JAKARTA, KOMPAS – Badan Restorasi Gambut menyusun tingkat emisi rujukan pada tujuh area prioritas. Hal ini untuk mengetahui penurunan emisi gas rumah kaca yang bisa didapatkan Indonesia pascarestorasi di provinsi-provinsi prioritas.
Langkah ini pun membantu pengukuran capaian kontribusi nasional (NDC) dalam Perjanjian Paris. Dalam NDC, sebanyak 70 persen emisi akan diturunkan dari sektor hutan dan lahan, termasuk di dalamnya kebakaran hutan dan restorasi gambut.
“Dari tim ahli sudah selesai menghitung, tinggal sedikit lagi ada yang ingin kami bahas,” kata Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut, Kamis (23/8/2018) di Jakarta.
Tim ahli tersebut dipimpin Daniel Murdiyarso, peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor serta beranggotakan sejumlah ahli lain dan pakar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tingkat emisi rujukan
Nazir mengatakan penentuan tingkat emisi rujukan ini dilakukan untuk menjawab perintah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia mengatakan Wapres ingin mengetahui penurunan emisi ketika gambut yang kering berhasil dibasahi dan level muka air gambut naik.
Ia mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah memiliki tingkat emisi rujukan. Namun perhitungan saat itu pada kondisi gambut kering dan belum memasukkan efek dari pembasahan. Referensi baru ini melengkapi data dan metodologi Indonesia yang diperlukan dalam berbagai laporan ke UNFCCC.
Nazir mengatakan, BRG sengaja meminta Daniel Murdiyarso untuk memimpin tim penentuan referenisi tingkatan emisi karena posisinya sebagai panel dalam pakar perubahan iklim (IPCC) UNFCCC. “Sehingga kami harapkan metodologi bisa selaras dengan IPCC,” kata dia.
Secara terpisah, Daniel Murdiyarso mengatakan, perhitungan saat ini tingkat emisi rujukan gambut sekitar 580 juta ton CO2e. Ini didapatkan dari data-data pada tahun 2006-2015.
“Jadi jangkauan panjang dengan meliputi 2-3 periode kebakaran (hutan dan lahan di Indonesia). Harus fair ketika ada kebakaran tinggi emisinya sehingga referensi fair dan realistis,” kata dia yang ditemui usai mendapat anugerah Sarwono Award 2018 dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daniel mengatakan, gambut signifikan berperan dalam perubahan iklim. Ini karena gambut menyimpan stok karbon yang sangat tinggi. Meski tidak ada vegetasi di atasnya, kata dia, stok karbon di bawah atau “bagian tanah” bisa sangat tinggi.
“Kalau ukur biomassa di atas 5 di bawah bisa 15-20. Kalau itu terbakar dan berulang, sama seperti membakar hutan,” kata dia.
Karena itu, pekerjaan rumah Indonesia berupa restorasi gambut dinilainya merupakan program sangat besar dan ambisius. Apalagi luas yang direstorasi mencapai 2 juta hektar.
“Istilah restorasi ini agak berat buat BRG untuk mewujudkan. Yang rusak ini ekosistem alam yang terbentuk selama ribuan tahun, bagaimana mungkin direstorasi dalam lima tahun,” kata dia.
Ia mengatakan kegiatan saat ini lebih tepat dikatakan rehabilitasi gambut. Namun, ia bisa memahami pemilihan kata “restorasi” merupakan semangat dan keseriusan Indonesia dalam memperbaiki gambut.
Daniel menuturkan emisi gas rumah kaca dari sektor lahan dan hutan sekitar 70 persen atau 800-900 juta ton CO2e dari total emisi Indonesia. Ini bersumber dari konversi lahan, kebakaran, dan oksidasi bahan organik.
Untuk merestorasi, kata dia, agar mengedepankan pelibatan masyarakat, termasuk korporasi. Pelibatan ini juga diharapkan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.