Arena yang Merana Setelah Pesta
Brasil menikmati berkah infrastruktur ekonomi setelah Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Namun, 18 bulan setelah ”pesta” Rio berakhir 21 Agustus 2016, sejumlah gelanggang olahraga warisan perhelatan olahraga dunia itu terus merana: rusak di sana-sini, melapuk, menanti untuk dipugar, atau dihancurkan.
Kondisi mengenaskan berbagai fasilitas olahraga itu bahkan diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC), lembaga global yang teramat bangga akan dampak olahraga (dan pekan olahraga) terhadap kemajuan peradaban. ”Rencana lanjutan (setelah Olimpiade) yang sangat bagus tidak sepenuhnya terlaksana,” ujar Direktur Eksekutif Pekan Olahraga Olimpiade Christophe Dubi, seperti diberitakan kantor berita Reuters, medio Februari silam.
Kisah masygul terbengkalainya fasilitas olahraga sekian tahun setelah Olimpiade berlangsung tidak semata milik Rio de Janeiro.
Kondisi tersebut bertolak belakang dari warisan perbaikan infrastuktur ekonomi berkat Olimpiade yang diperoleh Rio, seperti sistem transportasi dan telekomunikasi. Warisan itu tetap tidak sempurna. ”Bongkar arena-arena tersebut,” kata Dubi, terutama merujuk pada tujuh gelanggang semipermanen.
Ketujuh arena terakhir itu adalah Stadion Copacabana yang digunakan untuk bola voli pantai dengan kapasitas 12.000 penonton, Stadion Deodoro yang berbentuk persegi empat dan berkapasitas 15.000 bangku (pancalomba modern, rugbi), Fort Copacabana (balap sepeda road race, renang maraton, triatlon; 5.000 bangku), Future Arena (bola tangan; 12.000), Pusat Sepeda Gunung (5.000), Pontal Atletik (jalan cepat, balap sepeda time trial; 5.000), dan salah satu paviliun di Riocentro (angkat besi; 6.500).
Sesungguhnya, di luar ketujuh arena itu, beberapa arena permanen juga dalam kondisi merana. Kompleks olahraga Olimpiade (Olympic Park) masih ditutup dan belum dapat digunakan hingga sekarang. Stadion Renang terbengkalai, velodrom rusak cukup parah, terutama akibat dua kali kebakaran—terakhir November tahun lalu.
Bahkan, Stadion sakral Maracana yang diremajakan jelang Olimpiade menderita penjarahan dengan bangku-bangku tribun yang dicabut dari kedudukannya, tak lama setelah Olimpiade Rio de Janeiro 2016 usai.
Fasilitas-fasilitas olahraga kelas dunia itu ditengarai menjadi korban situasi sosial ekonomi Brasil yang naik-turun. Saat memenangi pencalonan tuan rumah Olimpiade 2009, negeri tropis Amerika Latin itu memang tengah menikmati ledakan kemajuan ekonomi. Pertumbuhan tahunannya mendekati dua digit.
Malang, jelang Olimpiade—dan sesudahnya—negeri dengan kekayaan hutan tropis terbesar di dunia itu terbenam dalam dekade resesi terburuk. Terpuruknya kondisi sosial-ekonomi itu diperparah dengan pusaran ketidakpastian politik.
Tingkat kejahatan pun melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Kejahatan pembunuhan terus meningkat 6 persen sepanjang 2016. Secara statistik melonjak hingga 26 persen dibandingkan kejahatan yang sama tahun sebelumnya.
Praktik korupsi pada Rio 2016 menambah kacau situasi. Carlos Nuzman, ketua penyelenggara Rio 2016, kini tengah diadili dengan dakwaan terlibat praktik suap dalam kesuksesan Rio menjadi tuan rumah Olimpiade.
Meski demikian, kisah masygul terbengkalainya fasilitas olahraga sekian tahun setelah Olimpiade berlangsung tidak semata milik Rio de Janeiro. Di Athena, tujuh tahun setelah Olimpiade 2004 digelar, sejumlah gelanggang juga sengsara.
Pada 2011 itu seperti diberitakan dailymail.co.uk, air kolam di Stadion Renang berwarna coklat saking kotornya dengan berbagai fasilitas stadion yang menderita vandalisme. Kerusakan juga dialami arena kayak dan kano slalom, sofbol, bisbol, dan sebagian perkampungan atlet.
Tidak semua kota penyelenggara mampu mempertahankan dan terus mendayagunakan fasilitas Olimpiade memang. Apalagi bagi negara yang kemudian jatuh miskin akibat resesi atau perang.
Yang terakhir dialami Sarajevo. Bosnia-Herzegovina, yang merupakan penyelenggara Olimpiade musim dingin 1984. Di kota yang luluh lantak oleh 10 tahun perang saudara (1991-2001) dalam eks negeri Yugoslavia itu, berbagai sarana Olimpiade dibiarkan rusak, hancur, dan dipenuhi semak belukar.
Namun, tidak ada kisah yang paling paradoksal dibandingkan yang dialami Montreal, Kanada. Montreal adalah tuan rumah Olimpiade 1976, pesta olahraga megah dengan pemanfaatan berbagai teknologi maju untuk pertama kali—seperti siaran langsung via satelit.
Pada saat bersamaan, penyelenggaraan Olimpiade—termasuk pembanguan dan pemugaran berbagai fasilitas—menenggelamkan warga ibu kota negara Quebec itu dalam utang berkepanjangan. Utang Olimpiade yang ditanggung Montreal itu secara resmi baru bisa terlunasi pada 2006, sekitar 30 tahun setelah api kaldron di stadion Olimpiade, Le Stade, dipadamkan. Selama tiga dekade itu, warga Quebec harus merelakan sebagian pajak mereka untuk mencicil utang—ditambah pajak yang berlipat yang dikenakan pada rokok.
Namun hingga kini, beban warisan Olimpiade pada warga Montreal dan Quebec tidak berakhir. Untuk menjaga agar Le Stade tetap terawat dan bisa digunakan, Pemerintah provinsi di Kanada timur itu tetap harus merogoh anggaran—yang dikumpulkan terutama dari pajak dan retribusi—17 juta dollar AS (sekitar Rp 234 miliar) untuk menyubsidi RIO, badan pengelola stadion.
Theglobeandmail.com tahun lalu memberitakan, uang sebanyak itu tidak termasuk biaya yang dibutuhkan mengganti atap penutup stadion berbentuk cangkang kerang itu—Le Stade dibangun dengan biaya sekitar Rp 55 triliun dalam kurs saat ini. Diperkirakan, uang yang diperlukan 300 juta dollar AS (sekitar Rp 4,1 triliun).
Selama atap belum diganti, Le Stade yang berkapasitas 56.000 penonton itu tetap tak bisa digunakan di musim salju. Ada lebih dari 6.000 titik bocor di atap serat karbon itu yang jika memperoleh beban salju yang tebal bisa saja bagian-bagiannya runtuh dan membahayakan penonton.
Tantangan Indonesia
Kembali ke Tanah Air, 18 Agustus-2 September mendatang, Jakarta dan Palembang akan memestakan pekan olahraga terbesar kedua di dunia, Asian Games. Indonesia makin siap menyambutnya.
Keputusan bijaksana telah diambil dengan memugar fasilitas yang telah ada untuk perhelatan tersebut: kompleks Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta yang warisan Asian Games 1962 dan kompleks Jakabaring, Palembang, warisan PON 2004 dan SEA Games 2011. Berbagai gelanggang di GBK memang sudah saatnya dipugar besar-besaran setelah 56 tahun dibangun.
Namun tetap saja, tantangan yang bakal dihadapi Indonesia—juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemprov Sumatera Selatan, dan Pemerintah Kota Palembang—adalah pemberdayaan dan perawatan gelanggang setelah Asian Games.
Kita tentu tidak mau nasib berbagai sarana olahraga di Olympic Park Rio de Janeiro, Athena, atau Le Stade Montreal juga dialami GBK dan Jakabaring. Pasalnya, itu bukanlah satu-satunya nasib yang dialami oleh fasilitas olahraga dunia setelah pesta.
Masih banyak kisah menggembirakan. Misalnya, Kompleks Stadion Nasional, Singapura. Berbagai gelanggang di pusat olahraga negeri pulau itu terus termanfaatkan dan menjelma menjadi fasilitas modern.
Arena pertandingan di Singapura hingga kini kerap menjadi langganan penyelenggara ajang-ajang olahraga internasioal, baik per cabang olahraga maupun pekan olahraga internasional hingga kelas Olimpiade Remaja (2010).
Keberadaan fasilitas olahraga di Singapura itu tak hanya menguntungkan secara ekonomi. Lebih dari itu, fasilitas yang baik mampu mendongkrak kompetensi dan daya saing sumber daya warganya. Pada 2016 saja, warga Singapura termasuk pada kelompok penduduk yang bugar dengan tingkat partisipasi olahraga negara itu mendekati 60 persen penduduk.
Fasilitas olahraga yang terpelihara dan termanfaatkan hingga mampu meningkatkan kebugaran—yang pada akhirnya bisa mendongkrak daya saing dan produktivitas warga—juga dirasakan Thailand dan Korea Selatan. Pada 2014, selama 17 hari penyelenggaraan Asian Games di Incheon, harian Kompas telah mengulas berbagai kemajuan ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia yang dinikmai Korsel, dipicu oleh keputusan negeri itu menggelar Olimpiade 1988.
Kita berharap Asian Games 2018 akan membawa Indonesia mengikuti jejak Korsel, Singapura, Thailand, dan lainnya, bukan jejak yang ditinggalkan Rio de Janeiro, Athena, atau Montreal.