Masyarakat Diminta Kawal Penyaluran KIP
Sebagian anak putus sekolah sulit mendapatkan Kartu Indonesia Pintar. Padahal, KIP merupakan program unggulan pemerintah agar semua anak dapat mengenyam pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia meminta seluruh masyarakat turut mengawal pelaksanaan Program Indonesia Pintar. Dinas Pendidikan di daerah pun diminta untuk mengontrol penyaluran Kartu Indonesia Pintar sehingga penyalurannya bisa tepat sasaran.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Ari Santoso saat ditemui di Jakarta, Jumat (8/6/2018) menyatakan, jika masyarakat menemukan kesalahan dalam pemberikan KIP, seperti ada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan KIP, segera laporkan ke sekolah atau langsung lapor ke Kemendikbud.
“Masyarakat itu heterogen, laporan dari masyarakat justru penting bagi kami. Laporkan ke sekolah maka akan dikawal atau laporkan ke kami, bisa ke kantor layanan dan pengaduan Kemendikbud atau lewat website ult.kemdikbud.go.id. Semua pengaduan akan langsung kami proses,” katanya.
KIP merupakan program pemerintah pusat untuk membantu siswa yang berasal dari keluarga miskin agar tidak putus sekolah. Siswa yang menerima KIP akan mendapatkan bantuan keuangan secara reguler yang diberikan setiap semester.
Berdasarkan data Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, rekapitulasi penerima KIP per 8 Juni 2018 sebanyak 8.752.017 siswa. Rinciannya, sebanyak 4.190.535 siswa sekolah dasar, 2.674.526 siswa sekolah menengah pertama, 794.370 siswa sekolah menengah atas, 1.081.027 siswa sekolah menengah kejuruan, dan 11.559 siswa sekolah luar biasa.
Menanggapi hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW yang menemukan laporan keterlibatan partai politik (parpol) dalam pendataan dan penyaluran KIP, Ari berpendapat, selama ini pihaknya tidak menemukan adanya intervensi dari parpol dalam penyaluran KIP. Namun, pada pendataan dan pendaftaraan calon siswa penerima KIP tidak menutup kemungkinan adanya intervensi dari parpol.
Sebelumnya, Peneliti Divisi Investigasi ICW Lais Abid mengatakan, keterlibatan parpol ditemukan dari survei yang dilakukan peneliti. Survei ini juga dilakukan dengan mendatangi sekolah dan rumah penerima KIP dan melakukan kelompok diskusi terpumpun. Di Yogyakarta misalnya, ditemukan keterangan dari pihak sekolah yang menyatakan ada anggota DPR/kader parpol yang meminta data siswa ke sekolah untuk diajukan sebagai penerima KIP (Kompas, 8/6/2018).
https://kompas.id/baca/utama/2018/06/08/keterlibatan-parpol-salurkan-kip-dipertanyakan/
Ari mengatakan, pihaknya juga memberikan daftar penerima KIP ke daerah pemilihan (dapil). “Kita memang memberikan list (penerima KIP). Mereka berhak tahu yang ada di dapilnya ada berapa yang menerima KIP. Jika nama yang didaftarkan memang memenuhi syarat ya akan kami proses. Kalau tidak ya tidak diproses. Semua orang bisa mendaftarkan jika memang menemukan ada siswa yang layak mendapatkan KIP tapi belum terdaftar,” katanya.
Pada penyaluran KIP, tambah Ari, kewajiban ada di pihak pencetak kartu, yaitu bank yang bekerja sama. Kemendikbud hanya menerbitkan daftar nama penerima kartu sesuai dengan data pokok pendidik (dapodik). Selama ini secara simbolik, hanya Presiden Joko Widodo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, serta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani yang pernah memberikan KIP kepada siswa. Apabila ada pihak lain yang pernah menyalurkan KIP akan ditelusuri lebih lanjut.
Ari pun mengakui, keterlibatan partai politik dalam penyaluran KIP bisa menimbulkan bias politik. Untuk itu, dorongan dari masyarkat untuk ikut mengontrol proses penyaluran KIP sangat dibutuhkan. Jangan sampai penyaluran KIP justru dimanfaatkan untuk memengaruhi dukungan masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan daerah. “Mulai November (2018) ini pun, Presiden tidak boleh memberikan KIP kepada siswa karena itu bisa dianggap ‘membagi-bagi’,” ucap Ari.
Putus sekolah
Layanan KIP bagi anak-anak putus sekolah yang berada di luar pendidikan formal/sekolah masih sulit diakses. Ketua Taman Pendidikan Anak Negeri (Tampan) Adolf Bastian mengatakan, anak-anak usia SD hingga SMA/SMK di Riau yang putus sekolah hendaknya dijangkau agar ikut pendidikan kesetaraan. Namun, keterbatasan biaya operasional membuat program sulit berkelanjutan. "Masih sulit mendapatkan KIP bagi anak putus sekolah seperti yang dijanjikan pemerintah pusat," ujar Adolf.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kemdikbud, Harris Iskandar mengatakan KIP untuk pendidikan nonformal pengelolaannya ikut KIP formal di Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud, mulai distribusi sampai pencairannya.
"Kami hanya berperan mendata, dan mengidentifikasi minat anak putus sekolah, apakah mau ke formal (sekokah) atau nonformal (PKBM). Kami juga mengusulkan calon penerima KIP dari kelompok anak usia sekolah yangg tidak sekolah," kata Harris.
Jumlah penerima KIP tahap pertama bulan Mei 2018 untuk pendidikan nonformal sebanyak 105.126 orang. Mereka terdiri terdiri dari Paket A (setara SD) sebanyak 4.322 orang, Paket B (setara SMP) 21.473 orang, serta Paket C (setara SMA) 80.126 orang.
Sisanya, ujar Harris, akan diusulkan pada tahap kedua di bulan Juli 2018 yakni sejumlah 195.186 orang. KIP sangat membatu meringankan beban biaya belajar bagi peserta didik nonformal, terutama untuk biaya personal. (TAN/ELN)