Jumlah Penerima Kartu Indonesia Pintar Menurun
Data penerima Kartu Indonesia Pintar dinamis. Ada keluarga yang tadinya miskin, sekarang menjadi mampu. Ada siswa yang pindah sekolah atau meninggal, tetapi belum terdata.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah sorotan masih banyak siswa usia sekolah dari keluarga miskin yang belum terjangkau Kartu Indonesia Pintar, populasi penerima KIP 2018 berkurang menjadi sekitar 17,92 juta orang. Tahun sebelumnya, sasaran penerima KIP sekitar 18,09 juta orang.
Berdasarkan data dari survei exclusion error oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pekan ini, sekitar 42,9 persen siswa usia sekolah (7-18 tahun) dari keluarga miskin di empat daerah yang berada di sekolah tidak terdata sebagai penerima KIP. Padahal, pemanfaatan KIP bertujuan membantu siswa miskin agar tetap bisa bersekolah atau pun yang putus sekolah bisa kembali mengenyam layanan pendidikan. Pendataan yang belum akurat ditengarai sebagai salah satu masalah krusial.
Berdasarkan survei ICW, sekitar 42,9 persen siswa usia sekolah (7-18 tahun) dari keluarga miskin di empat daerah yang berada di sekolah tidak terdata sebagai penerima KIP.
Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Monitoring Implementasi Kebijakan Alpha Ammirachman di Jakarta, Rabu (6/6/2018), mengatakan, Kemdikbud mengalokasikan jumlah penerima KIP menggunakan basis data terpadu. Selain itu, harus diakui juga bahwa data bersifat dinamis, tidak statis.
”Ada keluarga yang tadinya miskin, sekarang menjadi mampu. Ada juga siswa yang pindah sekolah atau mungkin meninggal, tetapi belum sempat terdata,” katanya.
Ketua Umum Gerakan Indonesia Pintar Yanti Sri Yulianti mengatakan, temuan masih banyaknya siswa miskin yang berhak menerima KIP, tetapi tidak terdata memang terjadi. ”Sampai hari ini, upaya kami untuk memastikan anak-anak dari 15 juta keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) otomatis jadi penerima KIP juga masih berat,” kata Yanti.
Menurut Yanti, data anak dan keluarga penerima PKH masih banyak menggunakan nama panggilan sehari-hari. Seharusnya, jika datanya tepercaya, otomatis menjadi penerima KIP. Sebab, penerima PKH wajib adalah keluarga termiskin.
”Kemdikbud dan Kementerian Agama bersama Kementerian Sosial harus segera menuntaskan verifikasi data anak-anak penerima PKH,” ujar Yanti.
Masalah dalam penyaluran KIP, lanjut Yanti, tidak berhenti pada terdaftarnya kembali penerima ke pendidikan formal atau nonformal. Temuan di Jawa Barat, ada anak-anak penerima KIP yang bekerja, seperti menjadi juru parkir, terpaksa berhenti sekolah lagi. Mereka tak mau kehilangan sumber pendapatan dari parkir saat jam sekolah.
Temuan di Jawa Barat, ada anak-anak penerima KIP yang bekerja, seperti menjadi juru parkir, terpaksa berhenti sekolah lagi. Mereka tak mau kehilangan sumber pendapatan dari parkir saat jam sekolah.
”Kami memandang perlu untuk mendorong adanya kelas retrieval atau semacam kelas transisi untuk mendorong motivasi anak-anak penerima KIP tersebut,” kata Yanti.
Yanti menyarankan sejumlah perbaikan bagi peningkatan
mutu program KIP agar kaum penyandang disabilitas juga diperhatikan kekhususan mereka, dengan adanya bantuan tambahan untuk pengobatan atau
terapi.
Selain itu, penyelenggara pendidikan alternatif, seperti sekolah adat, komunitas belajar, dan sekolah darurat, perlu mendapat kesempatan untuk memastikan anak-anak tidak sekolah yang mereka bina juga menerima KIP. Termasuk juga di pendidikan bukan persekolahan, anak tidak sekolah yang memilih belajar keterampilan kerja juga berhak jadi penerima KIP.
Pencairan terkendala
Berdasarkan data Kemdikbud per 6 Juni 2018, pencairan KIP tahun 2017 baru mencapai 84 persen atau sekitar Rp 8 triliun. Padahal, penyaluran dari Kemdikbud sudah 100 persen atau sekitar Rp 9,53 triliun. Adapun KIP tahun 2018 hingga 6 Juni baru dicairkan sekitar 38 persen penerima KIP. Dana yang disediakan sekitar Rp 9,6 triliun.
Berdasarkan data Kemdikbud per 6 Juni 2018, pencairan KIP tahun 2017 baru mencapai 84 persen atau sekitar Rp 8 triliun. Padahal, penyaluran dari Kemdikbud sudah 100 persen atau sekitar Rp 9,53 triliun.
Alpha mengatakan, masalah pencairan itu sangat bergantung pada inisiatif daerah, terutama sekolah dan pemerintah daerah setempat. ”Yang jadi kendala kurangnya kesadaran pemerintah daerah. Tentunya, bersama dengan sekolah dan bank penyalur perlu memberikan informasi kepada siswa atau keluarga bahwa mereka mendapatkan dana manfaat ini,” kata Alpha.
Bahkan, ujar Alpha, Kemdikbud turut serta di berbagai banyak daerah turun langsung mengkoordinir proses aktivasi buku rekening ini. Proses ini seharusnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Karena itu, Kemdikbud terus mendorong pemerintah daerah untuk aktif melakukan proses percepatan pencairan dana manfaat KIP.
Alpha meminta bank penyalur agar betul-betul memberikan kemudahan dalam proses percepatan pencairan atau aktivasi buku rekening siswa. Adapun proses penyaluran masih terus berlangsung untuk tahun 2018 dan angkanya semakin hari semakin meningkat.
"Memang tidak bisa langsung mencapai 100 persen karena ada berbagai tahap perbankan dan administrasi yang harus dilalui, tapi ini sedang berlangsung terus dan semakin meningkat dari hari ke hari," kata Alpha.