JAKARTA, KOMPAS — Warga Kampung Apung, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, bertahan tinggal selama 25 tahun di lingkungan mereka yang digenangi air setinggi 2 meter. Permukaan tanah yang lebih rendah dari sekitarnya menjadikan tempat itu kini serupa dengan danau.
Kampung Apung terletak sekitar 20 meter sebelah utara Jalan Kapuk Raya. Dari jalan itu, Kampung Apung tidak terlihat karena tertutup sejumlah ruko dan pabrik. Untuk masuk ke kampung tersebut, warga harus melewati jalan beton selebar 1 meter.
Dari jalan beton itu terlihat belasan rumah panggung milik warga yang berdiri di atas air berwarna hijau. Sekilas, tidak ada yang salah dengan pemandangan tersebut. Airnya tampak tenang dan cukup bersih. Beberapa anak kecil bermain riang di sekitar jalan beton itu.
”Sebenarnya di bawah air itu kuburan, ada sekitar 3.000 nisan yang kerendem air,” kata Lina (38), warga asli Kampung Muara, Jumat (7/9/2018). Ia menjelaskan, kampung itu mulai terendam air sejak 1993.
Lina mengatakan, meskipun merupakan kompleks pemakaman, dulunya tempat itu rimbun dan indah. Di sana pernah ada gedung bioskop yang setiap sore ramai dikunjungi warga. Kini, reruntuhan bioskop itu digunakan sebagai lapak penjual ikan cue.
”Sedih kalau ingat zaman dulu sebelum pabrik-pabrik itu datang dan membuat kami kebanjiran,” ujar Aisyah (53).
Kampung Apung sekarang memang dikelilingi sejumlah pabrik yang berdiri di tanah lebih tinggi.
Aisyah menuturkan, ketika permukaan tanah di Kampung Apung perlahan turun, sejumlah pabrik itu menimbun untuk meninggikan tanah. ”Mereka punya duit buat beli tanah. Kami yang enggak punya duit harus rela kampung ini jadi danau,” lanjutnya.
Bencana yang melanda Kampung Apung memang unik. Meskipun dampaknya dahsyat, sekilas genangan air di kampung tersebut terlihat biasa saja. Sama sekali tidak terlihat, di bawah genangan itu terdapat puluhan rumah warga dan ribuan nisan.
”Yang dulunya atap, sekarang jadi lantai,” ujar Jaja (52), petugas kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta. Sejak September 2017, Jaja dan dua petugas kebersihan lainnya ditugasi memunguti sampah dan juga tumbuhan air yang sudah 20 tahun menumpuk di tempat itu.
Selama satu tahun belakangan, Jaja dan dua kawannya berusaha keras membersihkan genangan air itu agar tidak meluap ketika banjir. Namun, tantangan terbesar mereka bukan sampah, melainkan perang melawan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan mata lele (Famili lemnaceae).
”Kalau sampah, dulu pernah dibersihkan bersama petugas kebersihan lainnya, tapi kalau tumbuhan, setiap hari mereka makin banyak,” kata Jaja.
Jaja dan dua kawannya kewalahan mengendalikan penyebaran kedua jenis tumbuhan itu.
Bahaya banjir
Sebagian besar warga yang tinggal di tempat itu memang telah meninggikan rumahnya. Namun, permukaan air yang kini semakin tinggi tetap mengancam. Jarak antara lantai rumah dan permukaan air kini tidak sampai 50 sentimeter.
”Kalau hujannya cukup lama dan deras, air tetap bakal masuk rumah. Tinggi airnya bisa sampai 30 sentimeter,” ujar Jaja.
Menurut dia, masalahnya, di tempat itu tidak ada saluran yang cukup besar untuk mengalirkan genangan air yang bertambah saat musim hujan.
Meskipun tinggal di tempat tidak layak huni, sejumlah warga mengatakan, pemerintah belum pernah menawarkan relokasi kepada mereka. ”Kalau dipindah, sih, mau-mau aja, yang penting tempatnya nyaman dan enggak begitu jauh dari sini,” ucap Sri (43).
Sri mengeluh, sejak banjir menggenangi tempat itu, biaya hidup jadi bertambah mahal. Setiap hari, ia harus merogoh kocek Rp 15.000 untuk membeli air bersih sebanyak 15 liter. Air sumur di rumah Sri sudah tidak bisa dikonsumsi karena berwarna kuning dan berbau.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasojo, mengatakan, kasus banjir di Kampung Apung tidak bisa ditangani sepihak oleh pemerintah. Menurut dia, sebaiknya warga diberi ruang untuk memutuskan yang terbaik bagi mereka.
”Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan kebijakan relokasi. Yang paling sulit adalah menjaga ikatan sosial warga sebagai komunitas yang telah terbangun selama puluhan tahun,” kata Imam. (PANDU WIYOGA)