Pondok Indah telah bermetamorfosis. Pemukiman yang tahun 1970-an masih jauh dari pusat kota, kini menjadi hunian elite di tengah kota dengan harga selangit. Hanya satu yang bertahan di Pondok Indah, keindahan dan keasrian lingkungannya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pohon Trembesi tua yang besar dan kokoh menaungi Jalan Metro Duta Niaga, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat (31/8/2018). Saat awal dikembangkan, kawasan Pondok Indah memang dirancang menjadi hunian elite yang hijau, asri, dan nyaman untuk penghuninya.
Pohon Trembesi tua yang besar dan kokoh menghalangi terik matahari, saat menelusuri Jalan Metro Duta Niaga, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (30/8/2018). Masuk ke kompleks perumahan mewah Pondok Indah, deretan pohon Mahoni tua menaungi sisi kiri-kanan jalan. Cericit burung yang bertengger di ranting pohon masih sesekali terdengar.
Tinggal di sebuah permukiman elite dengan lingkungan yang tertata rapi, dinaungi dengan pepohonan rindang nan asri adalah dambaan setiap orang. Bermukim di lingkungan seperti itu di ibu kota merupakan privilese bagi segelintir orang.
Irmajanti Muliadi (72), masih ingat saat pertama kali ia pindah ke Pondok Indah di tahun 1977. Saat itu, kawasan Pondok Indah masih sangat sepi dan jauh dari pusat kota. Namun, pesona lingkungan yang hijau, asri, dengan jalan dan trotoar yang tertata, membuat Irmajanti dan suami jatuh hati pada sebuah kavling di Jalan Duta Permai III.
Sebelumnya, dia sudah melihat-lihat kavling di Permata Hijau. Sebenarnya, secara geografis, kala itu Permata Hijau lebih dekat dari pusat kota seperti Harmoni dan Monas. Namun, karena lingkungan di Pondok Indah lebih asri, Irmajanti memilih membeli tanah di sana.
“Saat itu, harganya masih Rp 30.000 per meter persegi. Kami juga masih bisa menyicil hingga 18 bulan. Jadi ambil tanah kavling di Pondok Indah,” ujar Irmajanti, Jumat (31/8/2018).
Karena membeli tanah kavling, Irmajanti harus membangun sendiri rumahnya. Ia menyewa jasa arsitek dan pemborong yang ia kenal untuk merancang rumah impiannya. Saat pindah tahun 1977, rumahnya belum sepenuhnya jadi. Baru ada satu kamar yang ia tempati bersama suami.
Untuk berjaga-jaga dari ancaman maling, suaminya mengaitkan daun pintu dengan tali rafia dan kaleng minuman bersoda. Bila ada orang mencoba membuka pintu dari luar, terutama di malam hari, yang terdengar pertama kali adalah nyaring adalah suara kaleng.
Pada tahun itu, lingkungan rumah milik Irmajanti belum seramai saat ini. Saat itu, baru ada sekitar tiga rumah di Jalan Duta Permai III. Rumahnya masih dikelilingi hutan karet. Malam hari, sering terdengar suara jangkrik bahkan burung hantu.
DOKUMENTASI PRIBADI
Irmajanti Muliadi (72) berfoto dengan latar belakang hutan karet yang menjadi cikal bakal kawasan permukiman elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, tahun 1976. Sebelum dibangun menjadi kompleks permukiman elite, kawasan itu merupakan hutan karet dan tegalan.
Irmajanti juga menunjukkan foto dirinya dengan latar belakang hutan karet, tahun 1976, yang masih tersimpan di album foto kenangan. “Ular juga sering masuk ke rumah. Tahu-tahu ada sisik ular tertinggal di sofa, di lantai. Mungkin karena saat itu masih dikelilingi hutan karet ya,” kenangnya.
Pengalaman serupa dialami Stanny Mangunsong (75) yang pindah ke Pondok Indah tahun 1982. Ia juga masih merasakan kawasan di sekitar rumahnya dikelilingi hutan karet. Awal-awal pindah, Stanny juga kerap menemukan ular masuk ke dalam rumahnya.
Terkadang, bahan kayu di rumahnya dimakan rayap. Akhirnya, Stanny harus membongkar dan menerovasi total rumahnya.
Stanny yang dulu tinggal di Jalan Anyer di sekitar Tugu Proklamasi memilih tinggal di Pondok Indah karena kualitas lingkungan yang lebih baik. Apalagi, saat itu suaminya yang bekerja di PT Pembangunan Jaya Ancol ditawari untuk bisa mengambil kavling dengan kemudahan berupa sistem cicilan. Saat itu, Stanny dan Mangungsong memiliki empat orang anak.
“Suami saya ditawari langsung oleh Pak Ciputra untuk mengambil kavling di sini, karena dia karyawan Ancol. Saya sendiri membantu keuangan keluarga dengan menjahit pakaian,” cerita Stanny.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Irmajanti Muliadi (72) membaca koran di halaman belakang rumahnya, Jumat (31/8/2018). Rumah milik Irmajanti merupakan salah satu rumah yang masih dipertahankan keaslinan desainnya sejak tahun 1977 di dalam kompleks elite Pondok Indah. Saat itu, pengembang menerapkan aturan ketat bagi pemilik kavling saat membangun rumah.
Hunian ideal
Pengamat tata kota Nirwono Joga menuturkan, tak heran orang-orang kaya di Jakarta kala itu melirik kawasan Pondok Indah. Sebab, lingkungannya masih sangat sehat terlihat dari lingkungan yang masih hijau, dan air yang bersih.
Ciputra Grup, perusahaan pengembang yang merancang kawasan ini, menawarkan konsep hunian yang hijau dan asri. Secara geografis, Pondok Indah juga menghubungkan Blok M dan Ciputat, Tangerang Selatan.
Kawasan Pondok Indah semakin menjual karena kontur tanahnya berbukit-bukit. Tak heran, jika Nirwono menyebut kawasan itu bisa menjadi contoh hunian ideal yang mengedepankan konsep hijau di tengah kota.
“Dari hutan karet dan tegalan warga, Ciputra mengembangkan kawasan ini menjadi kompleks permukiman elite seperti di Menteng dan Kebayoran Baru. Permukiman dengan banyak taman dan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota,” kata Nirwono.
Para penghuni lama Pondok Indah pun mengakui, saat membangun rumah di tahun 1970-an akhir, pengembang sangat ketat menerapkan aturan. Pemilik lahan tidak boleh menutup seluruh tanah yang dimiliki dengan bangunan. Mereka harus menyisakan ruang untuk halaman, dan kebun atau taman di sisi belakang.
Warga juga tidak boleh membangun rumah lantai 2 langsung di sisi depan. Loteng atau lantai dua hanya diperbolehkan di sisi tengah bangunan.
Di sisi kiri dan kanan lingkungan rumah, pepohonan rindang mendinginkan suhu sekitar. Kontur tanah berbukit-bukit khas Pondok Indah lama juga masih terlihat saat memasuki kawasan ini.
Salah satu orang yang masih tinggal di kawasan ini adalah pengusaha properti sekaligus konseptor awal Pondok Indah, Ciputra.
Lapangan golf
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Lapangan golf Pondok Indah yang berada di dalam kompleks permukiman mewah Pondok Indah, Jumat (31/8/2018). Lapangan golf ini sudah ada sejak tahun 1976.
Saat blusukan ke sekitar area RW 014 Pondok Indah pun suasana asri kental terasa. Bahkan, ada salah satu kompleks super mewah yang berada di tengah-tengah lapangan golf Pondok Indah. Rumah di kompleks ini berukuran sangat besar dengan pemandangan langsung menghadap lapangan golf.
Lapangan golf menjadi salah satu penanda yang membuat kawasan ini tetap hijau, asri, dan nyaman. Lapangan seluas 54,5 hektare ini ada sejak tahun 1976.
Lapangan ini pernah digunakan untuk kejuaraan dunia golf di tahun 1983.
Pada Asian Games 2018, lapangan golf Pondok Indah menjadi arena pertandingan golf. Pengelola panen pujian dari berbagai negara seperti Thailand, Bhutan, India, dan Singapura. Pujian itu terkait kualitas lapangan golf.
Direktur Operasional PT Pondok Indah Padang Golf Budi Kosasih menuturkan, awalnya, lapangan golf dibuat untuk memfasilitasi warga Pondok Indah. Selain itu, latar belakang pendiri hobi bermain golf. Hingga kini, lapangan golf Pondok Indah termasuk lapangan berkelas internasional (championship course).
“Lapangan golf Pondok Indah akhirnya menjadi ikon di Jakarta Selatan, karena berada di pusat kota sehingga mudah dijangkau” kata Budi.
Budi menambahkan, kelebihan lapangan golf Pondok Indah adalah kualitas rumput, desain tata letak yang menarik, serta variasi tantangan yang tidak membosankan.
Saat ini, konsumen terbanyak sudah menjadi anggota, baik warga Pondok Indah maupun pengunjung dari luar. Rata-rata, kunjungan 3.000-4.000 orang per bulan.
Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam perkembangannya, Pondok Indah semakin maju dan pesat. Dari hutan karet, akhirnya kawasan itu menjadi permukiman elite dan pusat bisnis di Jakarta Selatan.
Ini berdampak pada meningkatnya harga tanah. Bila tahun 1970-an harga tanah Rp 30.000 per meter persegi, kini sudah mencapai Rp 40 juta per meter persegi.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kawasan pun jadi mahal. Kini, NJOP di Pondok Indah di atas Rp 23 juta per meter persegi. Kenaikan NJOP itu membebani para penghuninya, terutama saat membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Warga yang usianya tak lagi produktif, merasa terbebani dengan pajak. Akhirnya, mereka memilih menjual rumah atau menyewakannya. Jika hal ini terus dibiarkan, Nirwono memprediksi, kawasan Pondok Indah akan berubah dari kawasan hunian menjadi kawasan bisnis dan komersial.
“Pola yang sama sudah terlihat di kawasan Menteng dan Kebayoran Baru. Rumah-rumah dijual dan akhirnya berubah fungsi menjadi kantor, restoran, toko dan sebagainya,” kata Nirwono.
Jika berkeliling ke sekitar kawasan Pondok Indah, rumah-rumah terutama di pinggir jalan pun banyak dipasang plang disewakan. Apakah Pondok Indah akan berubah fungsi seperti kawasan lainnya? Perubahan fungsi peruntukan kota mungkin memang menjanjikan pundi-pundi uang. Namun, apakah kawasan itu siap dengan daya dukungnya? Karena naiknya aktivitas di sebuah wilayah tentu akan berpengaruh kepada kemacetan, sampah, pengambilan air tanah, dan rentetan masalah lainnya.
Sementara, Irmajanti dan Stanny berharap kawasan ini tetap menjadi pondok yang indah. Tempat menikmati usia senja dan mengenang kehangatan keluarga di tempat yang asri dan nyaman.