Penyandang Disabilitas Mental Belum Jadi Perhatian Penyelenggara Pemilu
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hak penyandang disabilitas mental masih belum menjadi perhatian pada penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu masih menganggap penyandang disabilitas mental memiliki gangguan jiwa sehingga tidak mampu menggunakan hak suaranya.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga belum memiliki data pasti jumlah penyandang disabilitas mental. Oleh sebab itu, pada Pemilu 2019, penyelenggara pemilu perlu memperhatikan hak penyandang disabilitas mental.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti, Jumat (24/8/2018), menjelaskan, penyelenggara pemilu masih belum mampu memfasilitasi hak penyandang disabilitas mental dalam proses elektoral.
”Berdasarkan catatan kami pada Pemilu 2014, dari belasan ribu penyandang disabilitas mental di rumah sakit jiwa dan panti sosial seluruh Indonesia, hanya sekitar 2.000 orang yang bisa menggunakan hak pilihnya,” ujarnya dalam konferensi pers ”Kemerdekaan Memilih bagi Penyandang Disabilitas Mental pada Pemilu 2019” di Kantor Bawaslu, jakarta, Jumat.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dalam Pasal 77b, penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilu dan pilkada.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, pemerintah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk dipilih dan memilih.
”Meskipun mengidap disabilitas mental, mereka masih memiliki hak politik. Oleh sebab itu, pada Pemilu 2019, kami berharap KPU dan Bawaslu bisa menjamin hak-hak penyandang disabilitas mental,” ucap Yeni.
Yeni menambahkan, berdasarkan data yang diperoleh PJS pada Pilkada Jakarta 2017, hanya ada sekitar 400 orang yang bisa memilih dari sekitar 3.000 penyandang disabilitas mental di panti sosial dan rumah sakit di Jakarta.
”Ada dua penyebab utama yang menyebabkan mereka kehilangan hak pilih. Pertama, karena stigma dari penyelenggara pemilu yang menganggap mereka memiliki gangguan jiwa sehingga tidak mampu memilih. Kedua, karena penyandang disabilitas mental tidak memiliki KTP elektronik,” ucapnya.
Dokter spesialis kejiwaan Irmansyah menjelaskan, penyandang disabilitas mental masih bisa menggunakan hak pilih jika mereka diberikan sosialisasi dan arahan oleh petugas pemilu.
”Mungkin ada yang mengatakan bahwa suara penyandang disabilitas mental ini rentan dimanipulasi ketika memilih. Kerentanan manipulasi ini bukan hanya dirasakan oleh penyandang disabilitas, karena orang normal pun rentan dimanipulasi. Semua kembali lagi kepada sistem pengawasan pemilu nantinya,” tutur Irmansyah.
Ia menjelaskan, penyandang disabilitas juga tidak seharusnya perlu mendapatkan surat rekomendasi dari dokter agar bisa memilih. ”Jika semuanya perlu surat rekomendasi, hanya akan merumitkan penyandang disabilitas mental,” ujarnya.
Penasihat Hak Penyandang Disabilitas Jaringan Pemilihan Umum Akses Disabilitas (Agenda) Tolhas Damanik menjelaskan, penyandang disabilitas mental seharusnya bisa ikut serta dalam setiap rangkaian Pemilu 2019.
”Mereka harus mulai ikut dari penetapan DPS (daftar pemilih sementara), proses sosialisasi dan kampanye, penetapan DPT (daftar pemilih tetap), hingga proses pemungutan suara. Permasalahan utamanya, hingga saat ini penyelenggara pemilu saja tidak memiliki data berapa jumlah penyandang disabilitas yang ada di panti sosial ataupun rumah sakit jiwa,” tuturnya.
Yeni mengatakan, seharusnya penyelenggara pemilu bisa menyediakan TPS khusus di panti sosial ataupun di rumah sakit jiwa untuk memfasilitasi penyandang disabilitas mental.
”Saya rasa, penyelenggara pemilu juga tidak kekurangan jumlah petugas asalkan petugas ini dibekali dengan kemampuan menangani penyandang dan persepsi ingin memperjuangkan hak seluruh rakyat,” katanya.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah menjelaskan, saat ini penyelenggara pemilu akan mulai memantau DPS untuk mendata penyandang disabilitas mental.
”Kami juga telah memberikan rekomendasi kepada KPU agar bisa menunda penetapan DPT supaya hak-hak penyandang disabilitas bisa terdata terlebih dahulu,” lanjutnya.
Menurut Abhan, nantinya penyelenggara pemilu juga akan berkoordinasi dengan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri terkait kepemilikan KTP elektronik.
”Pada Pemilu 2019, kami juga akan berusaha mengawasi penyelenggara pemilu di daerah jika nantinya ada pelanggaran terhadap hak penyandang disabilitas. Sanksinya bisa diproses berdasarkan pelanggaran etik ataupun pelanggaran pidana karena pencabutan hak politik seseorang,” ucapnya.