JAKARTA, KOMPAS — Kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tersurat dalam kebijakan-kebijakannya dievaluasi. Pertumbuhan ekonomi dan revolusi mental menjadi sorotan.
Evaluasi itu dikemas dalam buku berjudul #KamiJokowi yang diluncurkan di Jakarta, Jumat (16/3). Buku setebal 266 halaman itu ditulis oleh 18 penulis dari beragam latar belakang. Tak hanya apresiasi, buku ini juga memuat pekerjaan rumah presiden ketujuh itu.
Terkait Presiden Joko Widodo, Rektor Universitas Multimedia Nusantara sekaligus pembedah buku Ninok Leksono menggarisbawahi pertumbuhan ekonomi nasional yang sulit mencapai target awal. Tulisan berjudul Jokowinomics karya Aji Chen Bromokusumo jadi acuan.
Pada awal pemerintahannya, Jokowi menargetkan angka pertumbuhan mencapai 7 persen. Dalam tiga tahun terakhir, angka pertumbuhan bergerak di sekitar 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi menjadi momok dalam dua tahun terakhir masa jabatan Jokowi. Menurut Ninok, pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan berdampak pada lapangan kerja. ”Tiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen seharusnya menciptakan 400.000 lapangan kerja,” ujarnya dalam acara peluncuran buku #KamiJokowi.
Selain itu, fenomena ekonomi digital juga masih menjadi pekerjaan rumah untuk Jokowi. Ninok berpendapat, pemetaan terhadap sektor-sektor yang ada di Indonesia dibutuhkan sehingga dapat dipilah dan dipilih yang bisa berkembang di ekosistem ekonomi digital.
Adaptasi Jokowi terhadap fenomena-fenomena ekonomi digital yang berubah cepat dinilai Ninok sudah cukup baik jika ditilik dari arahan, imbauan, dan instruksinya.
”Namun, kunci keberhasilannya terletak pada birokrasi di tingkat direktorat jenderal karena mereka yang mengatur teknisnya,” katanya.
Menanggapi ”pembedahan” dari Ninok, Aji mengatakan, ekonomi digital dapat menjadi solusi bagi pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan tulisannya. Salah satu alasan yang diungkapkan dalam tulisannya ialah jumlah pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia yang diluncurkan pada 2018, tingkat penetrasi internet di Indonesia pada 2017 mencapai 54,68 persen.
Revolusi mental
Terkait revolusi mental, tulisan karya Didi Kwartanada dikupas. ”Saya apresiasi Mas Didi karena telah mengingatkan soal revolusi mental ini,” ujar Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia dan pembedah buku Tsamara Amany dalam kesempatan yang sama.
Dalam tulisan Didi, gagasan revolusi mental telah ada sejak zaman Soekarno. Namun, keberhasilannya saat ini belum terlihat.
Bagi Tsamara, revolusi mental masih perlu menjadi perhatian. ”Menurut saya, solusinya ada di kurikulum pendidikan,” ucapnya.
Kurikulum pendidikan saat ini, menurut Tsamara, cenderung satu arah. Ruang diskusi dan keterbukaan akan gagasan masih rendah. Hal ini terlihat dari evaluasi belajar yang lebih banyak bersifat isian atau pilihan ganda, bukan esai.
Padahal, inti pembelajaran terletak pada pemahaman latar belakang materi. Tsamara mencontohkan, peristiwa kemerdekaan seharusnya juga membahas lebih dalam soal perdebatan di belakangnya, tidak hanya tanggal dan tokohnya.
Selain kurikulum, kehadiran sosok teladan di tengah masyarakat dapat menyukseskan cita-cita revolusi mental. Tujuannya, agar masyarakat memiliki kesadaran masing-masing dalam hal revolusi mental.
”Saya kira, Soekarno dan Jokowi dapat menjadi role model. Memang tidak serta-merta. Kita butuh lebih dari lima tahun untuk revolusi mental,” kata Tsamara.
Sosok Jokowi
Mengenai sosok Jokowi, Rizal Badudu, editor buku #KamiJokowi, mengupasnya dengan teori psikopopuler dari Stephen Covey yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective People.
”Selama ini banyak yang bilang Jokowi itu pencitraan. Tapi, setelah menganalisis dengan teori dari Covey, ternyata Jokowi enggak jaim (jaga image),” ujarnya.
Jokowi juga dianggap sebagai ”Presiden Zaman Now”. Jejak Jokowi di media sosial dinilai strategis untuk menyampaikan pesan positif serta sebagai sarana kekuatan rakyat untuk bertransformasi.
Kesederhanaan Jokowi dibahas dalam tulisan Threes Emir, editor buku #KamiJokowi. “Presiden kita ternyata orang yang biasa-biasa saja. Namun, karena biasa-biasa saja, dia bisa merasakan denyut masyarakat,” ujarnya.
Sebagai editor dan penulis, Threes berharap, Presiden Jokowi membaca buku ini dan menilainya sebagai pencapaian kinerja kepemimpinannya selama ini. Menurut Threes, penulis-penulis buku ini tidak mengenal Jokowi secara pribadi sehingga dapat meninjau secara obyektif.