Petani Robusta Melawan Stigma
Sempat tak punya pilihan, banyak petani kopi robusta pernah sulit sejahtera. Kini, sebagian dari mereka mulai belajar. Melawan stigma robusta jadi tujuan utamanya.
Sempat tak punya pilihan, banyak petani kopi robusta pernah sulit sejahtera. Kini, sebagian dari mereka mulai belajar. Melawan stigma robusta jadi tujuan utamanya.
Tubuh kekar Mugiyono (40) mandi keringat saat keluar dari rimbun tanaman kopi robusta di kebunnya di Desa Air Dadapan, Kecamatan Kedung Surian, Lampung Barat, Lampung. Dia menenteng tas ransel, di dalamnya tersimpan sedikit buah kopi yang baru di petik. Warnanya semarak, ada hijau dan kuning, tetapi tidak ada biji merah.
”Panen raya masih dua bulan lagi. Tapi, sekarang sudah ada yang berbuah meski masih hijau. Kalau tunggu berbuah merah, takutnya diambil maling,” kata Mugiyono, Februari lalu.
Petik hijau atau disebut asalan bukan baru kali ini dilakukan, melainkan telah jadi tradisi dalam 25 tahun terakhir. Dia mengklaim cara itu menghemat biaya petik. Saat panen tiba, ongkos petik Rp 50.000 per orang per hari, bisa dikurangi.
Akan tetapi, perlakuan itu membuat rasa kopi bukan lagi jadi prioritas utama. Akibatnya, harga biji kopi robusta miliknya tak pernah bersahabat. Seumur hidup menjadi petani, dia hanya menikmati harga tertinggi Rp 24.000 per kilogram. Dia tak tahu penyebabnya. Namun, tengkulak hanya menghargai kopinya serendah itu.
”Saya belum tahu rasa kopinya setelah diseduh. Semua hasil panen dijual ke pengepul. Kalau mau ngopi, biasanya instan dalam kemasan,” katanya.
Duduk di sebelah Mugiyono, Jamaludin (31), petani kopi lainnya, hanya tersenyum kecut, mendengar ironi itu. Sebagai anak petani kopi, ia kembali disuguhi kisah kopi Lampung yang belum berubah. Kemampuan petani yang minim hanya menghasilkan kopi berkualitas rendah. Semuanya lantas dijual murah pula kepada pengepul atau perusahaan besar.
”Setelah disangrai gosong, biji kopi asalan hanya menyisakan pahit. Akibatnya, robusta sering menjadi kopi kelas dua, tidak enak. Padahal, robusta juga punya banyak rasa saat diolah dengan baik,” kata Jamaludin.
Dia tak asal bicara. Dalam beberapa tahun terakhir, jiwanya memberontak. Pengalaman merantau ke sejumlah tempat dan belajar dari petani lain memberinya bekal membawa robusta naik kelas.
Belajar
Ia mencontohkan saat belajar pada Ahmad Ervan (54), sesepuh petani Lampung Barat. Jamaludin tahu kopi terbaik harus dipanen saat merah. Dia mulai memahami kapan tanaman kopi harus dipangkas untuk mendapatkan bunga kopi yang kuat menghadapi perubahan cuaca.
Tak hanya itu, Jamaludin juga mulai mengolah biji kopi robusta menjadi tiga cara, seperti arabika: mulai honey, full washed, dan natural process. Jamaludin juga tekun mencari pasar sendiri. ”Saya pilih tak menjual lewat pengepul. Seberapa keras saya memperbaiki kualitas kopi, tetap saja dibeli rendah. Lebih baik cari pasar sendiri,” katanya.
Kegigihan Jamaludin berbuah hasil. Kopi hasil panen dari 2 hektar kebun miliknya tersaji di Dr. Coffee, salah satu kedai kopi di Bandar Lampung, dalam dua tahun terakhir. Kopinya dihargai Rp 46.000 per kg, hampir dua kali lipat dari sebelumnya.
Oleh pemilik kedai kopi Dr. Coffee, Alghazali Qurtubi (28), biji kopi itu terbukti ampuh diolah jadi berbagai varian kopi, antara lain espresso, cafe latte, cold brew robusta, dan kopi susu. Stigma robusta pahit tak terbukti di kedai tersebut. ”Di sini, kopi robusta tak melulu pahit. Ada manis, buah, dan asam meski tanpa gula,” kata Ali.
Bantuan luwak
Semangat yang sama juga ada dalam secangkir kopi luwak sajian Gunawan Supriyadi di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat. Dibantu pencernaan hewan luwak(Paradoxurus hermaphroditus), kopi robusta ternyata menyisakan manis dan asam di mulut sekaligus setelah mereguknya. ”Banyak pelajaran yang bisa didapatkan dari luwak untuk mengangkat kualitas kopi Lampung. Namun, sering kali kita tidak menyadarinya,” kata petani kopi luwak ini.
Gunawan mencontohkan kebiasaan luwak makan kopi. Luwak hanya doyan buah kopi yang merah. Jangan harap, luwak memakan biji yang hijau atau kuning. Luwak juga mengajarkan pascapanen yang baik.
Lewat enzim dalam ususnya, kulit kopi dikupas dan terfermentasi sebelum keluar bersama fesesnya. Proses ini sangat berpengaruh menurunkan kadar kafein yang tinggi pada kopi robusta. ”Setelah dijemur selama rata-rata lima hari di atap rumah menyisakan kadar air 18 persen,” katanya. Kini ada 12 produsen kopi luwak di Liwa. Dalam setahun, mereka bisa menghasilkan minimal 600 kg kopi siap seduh.
Hasilnya pun memuaskan. Uji cita rasanya di atas 80 atau sekelas fine robusta alias robusta berkualitas tinggi. Penilaian itu ikut mengerek harga kopi. Dijual dalam bentuk kotoran kering Rp 250.000 per kg, beras kopi Rp 300.000 per kg, dan bubuk Rp 500.000 per kg. Kopi ini rutin mengisi pasar di Jepang dan Korea Selatan selama dua tahun terakhir.
Akan tetapi, yang diuntungkan bukan sekadar petani kopi pemilik luwak. Sebagian petani kopi tanpa luwak juga merasakannya. Sejak tahun 2012, Gunawan cerewet mempromosikan cara produksi kopi yang benar berkaca dari luwak, dia mewajibkan petani menjual biji merah. Petik buah merah memberi keuntungan ganda bagi petani. Selain laku dijual kepada pemilik luwak dengan kuota 1 ton per tahun, mereka bisa mengolah sendiri tanpa luwak.
Selisih harganya menggiurkan, jika dijual biji merah harganya Rp 7.000 per kg. Namun, jika menjual biji kering dihargai Rp 50.000 per kg. ”Sekarang, selain menjual biji kopi, petani bahkan didorong jadi barista. Harapannya, konsumen bisa langsung mencicipi kopi terbaik langsung dari kebun,” ujar Gunawan.
Hernawan (40), misalnya, sejak tahun lalu, petani kopi luwak di Liwa ini berinovasi dengan robusta. ”Saya percaya robusta tak akan ingkar janji jika diolah dengan cinta. Seperti perjuangan petani robusta melawan stigma, pahit hanya secuil kisah. Di baliknya ada aneka rasa yang menunggu digali,” katanya sembari menyeruput espresso robusta olahan sendiri.