JAKARTA, KOMPAS — Perempuan sembilan kali lebih rentan menderita lupus eritematosus sistemik atau LES. Perbedaan hormon seksual yang dimiliki laki-laki dan perempuan diduga menjadi penyebabnya.
Angka pertumbuhan penyakit LES yang meningkat sebelum periode menstruasi ataupun selama masa kehamilan perempuan mendukung keyakinan bahwa faktor hormonal, khususnya hormon estrogen, menjadi pencetus penyakit ini.
”Akan tetapi belum diketahui secara lengkap peran hormon apa saja yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada perempuan,” ujar Iris Rengganis, dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Belum diketahui secara lengkap peran hormon apa saja yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada perempuan.
LES merupakan penyakit autoimun yang dapat menyerang berbagai organ tubuh. Penyakit ini termasuk penyakit kronik yang belum diketahui penyebab pastinya. Namun, sejumlah faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan terkena penyakit ini.
Faktor risiko tersebut antara lain hormonal, genetik, dan lingkungan. Untuk faktor genetik, Iris mengatakan, belum diketahui secara menyeluruh gen apa saja yang menyebabkan LES. Namun, sekitar 7 persen pasien LES memiliki keluarga dekat yang terdiagnosis LES. Untuk kembar identik, kemungkinan terkena LES pada salah satu dari anak kembar 30 persen.
Iris menambahkan, faktor lingkungan juga sangat berperan sebagai pemicu LES, seperti infeksi, stres, cahaya ultraviolet, dan konsumsi obat-obatan tertentu. ”Faktor lainnya adalah gaya hidup yang tidak sehat,” ujarnya.
Diagnosis penyakit LES yang tepat penting dilakukan agar penyakit ini dapat ditangani dengan baik. Hingga saat ini, penyakit ini belum bisa disembuhkan, tetapi dengan tata laksana yang tepat bisa dikendalikan sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang lebih berbahaya.
Dalam pemaparannya, Iris menyampaikan, diagnosis LES di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Ada 11 kriteria yang ditunjukkan, antara lain ruam pada daerah tulang pipi, luka pada mulut, nyeri sendi, rambut rontok, gangguan neurologi, gangguan hematologi seperti anemia, dan gangguan imunologi. ”Jika ditemukan setidaknya empat kriteria tersebut, dokter ataupun pasien harus waspada,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Sumariyono, dokter spesialis penyakit dalam dari Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM menyampaikan, hingga saat ini, belum ada data epidemiologi LES di seluruh wilayah Indonesia. Data dari poli penyakit dalam RSCM Jakarta pada 2010 ditemukan 1,4 persen kasus LES dari total kunjungan di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam. Sementara di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, ada 291 pasien LES atau 10,5 persen dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.
Kehamilan
Orang dengan LES tetap bisa menjalani kehamilan. Namun, Iris menganjurkan, orang dengan LES yang ingin hamil minimal aktivitas penyakitnya terkendali selama enam bulan atau dalam keadaan remisi total. Selain itu, dosis obat yang dikonsumsi perlu dikurangi karena bisa berpengaruh pada kondisi janin.
Sebaiknya, orang dengan LES tidak hamil dalam kondisi hipertensi berat, gagal jantung, gagal ginjal kronis, adanya riwayat preeklamsia berat, serta stroke. ”Perencanaan dan pemantauan kehamilan sampai proses persalinan harus diupayakan bersama dengan para ahli, termasuk oleh spesialis kebidanan, reumatolog, imunolog, penderita, ataupun keluarganya,” kata Iris.