Kreativitas Guru Dobrak Keterbatasan Sarana Belajar
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Sejumlah guru di Pulau Sumba berhasil meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung siswanya. Mereka menciptakan cara belajar efektif dengan memanfaatkan potensi di sekitar mereka
JAKARTA, KOMPAS – Berada di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal dengan segala keterbatasannya tidak menyurutkan semangat para guru untuk mengembangkan kreativitas menciptakan cara mengajar yang efektif sekaligus menyenangkan. Hal ini bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi para siswa sekolah dasar.
Hal itu antara lain dilakukan para guru di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur yang berada di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Para guru kreatif memanfaatkan potensi yang ada di sekitar mereka untuk mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan.
Guru kelas II SDN Pogotena Sumba Barat Daya, Heronima Gole Rere, misalnya, mengubah pendekatan yang awalnya bersifat searah menjadi menyenangkan. Caranya, siswa diajak menggambar binatang-binatang di sekitar sekolah, kemudian menulis namanya. Walhasil, penguasaan siswa atas huruf, suku kata, dan kata meningkat dua kali lipat kecepatannya.
Siswa dan guru memanfaatkan sisa-sisa kertas karton dan pensil berwarna untuk menggambar. Untuk berhitung digunakan kerang beraneka ragam.
"Sekolah kami tidak memiliki listrik. Tetapi, kami punya kelebihan yaitu berada di tengah padang rumput. Di sekitar sekolah ada banyak binatang ternak merumput,” katanya dalam diskusi Prospek Gerakan Literasi di Daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) di Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Diskusi diprakarsai oleh Inovasi, sebuah program kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan pemerintah Australia. Inovasi melaksanakan program pelatihan dan pemberdayaan guru di Pulau Sumba sejak tahun 2016.
Sementara itu, guru kelas I SDN Kadahang, Sumba Timur, Sarvina Mbali Rima mengerahkan para orangtua murid untuk ikut mengawasi pembelajaran. Ketika menyusun modul pelajaran, guru memeragakannya di depan orangtua. Metode ini melatih kemampuan guru berkomunikasi secara jelas dan menarik.
Manajer Evaluasi, Penelitian, dan Pendidikan Inovasi Rosita Purba dalam paparannya mengatakan, per tahun 2016, sebanyak 21 persen siswa di Sumba terpaksa mengulang di kelas II karena tidak lancar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Bahkan, 30 persen siswa di kelas II tidak bisa membaca.
Hal ini diperdalam dengan melakukan ujian kepada siswa kelas I, II, dan III dengan soal dari Pusat Penilaian Pendidikan Kemdikbud. Tidak hanya siswa, guru juga diuji pengetahuannya menggunakan materi ajar untuk kelas IV. Total ada 189 guru dan 1.315 siswa dari 44 SD yang diuji.
“Selain itu, juga ada wawancara siswa dan guru mengenai mata pelajaran kesukaan mereka, jenis buku yang suka dibaca, ketersediaan bahan bacaan, persepsi guru soal mengajar, hingga pendapat atas dukungan pengawas dan kepala sekolah,” papar Rosita.
Hasil ujian tersebut mengejutkan karena 78 persen siswa tidak lulus tes yang mencakup pengenalan huruf, suku kata, dan kata. Bahkan, 56 persen siswa kelas III ternyata juga mendapat nilai buruk di ujian tersebut.
“Apabila tidak bisa mengenal suku kata, tidak mungkin bisa membaca kalimat, apalagi memahami teks,” ujar Rosita.
Faktor lain yang juga berpengaruh kepada kemampuan literasi dan numerasi siswa adalah adanya perundungan di sekolah serta guru maupun tenaga kependidikan masih menerapkan hukuman yang menyakiti fisik maupun psikis siswa. Akibatnya, siswa tidak termotivasi untuk belajar di sekolah. Terungkap pula belum semua guru mengerti secara mendalam materi yang harus mereka ajar.
Manfaatkan bahasa daerah
Veronika Ipa Hoy, guru kelas I SDN Bali Lora, Sumba Barat Daya yang juga fasilitator daerah Inovasi mengungkapkan, umumnya guru berpikir bahwa siswa harus lancar calistung di kelas satu. Hal ini mengakibatkan guru menerapkan sistem menghafal huruf dan angka kepada siswa. Padahal, mayoritas siswa di wilayah tersebut tidak pernah mengalami pendidikan di PAUD dan TK.
“Pertama kali melihat huruf dan angka baru di bangku kelas I. Dulu, semua kami jejalkan ke anak sehingga mereka trauma,” tuturnya.
Salah satu intervensi yang dilakukan Inovasi ialah mengenalkan setengah dari materi pelajaran dengan menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Kapunduk. Ketika siswa sudah menangkap konsep pelajaran, guru beralih menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu, guru diberi pemahaman bahwa mengajar calistung tidak berarti menyuruh siswa menghafal dan mengulang-ulang pola menulis huruf. Justru, siswa diakrabkan dengan huruf melalui cara yang menyenangkan