Soekirman, Ahli Gizi Paripurna
Jauh sebelum kecukupan gizi sebagai prasyarat pembangunan dibicarakan, Soekirman sudah membahas pentingnya peran gizi.
”Saya senang, alhamdulillah, puji Tuhan. Gizi muncul lagi di pemerintahan. Mudah-mudahan profesional dan tidak ada korupsi.” Begitu ungkapan spontan Prof Soekirman, ahli gizi, atas terbitnya Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional tanggal 15 Agustus 2024.
Tidak ada kata berhenti bagi Prof (emeritus) Soekirman. Ahli gizi ini terus bekerja memperjuangkan perbaikan gizi masyarakat pada usia yang memasuki 88 tahun pada 2 Agustus 2024. Sisi keilmuan dan aktivisme berpadu dalam kesehariannya. Begitu gigih dan tidak pernah putus dia memperjuangkan gizi masuk ke dalam perencanaan pembangunan sehingga murid-muridnya mengusulkan agar dia mendapat gelar Bapak Gizi Pembangunan.
Jauh sebelum negara-negara membicarakan kecukupan gizi sebagai prasyarat pembangunan, Soekirman sudah membahas pentingnya peran gizi dalam membangun bangsa. Dia berbicara dari sisi keilmuan dan melalui praktik dalam posisinya sebagai pejabat di pemerintahan. Buku berisi kumpulan tulisan yang diluncurkan pada peringatan ulang tahunnya di Politeknik Kesehatan, Jakarta, Sabtu (3/8/2024), gamblang menggambarkan kiprah Soekirman selama 61 tahun mengabdi sebagai ahli gizi hingga saat ini.
Soekirman memiliki puncak-puncak capaian sejak lulus dari Akademik Gizi Kementerian Kesehatan, Bogor, pada 1960. Sebagai siswa penerima beasiswa, dia wajib bekerja untuk pemerintah. Tugas pertamanya sebagai ahli gizi di Aceh (1961-1965). Di sana dia mengenal dan belajar dari masyarakat yang berbeda latar belakang dengannya yang berasal dari Jawa. Dia cepat beradaptasi.
Untuk menyebarkan pengetahuan mengenai gizi, dia menulis di satu-satunya koran di Banda Aceh. Tulisan-tulisannya itu menjadikan dia pengasuh acara gizi di Radio Republik Indonesia Aceh, bersiaran satu kali sepekan.
Baca juga: Mulyani, Sepenuh Hati demi Bundengan dan Topeng Lengger
Kecintaan pada profesi ahli gizi mendapat tempat tepat saat bergabung pada 1975 di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin Widjojo Nitisastro.
Banyak idenya memberi sumbangan penting pada kebijakan nasional untuk menghapus kemiskinan. Salah satunya upaya menurunkan jumlah anak kurang gizi dan menurunkan angka kematian ibu melahirkan. Sebagai ahli gizi, Soekirman melihat hal yang tidak dilihat banyak orang, yaitu menggunakan pendekatan pangan dan gizi sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sementara pada waktu itu sebagian besar orang melihat gizi adalah bagian dari kesehatan.
Saya senang, alhamdulillah puji Tuhan. Gizi muncul lagi di pemerintahan. Mudah-mudahan profesional dan tidak ada korupsi.
Prof dr Fasli Jalal, yang pernah menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, dan pernah menjadi anak buah Soekirman di Bappenas, dalam acara peluncuran buku menuturkan kegigihan Soekirman. Soekirman menerjemahkan keinginan Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro agar pembangunan ekonomi menurunkan dan mencegah kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Soekirman berhasil memasukkan Bab Pangan dan Gizi ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), menjadikan gizi sebagai bagian dari pangan. Padahal, pangan ada pada bidang ekonomi, sementara gizi adalah bagian kecil dari kesehatan dan ada pada bidang sosial.
Ide-ide baru
Saat di Karawang, Jawa Barat, tahun 1977 terjadi kelaparan, pemerintah merasa tertampar. Bukan saja karena sangat mudah dicapai dari Jakarta, pusat pemerintahan, melainkan juga karena Karawang salah satu produsen utama padi nasional. Kekeringan panjang menyebabkan penduduk di sebagian wilayah di sana kesulitan memanen padi.
Prof JB Sumarlin sebagai Deputi Kepala Bappenas memanggil Soekirman dan bertanya dengan nada agak marah mengapa kelaparan tidak diketahui sejak awal, mengapa Departemen Kesehatan tidak bergerak mencegah.
Sebagai ilmuwan dan sekaligus birokrat, Soekirman menjelaskan, ilmu dan lembaga yang diperlukan belum ada di Indonesia. Untuk mencegah kasus kelaparan di Karawang terulang, diperlukan lembaga kewaspadaan gizi. Soekirman mengetahui pentingnya kelembagaan itu saat menempuh program master di Cornell University, Amerika Serikat (1971-1973).
Sebagai ilmuwan, Soekirman bekerja berbasis data riset. Maka, dia mengupayakan penelitian bersama antara Universitas Cornell, Puslitbang Gizi di Bogor, Puslit Agro Ekonomi, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pertanian pada 1979. Hasil penelitian melahirkan kelembagaan kewaspadaan gizi dan masuk ke dalam Bab Pangan dan Gizi Repelita III (1979-1984).
Sumbangan penting lain adalah pemberian makanan tambahan anak sekolah. Dia tersentak ketika sebagai Deputi Kepala Bappenas berkeliling ke Nusa Tenggara Timur bersama Fasli Djalal. Di sebuah sekolah mereka menemukan ruang kelas yang kosong. Ternyata pagi itu anak-anak sedang tidur. Rupanya mereka berangkat terlalu pagi menuju sekolah karena jarak rumah ke sekolah jauh. Pun perut mereka kosong belum sarapan atau karena tidak ada makanan di rumah. Kurang tidur dan lapar membuat anak-anak mengantuk.
Bersama Fasli, dia mengupayakan program makanan tambahan anak sekolah sehingga lahir Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Idenya didapat dari pengalaman banyak negara lain untuk meningkatkan status gizi anak, membuat anak tidak bolos sekolah, mengajarkan gizi kepada orangtua anak, dan meningkatkan ekonomi desa melalui pemanfaatan pangan yang diproduksi desa dan di pekarangan.
Usul Soekirman saat itu agar uang dikirim langsung ke desa diterima. Harapannya, uang tidak akan disalahgunakan. Namun, Soekirman menemukan ada saja uang yang diselewengkan, pun tidak semua desa menggunakan bahan pangan lokal.
Baca juga: Endo Suanda, Penguat dan Pelestari Seni Nusantara
Itu sebabnya, Soekirman berharap betul program Makan Bergizi Gratis yang diusung presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rabuming Raka, dapat berjalan dan tidak ada korupsi. Program tersebut memiliki ide mirip dengan PMTAS.
Terus kampanye
Dalam posisinya saat ini sebagai Ketua Dewan Pembina Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), Soekirman ikut aktif memperjuangkan konsistensi pelaksanaan kebijakan Fortifikasi Pangan Wajib. Fortifikasi pangan adalah memperkuat nilai gizi bahan pangan dengan menambahkan unsur gizi mikro ke dalam suatu bahan pangan. Tujuannya mencegah suatu penyakit atau meningkatkan kualitas bahan pangan itu.
Yodium yang ditambahkan pada garam, misalnya, nilai uangnya tidak seberapa, tetapi besar perannya dalam membentuk hormon tiroid yang mengatur sejumlah metabolisme penting dalam tubuh. Salah satu dampak kekurangan yodium adalah penyakit gondok.
Pemerintah mewajibkan fortifikasi zat besi asam folat, serta vitamin B1 dan B2 pada terigu, serta vitamin A pada minyak sawit. Beras sedang diperjuangkan agar wajib terfortifikasi besi, seng, serta vitamin B1, B3, B6, B9, dan B12. Harapannya, program Makan Bergizi Gratis mewajibkan penggunaan bahan pangan yang difortifikasi.
Prof (Emeritus) Soekirman
Lahir: Bojonegoro, 2 Agustus 1936
Istri: Sri Wahyu Soekirman (alm)
Pendidikan:
- PhD dari Universitas Cornell, AS (1983)
- Mater of Professional Studies Bidang International Nutrition dari Universitas Cornell (1973)
- Sarjana Kesehatan Masyarakat, FKM UI (1969)
- Bachelor of Science, Akademik Gizi Kementerian kesehatan, Bogor (1960)
Pekerjaan sekarang:
- Direktur Eksekutif Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI)
- Guru Besar Emeritus, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor