Rindi, Peraih Emas yang Kenyang Bertanding ”Nyeker”
Oleh
Dahlia Irawati
·3 menit baca
PROBOLINGGO, KOMPAS — Medali emas cabang olahraga panjat tebing nomor speed relay putra di Jakabaring Sport City, Palembang, Senin (27/8/2018), diraih oleh tim Indonesia. Para pemanjat tebing berkecepatan tinggi asal Indonesia tersebut adalah Muhammad Hinayah, Rindi Sufriyanto, dan Abudzar Yulianto. Rindi, pemanjat tebing asal Probolinggo, dahulu mengawali prestasinya dalam keterbatasan. Saking susahnya, ia tidak memiliki uang untuk membeli sepatu dan rela bertanding tanpa bersepatu alias nyeker.
Emas yang diraih Rindi kali ini adalah buah manis perjuangannya sejak lama. Pemanjat tebing kelahiran 15 Mei 1991 itu berjuang cukup keras untuk mendapatkan emas Asian Games 2018. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayah dan ibunya pernah bekerja menjadi TKI di Malaysia selama belasan tahun. Sang ibu, Juwartin, pernah bekerja selama 14 tahun di Malaysia. Sang ayah, Agus Hari S, bekerja selama tujuh tahun di Malaysia. Sudah lima tahun ini, keduanya pulang ke Indonesia.
Selama ditinggal kedua orangtuanya, Rindi tinggal bersama kakaknya, Rina Hasnita (33), di Desa Sukoharjo RT 001 RW 005 Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Rindi pun masuk ke dalam kartu keluarga (KK) sang kakak.
”Sejak SD dia tinggal bersama saya. Dia memang suka naik tangga sejak masih berumur dua tahun. Saat ada tukang membetulkan rumah, ia tahu-tahu sudah ada di atas atap naik tangga,” ujar Rina, Senin (27/8/2018).
Rina bercerita bahwa Rindi mulai serius menekuni panjat tebing saat duduk di kelas 1 SMKN 2 Probolinggo. Saking cintanya dengan panjat tebing, ia selalu bersemangat saat berangkat ke sekolah. Sebab, seusai sekolah Rindi bisa melanjutkan dengan latihan panjat tebing.
”Tekadnya pergi sekolah dan latihan panjat tebing sangat kuat. Ia rela naik sepeda dengan satu pedal dan satu kaki diletakkan di besi sepeda, hanya agar bisa datang ke sekolah tepat waktu,” kata Rina. Sepeda milik Rindi saat itu memang rusak (hanya memiliki satu pedal). Namun, ia rela mengayuh dengan sebelah kaki selama 4 kilometer (km) agar bisa sampai di sekolah tepat waktu.
Segala keterbatasan itu tidak membuat Rindi patah arang. Ia justru bersemangat berlatih dan mengikuti aneka kompetisi guna mengasah kemampuannya. ”Ia anak mandiri. Tidak mau saya kasih uang untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, untuk membeli sepatu panjat tebing pun ia tidak mau saya kasih. Ia berkata ingin membeli sepatu dari uangnya sendiri. Makanya, ia sering bertanding tanpa sepatu alias nyeker. Dan sering pula diingatkan panitia, bahkan terancam didiskualifikasi karena itu,” kenang sang kakak sambil tersenyum.
Perjuangan berat hidup Rindi justru seakan menjadi pengasah prestasi. Kemenangan demi kemenangan diraihnya. Bahkan, pemerintah Bengkulu menurut Rina, sempat ingin menarik Rindi menjadi atletnya. Saat itu, Rina mengingat lebih kurang tahun 2006.
”Uang hasil menang lomba terus ditabung hingga akhirnya dia bisa beli sepatu panjat tebing. Harga sepatu saat itu Rp 150.000. Kini harganya sudah Rp 450.000,” kata Rina. Rindi, menurut Rina, menabung selama dua tahun untuk bisa membeli sepatu sendiri. Sejak saat itu, Rindi tak lagi nyeker saat ikut kompetisi panjat tebing. Hingga kini, ia menjadi salah satu atlet berprestasi tingkat Asia.
Uang hasil menang lomba terus ditabung hingga akhirnya dia bisa beli sepatu panjat tebing. Harga sepatu saat itu Rp 150.000. Kini harganya sudah Rp 450.000.
Rindi sendiri, melalui pesan pendek kepada sang kakak, mengaku sangat bersyukur atas medali emas yang diraihnya bersama teman-temannya. Ia berterima kasih kepada Wali Kota Probolinggo, segenap pengurus Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI), dan KONI Kota Probolinggo, serta seluruh warga Kota Probolinggo atas dukungan untuknya.
”Dalam kesempatan ini saya ucapkan selamat Ulang Tahun Ke-73 RI dan selamat Hari Jadi Ke-659 Kota Probolinggo. Semoga anak-anak Kota Probolinggo nanti bisa meraih sukses untuk Indonesia,” kata Rindi.