Bagi seorang eksekutif dan sosialita, tampil dengan baju berjenama mahal merupakan hal biasa dan wajar.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·2 menit baca
Bagi seorang eksekutif dan sosialita, tampil dengan baju berjenama mahal merupakan hal biasa dan wajar. Namun, Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, tidak demikian. Saat menjadi tuan rumah acara Sore Berkebaya di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat (30/8/2023), Renita mengenakan kebaya model klasik yang harga kainnya tak sampai Rp 100.000.
Ibu lima anak itu tampak luwes dan njawani dengan kain batik panjang dipadu kebaya warna merah marun, dengan gelungan dan sunggaran yang indah. Sepintas tampilannya seperti tokoh Bu Broto dalam serial berjudul Losmen yang tenar di awal tahun 1980-an. ”Saya jadi Bu Broto hari ini, he-he-he,” tuturnya bercanda.
Usai acara, Renita baru menjelaskan, harga kain kebayanya sangat murah. ”(Kain untuk) kebaya ini harganya Rp 40.000 semeter. Jadi, untuk bisa menjadi kebaya harganya tak sampai Rp 100.000. Aku beli di salah satu toko kain di Pasar Mayestik (Jakarta Selatan). Kain itu sudah ada di boks gitu. Eh kok bagus, aku beli saja,” jelasnya tentang kisah kebaya Bu Broto itu.
Ia membeli kain itu ditemani anak keduanya, Raisha Zahra, yang kuliah fashion di Binus Northumbria School of Design, Binus University Jakarta. ”Kami berdua memang sama-sama suka jalan ke pasar. Waktu ke Yogyakarta, aku dan Raisha pergi ke Pasar Beringharjo. Aku beli banyak kebaya, harganya Rp 30.000-an, Rp 40.000-an, tapi bagus-bagus. Beli banyak deh,” ujar Renita.
Raisha yang duduk di sebelahnya mengangguk-angguk sambil tertawa. ”Seneng banget ke pasar dengan ibu. Selain beli kebaya, juga jajan es dawet dan lainnya,” timpal Raisha yang bersama kawan kuliahnya dan desainer dari Indonesian Fashion Chamber akan tampil di pergelaran Front Row Paris 2024 di Paris, pekan depan.
Renita menyatakan jarang membeli baju berjenama mahal. Malah jika sedang berada di luar negeri, ia sering mencari baju, aksesori seperti tas yang vintage. Ia mencarinya ke pasar loak yang ada di kota yang ia kunjungi. Salah satu hasil buruannya ke pasar loak adalah tas tangan yang ia pakai pada acara Sore Berkebaya tersebut.
Masuk ke pasar, menjelajahi isinya, membeli kain dan baju yang dijual di sana merupakan kesenangan Renita yang ia turunkan kepada anak-anak yang semua perempuan. Selain mencari baju kebaya, aksesori, kain batik, ia sudah pasti mencari makanan khas daerah setempat. Di pasar di Pulau Jawa, misalnya, ia berburu dawet, gudek, dan lainnya.
”Jalan ke pasar itu buat aku selain karena memang senang, juga untuk pelepas stres. Tahu sendiri, kan, tiap hari harus menghadapi banyak permintaan, lalu merencanakan banyak kegiatan. Bikin stres,” katanya. Jalan pelepasan yang ia pilih ialah masuk-keluar pasar tradisional.
Tentang Sore Berkebaya, yang semula acara intim dengan kalangan terbatas, berubah menjadi ajang penampilan aneka kebaya oleh para tamu. Selain itu, ada demo memakai gelung (sanggul khas untuk perempuan Jawa) yang dibawakan Ninoek W Soenaryo dan Retno Wulandari dari Perkumpulan Pencinta Sanggul Nusantara.
Hadirin menyambut gembira kursus singkat tersebut. Berkat bantuan tambahan rambut palsu, pemakaian sanggul Jawa bisa dilakukan dengan mudah dan tak lagi merusak rambut sebab rambut tak perlu disasak (disikat untuk menaikkan volume rambut).
Acara ditutup trunskhow aneka kebaya Svarna by Ikat Indonesia milik desainer Didiet Maulana. Didiet menampilkan 14 kebaya panjang, janggan, peranakan, dan baju bodo dari Sulawesi Selatan. Menurut Didiet, kebaya-kebaya itu dibuat hanya dalam waktu sembilan hari.
Baju kebaya tersebut dilengkapi aksesori seperti bros, anting karya Epa Jewel. Epa khusus membuat aksesori tanpa merusak kain kebayanya.