Dayak Tomun, Kalimantan Rasa Minang
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FDSC02070.jpg)
Salah satu warga adat Dayak Tomun di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (8/7/2018).
Sekitar 500 tahun yang lalu, seorang datuk yang bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke Kalimantan dan menetap di sana. Ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang yang dimuliakan dari Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat.
Sang datuk pun tinggal dan menetap di daerah yang ia beri nama Kudangan. Kudangan memiliki arti tempat yang digemari binatang untuk mandi atau sekadar membersihkan bulu badannya. Ia kemudian memiliki keturunan dan dihormati di wilayah itu.
Keturunan datuk pun berbaur dengan masyarakat Dayak lainnya. Di kemudian hari, di wilayah Kudangan, masyarakat adat yang tinggal di dalamnya menamakan diri mereka Dayak Tomun.
Di Kudangan, Kompas bertemu dengan Repudi Sigun. Repudi adalah keturunan langsung Datuk Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang.
Di rumahnya, ia menunjukkan sebuah bendera berukuran 3 meter x 1,5 meter dengan warna dasar putih buram. Terdapat dua simbol besar pada bendera itu.
Pertama, gambar bintang delapan sudut dengan sebuah bunga delapan kelopak di dalam bintang itu. Semuanya masuk dalam lingkaran hijau.
Gambar kedua, tepat di sebelah lingkaran terdapat gambar golok bersilang yang ujungnya agak melengkung tajam ke atas. Menurut Repudi, bendera itu merupakan bendera yang dibawa moyangnya dari Kerajaan Pagaruyung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FDSC01795.jpg)
Betang atau rumah panjang khas suku Dayak di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah ini agak berbeda dengan betang lainnya. Karena perpaduan dengan Suku Minang bentuk atapnya mirip rumah Gadang.
Pada 2016, Kabupaten Kotawaringin Barat menjadi tuan rumah pertemuan kerajaan atau kesultanan seluruh Indonesia sekitar dalam kegiatan Kirab Nusantara sekitar bulan Oktober. Dalam kesempatan itu, Raja Pagaruyung Daulatan Yang Dipertuan Sultan H Muhamad Taufik Thaib Tuanku Maharajo Sakti, yang sudah tutup usia pada awal Februari lalu, berkunjung ke Kudangan.
Kedatangannya bukan untuk memastikan kebenaran adanya keturunan Kerajaan Pagaruyung di Kudangan, melainkan menyambung kembali tali persaudaraan dan silaturahim dengan keturunan Datuk Malikur, yang merupakan keturunan pendahulu Raja Pagaruyung.
Menurut Sultan Thaib, Datuk Malikur adalah seorang Patih Pagaruyung yang menikah dengan putri Dayak, Dayang Ilung.
”Patih Sebatang adalah keturunan Raja Pagaruyung yang sudah 19 abad menghilang, kali ini tali itu kami sambung kembali,” kata Thaib yang dikutip dari arsip Pemerintah Kabupaten Lamandau dan catatan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lamandau.
Delang kemudian dinobatkan oleh Sultan Thaib sebagai daerah keturunan Raja Pagaruyung. Penobatan itu diberikan setelah sultan melihat dua pusaka yang disimpan di Delang, yakni bendera dan keris pusaka.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FDSC02233.jpg)
Masyarakat adat Dayak Tomun bermusik dan bergoyang di hutan menggunakan alat musik tradisional dari bambu. Bagi mereka hutan adalah ibu mereka.
Cerita Datuk Malikur tak lagi menjadi mitos atau dongeng. Nama Kudangan diabadikan menjadi ibu kota Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah (Kalteng). Letaknya 600 kilometer atau 15 jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng.
Suku Dayak yang satu ini hanya tinggal di sepanjang Sungai Lamandau dan sungai-sungai kecil di ujung barat Kabupaten Lamandau. Nama Tomun memiliki arti pertemuan atau bertemu.
Tak banyak yang mengenal suku ini, bahkan orang Dayak sekalipun. Budayawan Kalteng, Nila Riwut, dalam bukunya Maneser Panatu Tatu Hiang, menyebut mereka dengan Dayak Lamandau karena ciri dan bahasa yang hanya ditemukan di daerah hulu dan hilir Sungai Lamandau.
Hampir tak ada jejak literasi atau kajian ilmiah lainnya yang menjelaskan tentang keberadaan suku Dayak Tomun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FDSC01745.jpg)
Upacara adat Babantan Laman di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Sabtu (7/7/2018).
Dayak Tomun
Anias Mante, salah satu sesepuh atau tua adat di Desa Kubung, salah satu desa di Delang yang juga merupakan pecahan dari Desa Kudangan, mengungkapkan, nama Dayak Tomun diambil agar identitas Dayak tidak hilang. Pasalnya, semua ritual adat yang dilaksanakan di Delang berasal dari kepercayaan Kaharingan, milik Dayak.
”Bahasa, bentuk rumah, mungkin mirip dengan Suku Minang, tetapi semua ritual itu dasarnya adalah Kaharingan. Di sini masih banyak yang memeluk kepercayaan itu,” ungkap Mante di Kubung, pada Selasa (7/7/2018).
Nama Tomun yang berarti bertemu, menurut Mante, juga merupakan pertemuan antara dua suku, yakni Dayak dan Minang, karena kawin silang Datuk Malikur dan Dayang Ilung.
Masyarakat Adat Dayak Tomun dalam berbahasa Indonesia memang memiliki aksen yang mirip dengan Suku Minangkabau. Ada pelafalan –o di hampir setiap kata, seperti, Sapo namo kulo? (siapa nama kamu?), Hendak ke mano (mau ke mana), ‘ndak ado (tidak ada), dan berbagai kalimat lain.
Sebagian masyarakat Dayak Tomun adalah petani ladang berpindah. Selain memiliki hasil padi yang melimpah, mereka juga dikenal sebagai penjaga hutan yang ulung, seperti Suku Dayak pada umumnya.
”Hutan indai kito, hutan itu ibu kami, dari sana kami mendapatkan kehidupan,” ungkap Kepala Desa Kubung Edy Zacheus.
Di Desa Kubung terdapat 120 keluarga yang sebagian besar adalah petani ladang berpindah. Setiap keluarga minimal memiliki satu bidang ladang ukuran satu hektar.
Ladang ini disebut tanah rimba atau tanah yang masih belantara atau tanah yang puluhan atau belasan tahun lalu sudah pernah ditanami padi yang kemudian kembali menjadi hutan. Membersihkan pada bulan Juni atau Juli lalu mulai menanam pada bulan September sampai Oktober. Lalu panen pada bulan Maret atau April pada tahun berikutnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FDSC02151.jpg)
Monjatak, salah satu tradisi memanjat pohon yang dilakukan masyarakat adat Dayak Tomun di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (8/7/2018).
Tiap hektar bisa menghasilkan 2,7 ton padi yang dinilai cukup untuk kebutuhan satu tahun untuk satu keluarga. Padi disimpan di jurung atau lumbung padi.
Lebih kurang terdapat 19 jenis padi lokal yang dinamakan dengan nama lokal seperti Padi Kapar, Bangkal Sapi, Padi Lamandau, Kedorai, dan lain sebagainya. Bahkan, beras pulen pun ada di desa ini. Pemberian nama berdasarkan bentuk beras, wangi, dan lain sebagainya.
”Kalau baik sama hutan, hutan atau alam juga akan memberikan rezeki untuk kita,” tambah Edy.
Selain berladang, masyarakat Dayak Tomun cerdas memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti madu hutan, buah-buahan hutan, dan berbagai hasil lainnya.
Direktur Justice, Peace, and Integration Creation (JPIC) Frans Sani Lake mengungkapkan, kalau hutan hilang, maka kebudayaan mereka juga ikut hilang. Hal itu menjadi alasan penting mengapa hutan perlu mereka jaga.
Perpaduan kultur Dayak dan Minang ini merupakan kisah hidup cermin Nusantara. Beberapa permainan tradisional tersebut adalah bologok, bogasing, surunk pinang, monyumpit, bagondang, dan membuat tempoyak.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FIMG_1491.jpg)
Upacara bendera di Batu Batongkang, Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada 17 Agustus 2017 lalu.
Upacara Bendera
Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat Dayak Tomun di Desa Kubung merayakannya dengan membuat berbagai perlombaan dengan permainan tradisional, beberapa permainan tradisional tersebut seperti bologok, bogasing, surunk pinang, monyumpit, bagondang, dan membuat tempoyak.
Selain itu, mereka juga memperingati Hari Kemerdekaan RI dengan menggelar upacara adat di atas Batu Batongkang. Batu Batongkang merupakan batu besar dengan tinggi mencapai enam meter. Batu ini dikeramatkan oleh masyarakat Dayak.

Salah satu perlombaan 17 Agustus 2017 di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Anak-anak bermain surung pinang salah satu permainan tradisional masyarakat adat Dayak.
Mereka menggunakan pakaian adat Dayak sambil membawa bendera Merah Putih. Bendera itu pun berkibar di atas batu dengan tiang kayu yang ditancapkan ke batang pisang di atas batu.
Identitas dua budaya Dayak dan Minang menjadi satu dari sekian contoh cermin Nusantara. Mereka menghormati sejarah nenek moyang, mengandalkan budaya, dan membingkainya dalam persatuan keindonesiaan.