JAKARTA, KOMPAS— Ruang-ruang interaksi masyarakat secara terstruktur mendesak untuk diperbanyak dan diintensifkan. Pada saat bersamaan, dorong pula agenda kerapatan pemuda untuk membangun bangsa.
"Indonesia sudah merdeka selama hampir 73 tahun, akan tetapi konstruksi peninggalan kolonial berupa pengotak-kotakkan masyarakat berdasar suku bangsa, ras, dan agama masih dipertahankan," kata Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latif dalam diskusi bertema "Penyerbukan Silang Antarbudaya untuk Memperkuat Ideologi Bangsa" yang dilangsungkan oleh Yayasan Nabil di Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Sebelum pemerintah kolonial Belanda menjajah Nusantara, masyarakat hidup dengan harmonis. Prinsip budaya masyarakat bahari adalah menyerap berbagai hal positif dari budaya luar tanpa menghilangkan ciri khas budaya lokal. Hal ini menghasilkan percampuran kebudayaan suku bangsa lokal dengan pengaruh, India, China, Arab, Persia, hingga Eropa yang melahirkan peradaban Nusantara.
"Pemerintah kolonial membalik narasi keragaman untuk mengadu domba masyarakat Nusantara sehingga mudah dikendalikan oleh penjajah," tutur Yudi.
Ruang interaksi
Cara agar masyarakat kembali merayakan keberagaman di dalam keselarasan ialah dengan membuka ruang-ruang interaksi. Menurut Yudi, hal ini karena interaksi selain berjalan dengan alami juga perlu diintensifkan dengan interaksi yang direkayasa.
Bentuknya adalah memastikan lembaga publik seperti sekolah, perguruan tinggi, lembaga politik, dan ekonomi bisa diakses oleh semua warga negara Indonesia berdasarkan kinerja profesional. "Dunia kerja sangat potensial dalam menguatkan kembali persatuan karena pertemuan antarindividu di dalamnnya memiliki intensitas tinggi," kata Yudi.
Ia menjelaskan, selain membuka ruang, juga harus dilakukan agenda yang membangun memori kolektif. Misalnya, para pendiri bangsa memiliki kerapatan pemuda untuk mendirikan bangsa Indonesia.
"Pemuda masa kini bisa bersatu untuk membangun bangsa dengan memastikan terwujudnya kesetaraan akses kesejahteraan kepada semua anggota masyarakat," ujar Yudi.
Sementara itu, narasumber lain,Kepala Program Magister Studi Islam Universitas Paramadina Pipip AR Hasan, memaparkan, prinsip keragaman yang tercermin dalam Pancasila dan masyarakat Indonesia juga terpatri di dalam budaya Islam. "Budaya Islam merupakan percampuran dari berbagai perdaban di Asia, Eropa, dan Afrika," ujarnya.
Ia mencontohkan, bangunan mesjid arsitektur kubahnya terinsiprasi dari bangunan Byzantium atau Kekaisaran Romawi Timur. Adapun menaranya diadaptasi dari struktur rumah ibadah bangsa Persia. Arsitektur rumah ibadah seperti itu lazim ditemukan di dataran Timur Tengah, Rusia, hingga Asia Tenggara.
"Oleh sebab itu, justru aneh apabila umat Muslim di Indonesia takut kepada pengaruh luar," kata Pipip.
Menurut dia, masyarakat memiliki kecemasan terhadap budaya luar akibat menganggap posisi mereka pada sektor sosial, ekonomi, dan politik semakin terancam dengan adanya globalisasi. Untuk mengatasinya, dibutuhkan pembangunan yang menjamin peningkatan derajat ekonomi serta intelektual masyarakat.
Warisan Eddie Lembong
Kuliah umum ini merupakan agenda tetap Yayasan Nabil yang didirikan oleh pengusaha farmasi Eddie Lembong. Ketua Harian Yayasan Nabil Aan Rukmana menjelaskan, walaupun Eddie Lembong sudah wafat pada bulan November 2017, semangat dan sumbangsih dia kepada bangsa tetap hidup melalui kuliah rutin. (DNE)