Transplantasi Ginjal, Terapi Paling Ideal untuk Gagal Ginjal
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transplantasi ginjal dianggap sebagai terapi paling ideal untuk menangani penyakit gagal ginjal. Akan tetapi, di Indonesia, hanya sebagian kecil penderita gagal ginjal yang menerima perawatan transplantasi ginjal karena ketersediaan donor yang terbatas.
Dokter spesialis penyakit dalam RSCM, Maruhum Bonar Marbun, mengatakan, penderita gagal ginjal yang ditangani dengan transplantasi ginjal memiliki harapan hidup yang lebih baik dibandingkan penanganan lain, seperti dialisis atau pencucian darah.
Penderita yang dirawat dengan transplantasi ginjal memiliki harapan hidup 95,2 persen dalam setahun dan 88 persen dalam 5 tahun. Dibandingkan itu, mereka yang dirawat dengan dialisis memiliki harapan hidup 90,5 persen untuk setahun dan 62,5 dalam 5 tahun.
”Transplantasi ginjal merupakan terapi paling ideal untuk gagal ginjal. Semua orang bisa menjadi donor. Namun, sebagian besar dari mereka belum tentu mau sehingga peran donor itu ditekankan kepada keluarga si penderita,” kata Maruhum dalam acara diskusi ”Seberapa Amankah Donasi Ginjal?” di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).
Akibat ketersediaan donor yang terbatas itu, sebagian besar penderita gagal ginjal dirawat dengan dialisis (proses pencucian darah). Maruhum mengatakan, 80 persen penderita gagal ganjil di Indonesia dirawat dengan dialisis. ”Kebutuhan donor lebih tinggi daripada ketersediaan donor,” ucapnya.
Di RSCM, ujar Maruhum, perawatan dengan transplantasi ginjal sudah mulai meningkat. Masyarakat mulai sadar bahwa perawatan itu juga termasuk dalam perawatan yang dibiayai pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Penyebab ginjal nomor satu ada hipertensi, lalu diabetes, radang ginjal, batuk, dan infeksi. Gagal ginjal terjadi ketika fungsi ginjal itu di bawah 15 persen. Pemeriksaan gejala ginjal itu harus melalui tes laboratorium, dimulai dari cairan kencing, lalu darah apabila kandungan cairan kencing itu dinilai tidak normal.
Banu Astono menceritakan pengalamannya sebagai penderita gagal ginjal kronik yang melalui perawatan dialisis, lalu transplantasi ginjal. Selama perawatan dialisis, ia kehilangan nafsu makan, ototnya terasa kram, dan berat badannya naik.
Banu, yang juga wartawan Kompas ini, kemudian melakukan transplantasi ginjal dengan istrinya sebagai donor. Sebelum proses transplantasi itu, mereka harus melalui proses advokasi, pengecekan kondisi tubuh, dan kecocokan antara donor dan resipien. Keduanya dinyatakan 70 persen cocok atau dekat dengan angka idealnya yang seputar 85-90 persen.
”Setelah transplantasi, secara medik, kualitas hidup saya meningkat 90 persen. Namun, makanan harus diperhatikan. Karbohidrat dibatasi dan makanan harus selalu matang untuk menghindari bakteri,” kata Banu.
Donor
”Siapa pun bisa menjadi donor ginjal. Syaratnya adalah berusia minimal 18 tahun, memiliki fungsi ginjal yang nomal, memiliki informasi yang cukup mengenai transplantasi, dan kompeten untuk memberikan persetujuan (atas tindakan transplantasi ginjal itu),” kata Maruhum.
Orang yang memutuskan menjadi donor ganjil kemudian perlu melalui proses pemeriksaan yang termasuk kecocokan imunologi, kesehatan umum, dan pemeriksaan penyakit yang dapat ditularkan. Ketidakcocokan antara donor dan resipien bisa terjadi apabila ada perbedaan golongan darah, ketidaksamaan ukuran ginjal, atau perbedaan usia yang terlalu jauh.
Setelah proses transplantasi, si donor itu bisa hidup hanya dengan satu ginjalnya yang tersisa. Ia bisa melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti biasa, tetapi ia harus dikontrol secara reguler selama sebulan hingga dua tahun.