Sprinter Karisma Evi Tiarani selalu penasaran menembus batasan dirinya. Pemecahan rekor demi rekor tak membuatnya puas.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·4 menit baca
Sprinter Karisma Evi Tiarani tidak pernah menyangka akan meraih medali perak di Paralimpiade Paris 2024. Saingannya adalah trio ”ratu” Italia yang menguasai nomor 100 meter putri klasifikasi T63 (memakai kaki palsu), yaitu Ambra Sabatini, Martina Caironi, dan Monica Grazziana Contrafatto.
Di luar dugaan, dalam babak final lari 100 meter putri klasifikasi T63, Sabtu (7/9/2024), Sabatini yang hampir pasti meraih emas terjatuh hanya beberapa meter dari finis. Contrafatto yang berlari di sebelah Sabatini ikut jatuh karena tidak sempat menghindar. Jadilah Evi meraih perak dan Caironi mendapat emas. Jika tidak ada insiden itu, kemungkinan Sabatini mendapat emas, Contrafatto atau Caironi perak, dan Evi maksimal meraih perunggu atau finis di peringkat keempat tanpa medali.
Amat sulit bagi Evi yang tidak memakai kaki palsu bilah bersaing dengan pelari yang memakai kaki palsu bilah. Klasifikasi Evi sebenarnya adalah T42, yaitu keterbatasan gerak pada sebelah kaki, tetapi tidak memakai kaki palsu. Kaki kiri Evi lebih pendek dari kaki kanannya.
Pelari dengan kaki palsu bilah, sering dijuluki blade runner, larinya akan lebih cepat setelah jarak 60 meter karena efek pantulan dari kaki palsunya. Cara mengalahkan blade runner adalah start cepat dan berlari sekuat tenaga sejak start.
”Tidak ada yang tidak mungkin,” kata Evi sebelum babak final saat diwawancara Kompas di zona campuran Stadion Stade de France, Paris, Sabtu (7/9/2024). Kata-katanya terbukti pada saat babak final.
Di Paris, Evi memecahkan dua rekor dunia 100 meter putri klasifikasi T42 atas namanya, yaitu dari 14,37 detik pada Asian Para Games Hangzhou tahun 2023 menjadi 14,34 detik pada heat 1 (semifinal), lalu dipertajam lagi menjadi 14,26 detik di babak final.
Catatan waktu Evi selalu menunjukkan peningkatan. Saat Paralimpiade Tokyo 2020 yang digelar 2021 akibat pandemi, catatan waktu Evi adalah 14,83 detik. Tiga tahun kemudian, di Paris, catatan waktunya melesat menjadi 14,26 detik.
Pengalaman paling berkesan Evi adalah Paralimpiade Tokyo 2020 karena pandemi Covid-19 dan Paralimpiade Evi yang kedua, yaitu edisi Paris 2024. Menurut Evi, pengalaman di Paris lebih berkesan karena penonton di Stade de France mencapai puluhan ribu orang (kapasitas penuh Stade de France sekitar 80.000 penonton) dan ia mendapat medali perak.
Evi mengungkapkan, beban justru dirasakannya di Paris saat heat 1 atau semifinal. Saat itu dia belum tahu persis catatan waktu pesaingnya. Setelah melewati semifinal baru ketahuan perbedaan catatan waktu Evi dan lawannya tipis saja. ”Sebenarnya untuk medali belum target utama. Target utama tetap pecah rekor pribadi. Saya tidak menyangka dapat perak, sebelumnya mungkin hanya perunggu,” ujarnya.
Tidak ada yang tidak mungkin.
Awalnya dari bulu tangkis
Sebelum menjadi pelari, Evi sebenarnya tertarik menjadi atlet bulu tangkis. Perjalanannya sebagai atlet difabel diawali sejak kelas 2 SMP. Bakatnya sebagai pelari potensial membuatnya diundang menjadi siswa Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Jateng hingga lulus SMA. Mulai dari PPLP, Evi berlomba di ajang atletik tingkat daerah, nasional, dan internasional level yunior bahkan di level senior bersaing dengan atlet yang lebih tua darinya.
”Tadinya ikut atletik cuma jadi batu loncatan (ke bulu tangkis), sekarang malah jadi fondasi, jadinya ikut atletik terus. Sekarang kalau ditawari ke bulu tangkis, enggak aja deh karena sudah telanjur senang dengan atletik,” kata Evi saat menunggu pesawat ke Tanah Air di Bandara Charles de Gaule, Paris, Senin (9/9/2024).
Evi mulai mantap menjadi atlet atletik setelah meraih medali di ajang Pekan Paralimpik Pelajar Nasional (Pepapernas) Bandung 2016. Saat itu dia masih kelas 3 SMP. Setelah itu, Evi ikut ajang Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) yang setara dengan PON untuk atlet difabel, lalu ASEAN Para Games Malaysia 2017 yang merupakan debut Evi di ajang multievent internasional. Evi kemudian tampil pada Asian Youth Games di Dubai 2017 dan Asian Para Games di Jakarta 2018. Selain itu, Evi juga sering mengikuti single event atletik seperti Grand Prix mulai 2019.
Saat jenuh, Evi berpikir, kenapa tidak jadi atlet bulu tangkis saja. Tetapi, penyesalan itu tidak lama karena Evi kembali berlatih atletik lagi. Atletik membuatnya nyaman.
”Bulu tangkis olahraga permainan, pastinya ingin bertanding tapi cepat (selesai), tetapi latihannya sama lamanya seperti atletik. Pas main bulu tangkis dengan teman-teman enggak menikmati seperti kalau latihan atletik. Ternyata saya lebih suka atletik yang bukan (olahraga) permainan. Kalau permainan itu kadang jenuh dan tergantung mood, kalau atletik tidak,” tutur Evi.
Menurut Evi, banyak orang yang telah berjasa sampai dirinya mampu meraih medali di ajang paling tinggi, yaitu Paralimpiade. Awalnya yang mengajak Evi ikut olahraga disabilitas adalah Mbak Tari dan almarhum suaminya, Mas Rai, dari National Paralympic Committee (NPC) Boyolali.
”Mereka yang berjasa nomor satu, lalu pelatih-pelatih dari PPLP ada Mas Komar, Mas Robi, Mas Fais, dan pelatih NPC ada Mas Tiyo, Pak Slamet, dan Mas Purwo, dan masih banyak lagi, tapi yang pertama mengenalkan adalah Mbak Tari dan almarhum Mas Rai,” katanya.
Membagi waktu
Kesibukan Evi selain berlatih adalah kuliah di Program Studi Ilmu Komunikasi UNS Surakarta. Mahasiswi semester VII itu mengambil pilihan bidang jurnalistik, humas, dan periklanan. Biasanya, pagi sebelum kuliah, Evi latihan dulu. Setelah itu, berangkat ke kampus. Latihan kembali dilanjutkan pada sore hari. Menurut Evi, lebih susah mengatur jadwal latihan saat sekolah dibandingkan saat kuliah.
”Skripsi mau saya ambil semester depan, sekarang akan mengajukan proposal magang. KKN akan coba kognisi dari prestasi (di olahraga). Untuk skripsi akan mencoba mencicil semoga semester depan selesai,” ungkapnya.
Evi kadang kewalahan mengatur antara kuliah dan latihan. Apalagi setelah semester V, jadwal kuliah lumayan padat karena sudah mulai spesialisasi. ”Lumayan aduh. Tapi pas persiapan Paralimpiade, pas libur semester, jadi lebih fokus,” lanjut Evi sambil tertawa.
Target utama Evi selanjutnya adalah Paralimpiade Los Angeles 2028. Tetapi, sebelumnya, targetnya terdekat adalah ASEAN Para Games Thailand 2025. Targetnya tetap sama, yaitu memecahkan rekor pribadi. Evi tidak cepat puas, dia selalu tertantang menembus limitnya sendiri.