Warga Kampung Apung Berharap Pemerintah Pulihkan Fungsi Saluran Air
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 25 tahun, warga Kampung Apung, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, berjuang meneruskan hidup di atas genangan air sedalam 2 meter. Tawaran relokasi tak digubris, warga berkeras tempat itu masih mungkin dikeringkan jika perbaikan saluran air digarap secara serius.
Tokoh masyarakat setempat, Djuhri (60), menyatakan, relokasi merupakan cermin kemalasan pemerintah. ”Sebelum menawarkan opsi itu, seharusnya pemerintah terlebih dulu memulihkan fungsi saluran air di daerah ini,” kata Djuhri, Rabu (12/9/2018).
Saluran air di daerah Kapuk yang dimaksud Djuhri itu membentang sepanjang Jalan Kapuk Raya dan bermuara di Kali Angke. Namun, kondisinya kini sangat memprihatinkan. Selain keruh dan berbau, air di saluran itu juga sama sekali tak mengalir. Hampir di semua lokasi, kedalaman saluran itu hanya sekitar 30 sentimeter.
”Saluran air di sini sudah enggak berfungsi, endapan lumpur dan sampah sudah terlalu parah,” ujar Djuhri. Tahun 2014, Kampung Apung pernah dikeringkan, tetapi tak sampai dua hari kemudian air sudah kembali menggenangi tempat itu.
Sebanyak 200 keluarga yang tinggal di tempat itu perlahan menyesuaikan hidup dengan kerusakan lingkungan itu. Rumah-rumah panggung dibangun di atas rumah lama mereka yang telah tenggelam sepenuhnya.
”Sebagian wilayah yang terendam ini dulunya kompleks pemakaman TPU Kapuk Teko, ada sekitar 3.800 nisan yang kini terendam,” kata Djuhri. Menurut keterangan dia, daerah makam itu pada tahun 1980-an adalah daerah yang paling tinggi di Kelurahan Kapuk.
”Enggak pernah ada cerita kami kebanjiran, justru orang lain yang ngungsi ke sini karena banjir,” ujar Juhri. Namun, sejak 1988 situasi itu perlahan berubah. Kampung Apung, yang saat itu masih dikenal sebagai Kapuk Teko, perlahan juga ikut tergenang ketika musim hujan.
Pada 1993, air yang datang ketika musim hujan tak juga kering ketika kemarau tiba. Kemudian, perlahan genangan air itu bertambah tinggi dan akhirnya menenggelamkan rumah warga hingga tak bersisa.
”Kalau di lokasi pemakaman aja tinggi airnya 2 meter, berarti yang di tempat permukiman ini bisa setinggi 4 meter hingga 6 meter,” kata Supinah (47). Supinah yang sejak lahir tinggal di kampung itu kini tinggal di atas rumah panggung yang dibangun di atas rumah lamanya yang sudah tenggelam seluruhnya.
Kawasan Kapuk hingga sekitar Tangerang, Dadap, dan Tanjung Kai merupakan hunian warga Betawi dan Tionghoa Benteng. Mereka hidup bertetangga dengan perumahan mewah, ribuan rumah toko, marina tempat kapal pesiar, Bandara Soekarno-Hatta, dan ratusan pabrik (Kompas, 7/3/2007).
”Sekitar tahun 1980, kampung ini tak kalah indah dengan Pantai Indah Kapuk. Waktu itu, kampung ini dikelilingi sawah dan pohon buah,” ujar Djuhri.
Kini, tak ada lagi satu pun pohon atau sepetak sawah pun di tempat itu. Kenangan yang tersisa dari masa itu tinggal sebuah surau yang hanya menyisakan sedikit atapnya dan reruntuhan bioskop yang telah dijadikan lapak pedagang ikan cue.
Jan Sopaheluwakan, peneliti geoteknologi yang pernah bekerja di LIPI, menyatakan, kondisi di Kampung Apung itu disebabkan setidaknya tiga hal. Penurunan muka tanah, perubahan iklim, dan kondisi ekonomi warga menjadi simpul penyebab bencana itu.
”Warga di sana tidak punya kemampuan finansial untuk mengurangi banjir akibat penurunan muka tanah karena ekstraksi air tanah secara kolektif oleh industri dan warga sendiri,” kata Jan. Menurut dia, penurunan muka tanah di Jakarta berkisar antara 7,5 sentimeter dan 12 sentimeter per tahun.
Selain itu, faktor perubahan iklim dan kondisi saluran air buruk juga semakin memperparah keadaan Kampung Apung. Kian hari, genangan air di Kampung Apung semakin tinggi. ”Entah sampai kapan kami punya cukup uang untuk meninggikan rumah,” ujar Djuhri. (PANDU WIYOGA)