negara lain, tetapi juga oleh robot.
Harapan lama sekolah tenaga kerja Indonesia memang sudah lebih dari 12 tahun, tapi rata-rata lama sekolahnya baru 8 tahun. Keterampilan kerja serta kemampuan matematika, sains dan membaca mereka termasuk rendah. Mereka juga punya beban stunting (tumbuh pendek) di masa balita yang membuat otak dan fisiknya kurang berkembang optimal.
Dengan segala keterbatasan itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit di Jakarta, Kamis (27/9/2018) menilai pendidikan vokasi di tingkat sekolah menengah dan pelatihan bagi yang sudah bekerja bisa jadi solusi untuk mendongkrak keterampilan mereka.
"Dengan pendidikan vokasi, mereka seharusnya bisa langsung masuk ke pasar kerja," katanya. Hanya dengan keterampilan yang memadai dan terserapnya generasi milenial ke pasar kerja akan membuat bonus demografi dan cita-cita Indonesia Emas 2045 dengan ekonomi maju dan berkelanjutan bisa tercapai.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam kunjungan ke Universitas Jember, Jawa Timur, mengatakan 88 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan setara atau kurang dari SMA/SMK. Karena itu, pendidikan vokasi disiapkan bukan hanya agar mereka siap masuk pasar kerja, namun juga berwirausaha mandiri.
Kompas
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 3 Purbalingga, Jawa Tengah, sedang mengerjakan praktek teknik pengelasan di bengkel praktikum sekolah, Senin (21/11/2016). Pembenahan SMK mendesak dilakukan hingga mereka bisa langsung diserap pasar kerja.
Setengah hati
Meski dianggap penting, penguatan pendidikan vokasi di Indonesia dinilai Anton masih setengah hati. Pemerintah dan masyarakat masih menganggap vokasi sebagai pendidikan kelas dua, kalah dengan pendidikan umum dan profesi. Besar gaji mereka pun masih kalah dengan lulusan pendidikan umum lain meski seringkali mereka punya keterampilan lebih baik.
Upaya perbaikan SMK sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing SDM Indonesia belum optimal. Pengembangan SMK pun menjadi sangat bergantung pada kesadaran pemerintah daerah sebagai pengelola SMK.
Akibatnya, banyak pemerintah daerah membangun SMK tanpa guru, laboratorium, bengkel dan peralatan penunjang yang memadai. "Kebijakan penganggaran untuk sekolah kejuruan masih banyak yang belum tepat," kata Koordinator Bidang Advokasi dan Investigasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Nailul Faruq.
SMK pun banyak dibangun tanpa ditopang keberadaan industri dan potensi di sekitarnya hingga siswa tak bisa praktik, seperti SMK multimedia yang dibangun di daerah berbasis pertanian atau kelautan. Pendidikannya pun masih lebih banyak teori yang seringkali teori lama yang tak sejalan dengan perkembangan industri dan teori yang tak memiliki hubungan dengan peningkatan keterampilan siswa.
"Terbatasnya industri di daerah membuat kemitraan SMK dengan dunia usaha dan industri jadi terbatas," kata Kepala Subdirektorat Penyelarasan Kejuruan dan Kerja Sama Industri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Saryadi.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Calon petani dan penyuluh pertanian di Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan, Kabupaten Batanghari, Jambi, Senin (10/10/2016), praktik di lapangan menanam bawang. Meski generasi milenial lebih tertarik masuk ke sektor industri jasa, pengembangan pertanian tidak boleh dilupakan karena menopang kebutuhan pangan Indonesia ke depan.
Belum kuatnya keterikatan antara SMK dengan dunia usaha dan industri sekitarnya membuat banyak lulusan SMK menganggur. Bahkan, jumlah pengangguran lulusan SMK paling tinggi dibanding kelompok pendidikan lain.
Studi Lembaga Demografi Universitas Indonesia pada Oktober 2017 menunjukkan lulusan SMK yang paling banyak menganggur berasal dari jurusan teknik komputer dan informatika, otomotif, perminyakan, teknik elektronika dan teknik furnitur.
Kalaupun ada lulusan SMK yang terserap industri, industri harus melatih mereka terlebih dahulu hingga tidak efisien dan boros biaya. "Lulusan SMK masih belum sesuai kebutuhan industri," tambah Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani.
Selain dukungan industri sekitar, pengembangan SMK seharusnya disesuaikan dengan kebijakan besar pemerintah, bukan berdasar tren di daerah lain yang belum tentu cocok diterapkan di tempat berbeda. Meski industri pariwisata sedang berkembang di banyak daerah dan diminati banyak generasi milenial, pengembangan SMK yang menopang industri manufaktur dan pertanian tidak boleh dilupakan.
"Pembangunan infrastruktur yang masif oleh pemerintah seharusnya mendorong pertumbuhan industri manufaktur sehingga kebutuhan tenaga pendukung juga diperlukan," katanya. Selain itu, sebagai negara agraris, sektor pertanian akan tetap dibutuhkan sehingga perlu upaya serius menarik minat anak muda masuk ke vokasi bidang pertanian.