Hasil investigasi Eyes on The Forest, sebuah koalisi organisasi masyarakat kehutanan pada Taman Nasional Tesso Nilo di Riau pada Juni-Agustus 2017, menunjukkan sawit ilegal yang ditanam di hutan konservasi ini masih mengalir ke perusahan-perusahaan industri minyak sawit raksasa Indonesia. Perusahaan ini disebut dengan "Si 4 Besar" dalam laporan berjudul "Investigative Report: Enough is Enough" atau "Laporan Investigatif: Cukup Sudah!" yang diterbitkan Jumat, 8 Juni 2018.
Dalam investigasi lacak sawit random sebelumnya yang dilakukan sejak 2011, Eyes on The Forest (EoF) menemukan 22 pabrik membeli tandan buah segar (TBS) ilegal dipanen di Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF) dari ekosistem Tesso Nilo dan lansekap Bukit Tigapuluh.
Eyes on The Forest menemukan 22 pabrik membeli tandan buah segar ilegal dipanen di Hutan Bernilai Konservasi Tinggi dari ekosistem Tesso Nilo dan lansekap Bukit Tigapuluh.
Investigasi terakhir mereka ini menindaklanjuti langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sejak 2016 membentuk gugus tugas multipihak untuk merevitalisasi TN Tesso Nilo (TNTN) beserta ekosistemnya. Tujuan tim ini antara lain mengeluarkan perkebunan sawit ilegal yang menempati 75 persen luas taman nasional.
Harapannya, langkah ini bisa menjamin pabrik kelapa sawit (PKS) di sekitar Tesso Nilo tidak mengambil TBS dari perkebunan ilegal. Serta meyakinkan perusahaan sekitarnya yang tersangkut agar mendukung rehabilitasi dan restorasi di Tesso Nilo.
Hasil temuan mereka, pabrik-pabrik masih membeli sawit dari kebun ilegal melalui perdagangan langsung. Minyak itu dikonsumsi oleh banyak industri multinasional. Artinya, mayoritas pasokan sawit dunia mungkin tercampur dengan TBS yang ditanam secara ilegal di area hutan terakhir dari spesies terancam punah seperti harimau, gajah dan orangutan, serta pada gambut kaya karbon yang mudah terbakar di Sumatera.
“EoF memuji transparansi dari semua perusahaan ini guna memulai mempublikasikan data terhadap pabrik pemasok mereka dan kami mengimbau agar perusahaan lainnya bisa mengikuti hal sama,” ujar Nursamsu, Leader Monitoring Deforestasi dan Advokasi WWF-Indonesia, bagian koalisi dalam siaran pers.
EoF menemukan truk-truk mengangkut TBS ilegal berjalan sejauh 145 kilometer dan menghabiskan 5 hari lebih di jalan. Cukup panjang, jauh mencapai 200 pabrik CPO, jalanan di luar batas kabupaten dan provinsi dari asalnya di Taman Nasional Tesso Nilo.
“Tanpa mengenali sumber sebenarnya, bagaimana mungkin orang merasa 100 persen aman dan mereka tidak akan membeli produk bercampur TBS ilegal?” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Tanpa mengenali sumber sebenarnya, bagaimana mungkin orang merasa 100 persen aman dan mereka tidak akan membeli produk bercampur TBS ilegal?
Dikatakan, "Si 4 Besar" ini telah mengerti meluasnya pelanggaran pemakaian lahan di kawasan hutan TNTN. Namun yang dilakukan bukan serius memperbaiki rantai pasok, korporasi ini malah memilih mengamankan pasokan TBS.
Kurang kuatnya metodologi penelusuran TBS juga berarti akan mustahil bagi perusahaan mana pun melaksanakan komitmen menghentikan deforestasi, karena tak ada cara untuk mencari apakah TBS yang dipanen dari perkebunan telah ditanami setelah deforestasi.
“Apakah industri ingin dikenang karena sebelah tangannya menghancurkan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi kebun sawit dan menyebabkan punahnya harimau Sumatera di Tesso Nilo sembari memiliki kebijakan nol deforestasi?” tanya Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau. (ICH)