Ubah Paradigma Pendidikan dalam Budaya Indonesia
Guru dan orangtua masih dianggap sebagai sumber ilmu. Karena itu, meski kurikulum berubah, tidak membawa perubahan signifikan dalam peningkatan literasi siswa.
JAKARTA, KOMPAS — JAKARTA, KOMPAS Rendahnya kemampuan literasi siswa dan lambannya perkembangan pendidikan yang berbasis penalaran ternyata berasal dari permasalahan fundamental budaya Indonesia. Secara budaya masih ada penilaian bahwa orang-orang yang dituakan sebagai sumber ilmu satu-satunya dan tujuan pendidikan adalah menghasilkan anak yang patuh.
Metode ini dinilai tidak relevan dengan kebutuhan sumber daya manusia abad ke-21. Di abad ini, jenis SDM yang diperlukan ialah manusia yang mandiri, kreatif, pandai mengambil keputusan, dan memiliki jejaring sosial luas.
”Kurikulum pendidikan sudah mengarah ke sana. Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama juga harus diselaraskan dengan paradigma ini,” kata Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sukiman di Jakarta, Minggu (10/6/2108).
Ia mengatakan, Kemdikbud mengampanyekan pengasuhan yang positif dan demokratis. Anak sebagai subyek pengasuhan hendaknya diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang sesuai minat dan bakat. Mereka diajak agar aktif berekspresi dan berkreasi. ”Advokasi dilakukan melibatkan sekolah. Selain itu, ada pula advokasi digital di laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id,” tutur Sukiman.
Berpusat di guru
Paradigma guru dan orangtua sebagai sumber ilmu sudah terpatri di dalam pemikiran bangsa Indonesia. ”Hal ini yang menjadi penyebab berbagai perubahan pada kurikulum tetap tidak memberi perubahan signifikan dalam peningkatan literasi bangsa,” tutur sosiolog pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono.
Ia menjelaskan, berdasarkan aturan pendidikan, sejak tahun 1990-an, pemerintah sudah bergerak ke arah konstruktivistik dengan membuat kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 2006, pemerintah membuat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bertujuan agar setiap sekolah bisa mengembangkan metode pembelajaran sesuai keunikan siswa dan lingkungan masing-masing.
Kurikulum tersebut kemudian beralih ke Kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa siswa merupakan subyek pembelajaran. Artinya, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan, tetapi fasilitator yang mengembangkan bakat, minat, wawasan, dan keterampilan siswa. ”Cita-cita pendidikan konstruktivistik masih sebatas di atas kertas. Pada praktiknya, pendidikan mayoritas sangat positivistik,” tutur Bayu.
Menurut dia, budaya ketimuran sangat menjunjung tinggi senioritas. Orangtua dan guru di mata masyarakat memiliki posisi terhormat sekaligus dipercaya sebagai sumber ilmu. Sifat senioritas ini yang memunculkan keengganan untuk terus belajar karena menganggap diri sudah mumpuni dalam segi wawasan dan perilaku.
Siswa pasif berarti memiliki daya saing rendah karena untuk bersaing yang dibutuhkan bukan hafalan, melainkan ketepatan mencari jalan keluar sebuah permasalahan.
Dampak lainnya, budaya ini membuat siswa menjadi pasif karena mereka dianggap hanya sebagai penerima informasi. Siswa dinilai dari kepatuhan, bukan berdasarkan kreativitas, karakter, serta kemampuan mereka memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
”Siswa pasif berarti memiliki daya saing rendah karena untuk bersaing yang dibutuhkan bukan hafalan, melainkan ketepatan mencari jalan keluar sebuah permasalahan,” ujar Bayu.
Hal itu hanya bisa diperoleh dengan memberi siswa ruang untuk berkembang sesuai kemampuan individual.
Kontradiktif
Dari cara pembelajaran, Bayu mengungkapkan bahwa meskipun menggunakan kurikulum yang konstruksivistik, pembelajaran di kelas tetap tradisional. Kurikulum konstruktivistik semestinya menggunakan metode pengamatan, banyak membaca, menganalisis, menulis esai, dan melakukan evaluasi diri. Kenyataannya ulangan harian banyak menggunakan metode pilihan ganda. Persiapan ulangan nasional umumnya diisi dengan penghafalan kisi-kisi soal dan latihan rumus, bukan pendalaman dan pengayaan konsep.
Bayu mengatakan, agar bisa menerapkan pendidikan konstruktivistik, perombakan paradigma harus dimulai dari keluarga. ”Orangtua mengasuh anak dengan mengajar anak membangun pendapat dan argumen. Berarti di rumah diterapkan metode diskusi ketika membahas sebuah permasalahan. Orangtua tidak sekadar memerintah,” katanya.
Literasi
Berdasarkan hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) tahun 2015, sebanyak 55,4 persen siswa Indonesia memiliki tingkat literasi rendah. Bandingkan dengan Vietnam yang angkanya hanya 13,9 persen. Rendahnya tingkat literasi ditunjukkan dengan ketidakmampuan membaca teks, terutama teks panjang, dan memahaminya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengungkapkan, pada ujian nasional berbasis komputer (UNBK) tahun 2018 ditemukan bahwa siswa masih bermasalah di mata pelajaran Bahasa Indonesia.
”Jika membaca teks di ujian Bahasa Indonesia susah, otomatis membaca soal cerita di pelajaran lain lebih kesulitan,” tuturnya.
Data hasil UNBK 2018 menunjukkan, masih banyak siswa yang mendapat nilai Bahasa Indonesia di bawah 55. Persentasenya adalah di SMA jurusan IPA 16,38 persen; SMA jurusan IPS 37,07 persen; SMK 22,83 persen; dan SMP 25,34 persen. (DNE)