Tak banyak lagi pemukim Betawi yang masih setia dengan tradisi Ramadan dan Lebarannya. Salah satu yang masih bertahan adalah para pemukim Betawi di Cengkareng, Jakarta Barat.
Oleh
Windoro Adi
·5 menit baca
Seperti halnya kawasan pemukiman Betawi di Jakarta, budaya dan tradisi Betawi diikat oleh Islam dan dimotori oleh kalangan ulama dan para pendekar silat. Dalam keseharian dan pesta, Islam berakulturasi dengan budaya lokal.
"Salah satu contoh adalah perayaan Maulid Nabi. Perayaan yang digagas Salahuddin Alayyubi (tokoh Muslim Kurdi, pendiri Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz, dan Diyar Bakr) abad keenam ini, bertujuan membangkitkan keseharian Islam yang sedang lesu di masa itu. Hasilnya, memuaskan," ucap KH Harun Alrasyid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Cengkareng, Jakarta Barat, di rumahnya di Cengkareng Timur, Sabtu (3/6/2018).
Dalam tradisi Betawi, khususnya di Cengkareng, perayaan Maulid Nabi diisi salawatan, barzanji, dan musik rebana. Sajian makanannya adalah nasi kebuli, dengan makanan ringan pendamping khas Betawi seperti dodol. "Di malam qunut (hari ke-15 Ramadan), kuliner yang muncul di kalangan Betawi Cengkareng adalah opor ketupat sayur, lepet, lontong buras, dan kue dongkal," jelas Harun.
Untuk menggairahkan hidup beragama, lanjut Harun, para ulama di Cengkareng justru mendorong acara-acara yang Islami seperti lomba adzan, lomba marawis, lomba membaca Al-quran. "Merawat tradisi dan kesenian lokal, sembari menggairahkan hidup beragama, bukan masalah buat ulama di sini, dengan catatan, acara-acara tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam. Kalangan ulama disini tutwuri handayani saja."
Kaum Betawi Cengkareng pun masih menggelar pesta Lebaran sampai tujuh hari. Acara ini didominasi oleh kesibukan saling berkunjung.
"Hari pertama mengunjungi makam keluarga dan ulama lokal berpengaruh antara lain Haji Usman Perak asal Kota Perak, Malaysia. Berikutnya, mengunjungi rumah orangtua, encang encing, dan kerabat. Hari kedua mengunjungi kaum Betawi di kampung Tanah Koja. Hari ketiga ke kaum Betawi di Duri Kosambi. Hari keempat ke Pondok Randu dan Bojong. Hari kelima ke Rawa Buaya. Hari keenam dan ketujuh baru ke sejumlah kerabat lainnya," papar Akmal (28), cicit almarhum Haji Komeng, seorang guru mengaji yang disegani di Kampung Koja, Cengkareng, Minggu (3/6/2018).
Anda penasaran? Datanglah ke Jalan Raya Duri Kosambi, Jalan Gang Haji Selong, serta Jalan Gang Haji Mali pada hari Lebaran ketiga. "Mulai jam 06.00 sampai jam 15.00, ketiga jalan tersebut ramai dipadati orang, menyemut ber-Lebaran sambil mengantar bawaan makanan," ungkap Akmal.
Ulama dan pendekar
Menurut Choiri (48), pesilat Betawi yang juga warga Kampung Koja, orang Betawi Cengkareng tumbuh berkembang dalam bimbingan ulama dan para pendekar silat. "Umumnya, kedua sosok inilah yang disegani dan menjadi panutan warga Cengkareng, terutama kalangan orang Betawi," tutur Choiri yang juga menjabat sebagai Kapolsek Cengkareng, Jumat.
Ia kemudian menyebut nama almarhum KH Achmad Zaini. "Sehari-hari pembawaannya tenang, nggak banyak bicara. Pakaian sehari-harinya baju koko, kain sarung, dan peci hitam. Tapi kalau sudah masuk masjid, beliau bersikap keras. Pakaiannya pun berganti gamis dan sorban. Beliau dikenal sebagai ahli kitab," tutur Choiri.
Almarhum Zaini, lanjut Choiri, suka menegur orang yang ber-adzan kepanjangan di masjid. "Pendek kata, jika sudah menyangkut soal ibadah di masjid, beliau selalu ingin sempurna. Kata beliau, umat Islam harus menunjukkan sikap disiplin, ramah, dan indah. Apalagi terhadap agamanya sendiri," ucapnya.
Adapun ayahanda Zaini, KH Abdul Rohman, adalah ulama dan pesilat andal. "Ilmu silat dan tingkat spiritualnya tinggi," kata Choiri.
Salah satu murid Zaini adalah KH Mahfud Asirun, pemilik Pondok Pesantren Al Itqon, pondok pesantren tertua dan terbesar di Cengkareng.
Pesilat lain yang disegani di Cengkareng adalah almarhum Haji Kombo, kepala Kampung Tanah Koja. "Almarhum adalah kawan seperguruan ayah saya, Haji Salam. Saya sempat belajar Cingkrik dengan Haji Kombo. Latihannya di kebon," ujar Choiri.
Silat Cingkrik adalah aliran silat yang dikembangkan Ki Maing di kawasan Betawi Rawabelong, tahun 1920. Salah seorang andalan Cingkrik antara lain adalah Si Pitung.
Mengapa Cingkrik bisa merambah sampai Cengkareng? "Sebab Haji Kombo adalah murid jagoan maen pukul Cingkrik, Mat Item, asal Rawabelong. Dari Haji Kombo lah amtara lain Cingkrik meluas ke Cengkareng," ungkap Choiri yang sering dijuluki Syeikh Abdul Choir.
Menurut Choiri, aliran listrik di Cengkareng baru masuk tahun 1983. Cengkareng masih jauh dari hiruk-pikuk pembangunan dan lintasan budaya kosmopolitan. Warga dan tradisi Betawi pun di sana lebih terawat. "Sampai tahun 1983-an, warga Betawi masih menggunakan lampu minyak untuk penerangan rumahnya. Warga Betawi tahunya ya cuma mengaji dan bersilat. Selebihnya bertani dan berkebun," ujarnya.
Haji Usman Perak
Pada bagian lain, Harun menjelaskan peran Haji Usman Perak pada siar Islam di Cengkareng. "Beliau bersama KH Makmun menjadi dua sosok yang mengawali pembentuk tradisi dan kultur Islam-Betawi, di Cengkareng," jelas Harun.
Haji Usman Perak pernah tinggal dan belajar di Saudi Arabia selama tujuh tahun. Di sana, ia bertemu KH Makmun. Kala itu keduanya sama-sama menjadi syeikh (pemimpin haji) di Arab Saudi.
Tahun 1960-an, lanjut Harun, Usman Perak mengajar agama di Masjid Al Fudhola Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dari sana, ia ke Banten dan tinggal di Desa Sukacai, Kecamatan Jiput, Pandeglang.
Dalam perjalanan dari Tanjung Priok ke Banten, Usman mampir ke Rawabuaya, Cengkareng. Di situ, ia bertemu KH Makmun, kemudian tinggal di rumah Jalan Daan Mogot KM 13, di RT 9 RW 3, Cengkareng Timur saaat ini.
"Kami tidak tahu tentang latar belakang KH Usman Perak di Malaysia. Kami hanya tahu isterinya bernama Hajjah Marsiti bin Saidin, dan dua anak angkatnya, Haji Muhaimin dan Hajjah Nuraini yang meninggal tahun 2016," ungkap Harun.
Ia berpendapat, budaya Betawi dan Islam di Cengkareng baru tumbuh pesat pasca kemerdekaan, atau tahun 1960-an.
Tak banyak warisan material dan fisik yang ditinggalkan dari sejarah Cengkareng. Meski demikian, perangkat kebudayaan yang sifatnya tak berwujud (intangible) masih terawat. Sebut saja berbagai tradisi kuliner dan kesenian di acara agama, kehidupan pondok pesantren, kuatnya peran ulama dan pendekar, serta kekerabatan di antara sesama kaum Betawi di sana.