Meskipun Gaji Kecil, Bekerja di Indonesia Lebih Menjanjikan
Oleh
DD06
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Gaji pekerja profesional di Indonesia, rata-rata hanya setengah dibandingkan negara tetangga, di Asia Tenggara. Meski demikian, bekerja di Indonesia lebih menguntungkan dan menjanjikan untuk masa depan. Terutama dalam bidang teknologi informasi dengan pesatnya pertumbuhan usaha rintisan teknologi.
Data Robert Walters menyebutkan, gaji per tahun seorang Manajer Proyek teknologi informasi di Indonesia berkisar Rp 450 – 800 juta. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan pekerja di Malaysia dengan jabatan sama, yang mendapatkan Rp 760 juta – 1,27 miliar dan di Singapura yang mendapatkan Rp 840 juta – 2 milyar.
International Candidate Manager Robert Walters Glorya Tay mengatakan, pekerja profesional Indonesia yang kembali dari negara lain, minimal akan kehilangan 50 persen gajinya. “Ada yang lebih dan ada yang kurang. Tetapi pengurangannya memang cukup signifikan,” ucapnya, Jumat (13/4), pada acara “Pulang Kampung” Bersama Robert Walters, di Jakarta.
Meski demikian, pekerja profesional di Indonesia memiliki prospek lebih baik pada masa depan. Para pekerja dapat memiliki posisi penting di perusahaan dalam beberapa tahun mendatang.
Studi Boston Consulting Group pada 2014 memperkirakan, ada sekitar 55 persen posisi manajer yang kosong pada 10 tahun mendatang. Dalam artian, hal itu berpotensi terjadi enam tahun lagi.
Menurut Glorya, peluang besar ini bisa dimanfaatkan pekerja profesional Indonesia di luar negeri. Mereka dapat membawa kemampuan dan pengalaman di luar negeri. Lalu, memegang jabatan penting pada tahun-tahun berikutnya.
“Studi itu memperlihatkan kita masih kekurangan sumber daya manusia. Untuk itu ada peluang besar pada masa depan. Bukan masalah 50 persen gaji yang lebih rendah, tetapi berapa yang kamu bisa dapatkan dalam beberapa tahun? Bukan penghasilan saat ini, tetapi potensi penghasilan nantinya,” ucap Glorya.
Selain itu, Indonesia merupakan tempat cukup nyaman untuk pekerja. Perusahaan relatif mudah dalam menetapkan seorang menjadi pegawai tetap. Hal itu berbeda dibandingkan dengan negara lain yang mengutamakan sistem kontrak.
Dengan penetapan pegawai, seorang mendapatkan hak dan fasilitas penuh dari perusahaan. Di sisi lain, hal tersebut tidak didapatkan pada masa kontrak.
Hadir juga pada acara itu, Group Product Manager Grab Indonesia Kevin Wiramihardja. Kevin merupakan salah satu pekerja profesional di luar negeri yang berhasil diajak Glorya kembali ke Indonesia. Ajakan itu melalui program kampanye Robert Walters bernama “Pulang Kampung”.
Kevin menyadari pemotongan gaji adalah hal yang pasti saat kembali ke Indonesia. Namun demikian, biaya hidup juga perlu menjadi pertimbangan dalam perbandingan tersebut. “Kan kita tahu biaya di Indonesia dan di luar negeri berbeda. Jadi kalau kita membandingan gaji tentu tidak apple to apple,” tuturnya.
Pulang kampung
Selain Kevin, sudah 52 pekerja profesional yang kembali ke Indonesia sejak sejak program Pulang Kampung berjalan pada 2015. Adapun, dari total itu, 12 di antaranya merupakan pekerja yang kembali pada tahun 2018, dalam rentang waktu tiga bulan lebih.
Robert Walters mengumumkan, akan ada 136 pekerja profesional yang siap kembali pada tahun ini. Jumlah itu berasal dari total 2.600 pekerja profesional yang dihubungi Robert Walters. Adapun pekerja profesional yang terdaftar minimal telah bekerja lima tahun dan pernah memimpin sebuah tim.
Menurut Glorya, permintaan terhadap sumber daya Indonesia di luar negeri semakin banyak. Hal itu dipacu bertumbuhnya industri digital dan usaha rintisan berbasis teknologi.
Perkembangan industri itu memacu permintaan sumber daya manusia yang banyak. Masalahnya, sumber daya yang tersedia di Indonesia didominasi oleh lulusan sarjana baru.
“Permintaan semakin banyak, terutama untuk pekerjaan IT. Masalahnya, bukan kita tidak punya, tetapi jumlah pekerja IT yang kompeten tidak cukup banyak. Untuk itu, perlu menarik pekerja di luar negeri untuk kembali. Karena mereka baik secara pengalaman dan jauh lebih advance,” kata Glorya.
Data e-marketer menyebutkan, ada 1.559 bisnis rintisan pada 2017. Data itu menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga terbanyak di dunia, di bawah Amerika Serikat dan India.
Kevin mengatakan, perekrutan pekerja IT dari luar negeri merupakan syarat untuk dapat berkompetisi dengan perusahaan rintisan lain. “Dengan maraknya bisnis rintisan teknologi, kalau mau bersaing otomatis harus mencari yang kompeten. Dan itu banyak di luar negeri,” tuturnya.
Hubungan keluarga
Di luar urusan masa depan, permasalahan hubungan keluarga menjadi pemicu terbesar kembalinya pekerja Indonesia. Dari pekerja yang memutuskan kembali, 70 persen didasari keinginan untuk dekat dengan orangtua, 20 persen karena berjiwa wirausaha tinggi, dan 10 persen karena ingin mengembangkan negeri.
“Paling banyak karena orangtua mereka sudah berumur atau sakit-sakitan. Mereka biasanya merasa perlu dekat dengan orangtua karena waktunya sudah tidak banyak lagi. Paling sering karena itu,” kata Glorya.
Salah satu peserta Pulang Kampung, Arifiandy Aulia yang sekarang menjabat Senior Associate Business Intelligence Shopee, pun merasakan hal tersebut. Dia merasa perlu kembali Indonesia karena ingin mendekatkan diri pada keluarga.
“Orangtua saya kan sudah berumur, walau masih sehat, tetapi saya ingin lebih dekat dengan keluarga. Juga, ada tunangan saya di sini. Untuk itu saya menilai relationship is a big thing,” kata pria yang bekerja selama 14 tahun di Texas, AS, itu.
Sementara itu, faktor utama kepindahan Kevin juga karena orangtua. Ditambah, dia merasa bosan harus bekerja di luar negeri. Jiwanya ingin kembali ke Indonesia untuk membangun negeri tercinta.