Waskita Akui Persiapan Konstruksi Tol Becakayu Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Persiapan konstruksi layang Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu yang belum optimal mengakibatkan jatuhnya gelagar atau girder di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur. Perusahaan kontraktor lalai mempertimbangkan faktor teknis dalam pemasangan gelagar nonstandar.
Direktur Operasi II PT Waskita Karya Nyoman Wirya Adnyana, di Jakarta, Kamis (22/2), mengakui, pihaknya luput memperhitungkan faktor teknis dalam pemasangan gelagar balok penyangga tol yang diletakkan di atas tiang penopang. Jenis gelagar yang digunakan adalah nonstandar dengan panjang 50 meter. Sementara panjang baku sebuah gelagar adalah 40 meter.
Ia menambahkan, pemasangan gelagar nonstandar membutuhkan kecermatan tersendiri karena ukurannya yang cenderung lebih ramping ketimbang gelagar standar. Titik seimbang dalam pengangkatan dan peletakan gelagar nonstandar pada tiang penopang harus presisi.
”Kalau meleset sedikit saja, bisa jatuh,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Penghentian Sementara Konstruksi Layang” pada Forum Merdeka Barat 9 di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dalam diskusi tersebut, hadir Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin serta Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri.
Di samping persoalan titik seimbang, lanjut Nyoman, pihaknya juga luput dalam memperhitungkan kecepatan angin. Kecepatan angin di lokasi pembangunan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) mencapai 30 kilometer per jam. Hal itu turut memengaruhi gerak gelagar ketika diangkat.
Kelalaian tersebut berakibat pada jatuhnya salah satu gelagar Tol Becakayu di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, dua hari lalu. Tujuh pekerja terluka dan salah satunya dalam kondisi kritis.
”Kecelakaan itu memperingatkan kami agar lebih hati-hati melaksanakan SOP (prosedur standar operasi) dan ada faktor-faktor teknis yang selama ini kami lalai memperhitungkan,” kata Nyoman.
Kecelakaan kerja saat pemasangan gelagar nonstandar oleh PT Waskita bukan baru sekali terjadi. Pada September 2017, pembangunan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi mengalami kecelakaan serupa. Sebuah gelagar sepanjang 51,6 meter terguling setelah diangkat dan didudukkan pada tiang penopang. Kecelakaan itu mengakibatkan satu orang meninggal dan dua orang luka-luka.
Pada Oktober 2017, kecelakaan kembali terjadi dalam pembangunan Tol Pasuruan-Probolinggo (Paspro). Nyoman mengatakan, empat gelagar yang panjangnya 51,6 meter sudah didudukkan pada tiang penopang. Keempatnya siap untuk diikat satu sama lain. Namun, gelagar keempat tiba-tiba terguling, menyentuh gelagar ketiga, dan menyebabkan efek domino terhadap gelagar kedua dan pertama.
Jatuhnya empat gelagar di Tol Paspro itu pun menelan satu korban jiwa, sementara dua orang menderita luka.
Gelagar membutuhkan sistem yang membuatnya lebih kaku saat diangkat. Titik angkat pun tidak bisa dibuat sesuai standar, tetapi harus lebih berat dari titik berat gelagar.
”Kami butuh waktu tiga bulan untuk mengetahui apa penyebab tergulingnya gelagar-gelagar itu,” ucap Nyoman.
Pihaknya sampai pada kesimpulan bahwa gelagar membutuhkan sistem yang membuatnya lebih kaku saat diangkat. Titik angkat pun tidak bisa dibuat sesuai standar, tetapi harus lebih berat dari titik berat gelagar.
Selain itu, untuk sementara PT Waskita membatasi jam kerja pemasangan gelagar nonstandar hanya sampai pukul 17.00 dan harus disaksikan oleh komite terkait. Pengangkatan gelagar tidak dilakukan saat kecepatan angin mencapai 30 kilometer per jam.
Dari semua proyek yang ditangani PT Waskita, masih ada 1.300 gelagar yang belum dipasang dari total 7.000 gelagar. Menurut Nyoman, gelagar nonstandar dipilih berdasarkan pertimbangan estetika, agar jumlah tiang yang berada di tengah jalan raya berkurang.
Menurut Guru Besar Rekayasa Struktur Institut Teknologi Bandung Iswandi Imran, gelagar nonstandar yang ukurannya cenderung ramping rentan memunculkan masalah ketidakstabilan. Oleh karena itu, pemasangannya membutuhkan sistem penstabil, mulai dari pengangkatan, pendudukan, hingga pengikatan satu sama lain.
”Masa kritis dari penggunaan gelagar nonstandar adalah pada saat pengangkatan (erection) karena gelagar masih berupa sistem tunggal yang belum ada pemegangnya. Gelagar-gelagar itu nantinya akan disusun dan diikat satu sama lain sehingga perlu ada sistem pemegang sementara sebelum yang permanen disiapkan,” tutur Iswandi.
Ia melanjutkan, gelagar nonstandar cenderung digunakan untuk membangun jalan di atas bentangan medan sekitar 50 meter dan tidak memungkinkan untuk dipasangi tiang di tengahnya. Misalnya, pada medan sungai atau jalan tol.
Gelagar nonstandar ini juga telah banyak digunakan dalam proyek konstruksi layang sejak 10 tahun lalu. Penggunaan gelagar nonstandar mempercepat pekerjaan karena bentangannya yang lebih panjang.
Selain itu, jenis gelagar nonstandar juga saat ini cenderung lebih mudah diperoleh dari pabrik pracetak.
”Selama sistem pemasangan dan antisipasi risiko disiapkan dengan baik, tidak ada masalah dengan penggunaan gelagar nonstandar,” ucapnya.
Perkuat sistem keselamatan
Syarif mengatakan, setiap perusahaan kontraktor harus memperkuat sistem keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja (K3). Apalagi, persoalan tersebut sudah dianggarkan sebesar 1,5 persen hingga 2,5 persen dari nilai total proyek.
”Pelaksana biasanya hanya memperhatikan persoalan pembangunan secara fisik, tetapi ihwal K3 tidak disiapkan,” lanjut Syarif.
Oleh karena itu, berdasarkan perintah Presiden, Kementerian PUPR menghentikan sementara proyek konstruksi layang di seluruh Indonesia.
Penghentian sementara ini terkait dengan terjadinya 14 kecelakaan kerja dalam pembangunan konstruksi layang sejak tahun 2017 sampai awal 2018. Terdapat enam kriteria proyek yang dihentikan sementara, salah satunya menggunakan balok langsing atau gelagar nonstandar.
Hingga saat ini terdapat 36 proyek kontruksi layang yang dihentikan, yakni 32 proyek pembangunan tol dan 4 proyek pembangunan infrastruktur kereta ringan (LRT).
Penghentian sementara ini paling lama berlangsung selama dua pekan.
”Penghentian sementara ini paling lama berlangsung selama dua pekan,” kata Syarif. Selama periode itu, Kementerian PUPR membuka ruang konsultasi untuk perusahaan kontraktor yang proyeknya dihentikan. Mereka wajib menyerahkan dokumen jaminan keselamatan. Jika dokumen-dokumen itu memenuhi persyaratan, pemerintah akan memberikan kewenangan untuk melanjutkan proyek.
Meski menghentikan sementara beberapa proyek, Syarif menjamin, tidak ada tambahan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikeluarkan. Target penyelesaian proyek pun harus tetap pada jadwal, terutama untuk pembangunan prioritas nasional. Adapun proyek pembangunan yang menjadi prioritas antara lain terkait persiapan Asian Games 2018 dan jalur mudik. (DD01)