Zakia Khudadadi, Medali Inspirasi Pengungsi
Sempat ingin bunuh diri, Khudadadi lari dari Afghanistan dan menjadi pengungsi pertama yang meraih medali Paralimpiade.
Menjadi perempuan sekaligus penyandang disabilitas di Afghanistan adalah salah satu hal tersulit di dunia. Zakia Khudadadi, atlet asal negara itu, bahkan sempat mencoba bunuh diri. Namun, ia bangkit dan menjadi atlet pengungsi pertama yang meraih medali Paralimpiade.
Tiga tahun silam, Khudadadi menjadi perbincangan luas aktivis perempuan dan pembela hak asasi manusia (HAM). Dalam rekaman video yang terbesar luas, atlet taekwondo itu meminta bantuan publik dunia untuk mengeluarkannya dari Kabul, ibu kota Afghanistan, yang dikuasai Taliban.
Pendudukan Taliban, kelompok ultrakonservatif, membuat Khudadadi hidup bak terpenjara. Nyawanya bahkan terancam. Dia tidak bisa berlatih ataupun sekadar belanja di luar rumah. Ia terperangkap di rumahnya sendiri, nyaris tanpa makanan yang cukup.
”Saya meminta ke kalian, perempuan di seluruh dunia, organisasi pelindung perempuan, dari semua negara, jangan biarkan hak perempuan Afghanistan direnggut dengan mudah. Tolong bantu saya,” ujar Khudadadi penuh iba, seperti dikutip Reuters, 17 Agustus 2021.
Saat itu, perempuan yang terlahir tanpa lengan bawah kiri itu ingin tampil di Paralimpiade Tokyo 2020. Namun, celakanya, menjelang ajang olahraga penyandang disabilitas terbesar sejagat itu digelar, terjadi gejolak politik di Kabul. Taliban mengambil-alih pemerintahan. Pembatasan, khususnya untuk perempuan, dilakukan secara masif.
Di era Taliban, perempuan sepertinya kian terkungkung. Hak-hak mereka dilucuti. Mereka dilarang keluar rumah tanpa didampingi laki-laki, apalagi berlatih taekwondo seperti dirinya. Mereka juga dilarang berbicara di depan umum, bahkan bernyanyi di rumah sendiri, karena dianggap bisa menjadi godaan bagi laki-laki.
Baca juga: Sifan Hassan, Imigran yang Mengguncang Lintasan Lari Olimpiade Paris
Namun, Khudadadi melawan. Ia ingin mengejar mimpinya meraih medali di Paralimpiade. Setelah bersembunyi, dia melarikan diri dari Afghanistan, memanfaatkan operasi evakuasi besar yang dilakukan Sekutu dan sejumlah negara lainnya di Bandara Kabul. Sebanyak 195 orang, 11 di antaranya warga sipil Afghanistan, tewas dalam evakuasi yang diwarnai kepanikan itu.
Khudadadi dan rekannya sesama atlet, Hossain Rasouli, diselamatkan oleh Angkatan Udara Australia. Ia pun memenuhi ambisinya tampil di Paralimpiade Tokyo 2020 lewat jalur atlet wildcard. Karena energinya terkuras untuk pelarian itu, Khudadadi pun tersingkir di babak 16 besar taekwondo Paralimpiade Tokyo setelah dikalahkan Ziyodakhon Isakova (Uzbekistan).
Luar biasa sulit. Saya harus memulai lagi dari nol, tidak paham bahasa di sini. Beruntung, keluarga saya akhirnya bisa menyusul ke Perancis. Mereka telah tinggal di pusat pengungsi hampir dua tahun terakhir.
Namun, ia setidaknya telah mengukir sejarah sebagai perempuan Afghanistan pertama yang tampil di ajang internasional sejak Taliban menguasai Afghanistan menyusul perang selama lebih dari dua dekade. “Sejak usia 9 tahun, saya bermimpi tampil di Paralimpiade. Meskipun banyak tantangan, tinggal di negara yang tak aman dan hampir setiap hari terdengar ledakan (bom), saya tak pernah mengkhianati komitmen (sebagai atlet),” ujar Khudadadi.
Komitmen itu membuatnya meninggalkan Afghanistan selamanya, jauh dari keluarganya di Kabul. Namun, ia tak menyesal. Baginya, lebih baik tinggal di penampungan pengungsi di negara orang, ketimbang terpenjara di negeri sendiri. Ia pun lantas menetap di Perancis yang memberinya suaka.
”Luar biasa sulit. Saya harus memulai lagi dari nol, tidak paham bahasa di sini. Beruntung, keluarga saya akhirnya bisa menyusul ke Perancis. Mereka telah tinggal di pusat pengungsi hampir dua tahun terakhir,” ujarnya pada Juli 2024.
Di Perancis, negara yang punya moto liberte alias kebebasan berpendapat, Khudadadi bisa mengembangkan potensi dirinya tanpa dihinggapi kekhawatiran. Hal itu tidak didapatnya di negara asalnya. Saat kecil, ia sampai menutupi tangannya yang tak sempurna dengan syal besar agar tidak dirundung di sekolah. Ia juga harus berlatih taekwondo dengan sembunyi-sembunyi di halaman belakang rumahnya.
Diskriminasi
Laporan Human Rights Watch menyebutkan, penyandang disabilitas di negara itu cenderung didiskriminasikan, apalagi perempuan. Mereka tidak mendapatkan tazkira alias kartu tanda penduduk Afghanistan sehingga tak terjangkau layanan pemerintah. Di era Taliban, menurut riset dari Universitas Alabama, AS, difabel dianggap bukan manusia seutuhnya. Mereka pun kerap terbunuh.
“Maka, saya harus menyembunyikannya (kondisi disabilitas). Pada usia 10 tahun, saya bahkan mencoba bunuh diri karena frustrasi dengan lingkungan sosial yang tidak memahami saya,” tutur Khudadadi dalam wawancara dengan Komite Paralimpiade Internasional (IPC).
Olahraga, khususnya taekwondo, lantas memberikan tujuan baginya untuk terus hidup di tengah segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapinya. “Olahraga bak cahaya di tengah kegelapan hidup saya. Itu seperti mukjizat. Dari seorang gadis yang menyembunyikan lengan di syal, saya kini menjadi atlet yang dikenal luas dunia,” ujar Khudadadi kemudian.
Namanya kini memang dikenal luas, apalagi setelah tampil di Paralimpiade Paris 2024. Di ajang dunia yang digelar di rumah barunya itu, ia membela Tim Pengungsi Paralimpiade. Sesuai namanya, tim itu mewadahi para atlet pengungsi dari berbagai negara untuk tampil di panggung olahraga terbesar sejagat. Tim itu baru pertama kali diperkenalkan di edisi Rio de Janeiro 2016 silam.
Banyak hal saya lewati untuk meraih ini. Medali ini saya persembahkan untuk semua perempuan di Afghanistan dan para pengungsi di dunia. Saya berharap, suatu hari nanti, ada kedamaian di negara asal saya.
Pada Kamis, di Paris, ia meraih prestasi yang belum pernah diukir atlet pengungsi sebelum-sebelumnya di Paralimpiade, yaitu medali. Capaian medali perunggu di Paris ia raih seusai mengalahkan Nurcihan Ekinci (Turki), Kamis (29/8/2024), dan mundurnya calon lawannya, Naoual Larrif (Maroko) pada taekwondo nomor 47 kilogram putri kategori K44. Air matanya pun tumpah seketika seusai berlari memeluk pelatihnya, Haby Niare.
Baca juga: Emma Hayes, ”Wanita Besi” Sepak Bola Inggris
“Banyak hal saya lewati untuk meraih ini. Medali ini saya persembahkan untuk semua perempuan di Afghanistan dan para pengungsi di dunia. Saya berharap, suatu hari nanti, ada kedamaian di negara asal saya,” ujar Khudadadi yang berusia 25 tahun.
Capaian Khudadadi itu dianggap menginspirasi banyak orang, khususnya perempuan dan pengungsi. ”Zakia telah menunjukkan ke semua orang betapa hebatnya dia. Sungguh kisah menakjubkan yang dijalaninya bisa ke tahap saat ini. Itu sesuatu hal yang bisa kita pelajari,” ujar Presiden IPC Andrew Parsons dalam seremoni penyerahan medali itu.
Khudadadi telah membuktikan, olahraga bisa menjadi sarana untuk bangkit mewujudkan mimpi. Pengungsi pun bisa berprestasi. Maka, “habis gelap, terbitlah terang”. Zakia KhudadadiTempat dan Tanggal Lahir : Herat, Afghanistan, 29 September 1998Prestasi, antara lain:- Medali emas taekwondo 47 kg putri Kejuaraan Paralimpik Eropa 2023- Medali perunggu 47 kg putri Paralimpiade Paris 2024