Vera Nofita, Menukar Sampah dengan Emas
Vera Nofita mengelola bank sampah karena ingin hidupnya berguna atau berdampak positif bagi orang lain.
Apakah yang kamu lakukan selama ini punya dampak kepada orang lain? Pertanyaan dari sepuluh tahun lalu itu mengubah jalan hidup Vera Nofita (48). Dari menginisiasi tabungan khusus bagi ibu-ibu di tempat tinggalnya, kini ia berdaya melalui Bank Sampah Gunung Emas.
Sepuluh tahun lalu, ibu dua anak itu masih bekerja sebagai penyiar radio di Kota Bekasi, Jawa Barat. Suatu waktu, ia berkesempatan mewawancarai AB Susanto, begawan konsultan bisnis keluarga. Wawancara ini awalnya tentang pameran lukisan. Namun, obrolan justru berganti soal kehidupan.
Seingat Vera, AB Susanto memulai dengan pertanyaan apa tujuan kamu bekerja dan untuk siapa? Vera menjawab bekerja untuk mendapatkan uang demi anak, suami, ibu, dan keluarga.
Baca juga: Shindy yang Memilih Bertani
AB Susanto kembali bertanya apakah yang kamu lakukan selama ini punya dampak kepada orang lain? Ketika ia tengah berpikir, meluncur mulus jawaban dari AB Susanto yang mengenai relung hatinya.
”Kita harus melakukan sesuatu yang punya dampak kepada orang lain. Mereka tahu kita dan paling tidak, ketika kita tidak ada di dunia (meninggal), mereka akan berpikir dan berdoa untuk kita,” tutur Vera mengulang perkataan AB Susanto kepadanya ketika dijumpai pada Kamis (22/8/2024).
Siang itu, Vera baru selesai menjemput sampah dari ibu-ibu rumah tangga di Duren Sawit dan Jatibening. Pekerjaannya berlanjut dengan menyortir sampah botol plastik, kaleng, keresek, kemasan saset aneka produk rumah tangga, dan jenis plastik lainnya ke dalam karung-karung berukuran 25-100 kilogram.
Pijakan awal
Di sela pilah-memilah sampah, perempuan berzodiak Scorpio ini bercerita panjang lebar tentang perubahan jalan hidupnya setelah obrolan dengan AB Susanto. Semula ia menginisiasi tabungan khusus ibu rumah tangga di Kampung Pulo Kambing, Jatinegara, pada 2013.
Intinya mengajak ibu-ibu supaya punya tabungan untuk masa depan. Mereka tabung sedikit demi sedikit sehingga bermanfaat nantinya.
Tetangganya, para ibu rumah tangga dari kelas menengah ke bawah, diajak menabung Rp 500 hingga Rp 2.000 dari uang sisa pemberian suami. Tabungan ini jadi bekal untuk keperluan mendadak di waktu yang akan datang.
”Intinya mengajak ibu-ibu supaya punya tabungan untuk masa depan. Mereka tabung sedikit demi sedikit sehingga bermanfaat nantinya,” ujarnya.
Seiring waktu datang seorang ibu yang ingin punya tabungan. Namun, ia tidak punya sisa uang karena pemberian suaminya hanya Rp 50.000.
Lulusan SMA ini lantas berpikir apa yang bisa dilakukan agar si ibu punya tabungan. Setelah mengingat ada kenalan yang mengumpulkan botol plastik, ia menyarankan tukar sampah jadi uang.
Tak disangka saran ini menjadi pembuka jalan terbentuknya Bank Sampah Gunung Emas pada 2014. Apa itu bank sampah hingga tata kelola atau manajemennya dipelajari Vera dari seorang kenalan, LBH APIK, APK Foundation. Selain itu, ia mempelajarinya secara otodidak.
”Sekarang gantian. Banyak yang bertanya bagaimana cara bikin bank sampah, bagaimana bisa bertahan, inovasinya apa,” selorohnya.
Berdaya
Setahun pertama terlewati berkat kegigihan Vera dan konsistensi ibu-ibu dalam memilah sampah. Dari situ, Bank Sampah Gunung Emas mulai mengepakan sayapnya.
Dengan tekad bulat, perempuan kelahiran Jakarta ini menyurati PT Antam Tbk. Ia meminta dukungan dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) untuk program Nyimas atau Nyimpan Sampah Jadi Emas. Dalam kurun tiga tahun, sampai 2018, mereka sukses mengonversi sampah jadi 1,8 kg emas.
Program Nyimas ini turut mengantarkan Vera meraih penghargaan Kalpataru kategori perintis lingkungan tingkat Provinsi DKI Jakarta tahun 2017. Kalpataru merupakan penghargaan kepada perorangan atau kelompok yang berjasa dalam melestarikan lingkungan.
”Setelah CSR selesai, Nyimas tidak sekencang dulu karena biaya mengenalkan program ini mahal. Kami harus punya modal untuk membeli emas dalam jumlah tertentu,” ucapnya.
Vera tidak patah semangat. Ia justru belajar kalau bank sampah bukan hanya kerja sosial yang selalu bergantung pada bantuan pemerintah ataupun CSR. Pengelolanya mesti mandiri dan konsisten menjalankan tukar sampah jadi uang, menguatkan relasi ataupun inovasi.
Baca juga: Iwan Billy Tokoro, Menjaga Tanah Papua dengan Ekonomi Kreatif Berkelanjutan
Salah satu hasilnya ketika Bank Sampah Gunung Emas bertahan dari hantaman pandemi Covid-19. Padahal, saat itu, ia dan teman-teman hanya menawarkan kelas hidroponik seharga Rp 10.000 per orang sebagai ganti terbatasnya tukar sampah. ”Siapa sangka kelas ini laris manis. Pembelinya sampai 60.000 orang,” tuturnya.
Laris manis tersebut membuat Bank Sampah Gunung Emas makin dikenal luas. Alhasil, pada 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengganjarnya sebagai satu dari sepuluh bank sampah dengan kinerja terbaik.
Masih pada tahun yang sama, PT Pegadaian (Persero) memberikan penghargaan kepada Vera dan teman-teman sebagai satu dari sepuluh pengelola bank sampah binaan baru terbaik nasional dalam Program Clean n Gold Movement. Program ini bagian dari The Gade Clean & Gold atau menukar sampah jadi tabungan emas sesuai harga setiap harinya.
”Nyimas yang sudah kami gagas berlanjut dengan tabungan emas. Ini kesempatan baru yang tidak kami sia-siakan,” katanya. Sampai sekarang sudah ada 120 warga yang membuka tabungan emas melalui Bank Sampah Gunung Emas.
Saya sudah merintis. Sekarang bagaimana bertahan dan terus berkembang.
Di samping capaian dan kesempatan baru, bank sampah itu bisa menyewa bangunan seluas 100 meter persegi dengan biaya Rp 45 juta setiap tahunnya di Pulogadung. Adapun untuk operasional ada satu mobil pikap dan motor pengangkut sampah. ”Saya sudah merintis. Sekarang bagaimana bertahan dan terus berkembang,” ucapnya.
Terus berkembang
Vera mendeklarasikan Bank Sampah Gunung Emas sebagai konseptor dan edukator. Hingga kini, ia dan teman-teman mendampingi tiga bank sampah lain, menjadi pembicara di sekolah-sekolah, kelas webinar, dan lainnya.
Sebaliknya untuk diri sendiri, Vera masih menyimpan keinginan untuk melanjutkan kuliah yang terputus atau mendapatkan sertifikasi agar afdal sebagai konseptor dan edukator.
Dulu selepas lulus SMA, ia sempat berkuliah satu semester pada jurusan manajemen perkantoran. Akan tetapi, harus terhenti karena orangtuanya mengalami kendala finansial.
Setelah menikah, ia kembali berkuliah pada jurusan teknik lingkungan. Namun, kampus mensyaratkan kelas luring sehingga dirinya keteteran membagi waktu antara bank sampah dan perkuliahan. ”Saya masih pengin kuliah supaya wawasan makin luas, tetapi pakai beasiswa supaya nggak merepotkan keluarga,” katanya.
Vera tersenyum ketika ditanya apakah kegiatannya selama sepuluh tahun ini sudah berdampak. Satu yang pasti, ia ingin konsisten mengembangkan Bank Sampah Gunung Emas agar bermanfaat bagi lingkungan.
Vera Nofita
Lahir: Jakarta, 21 November 1975
Pendidikan terakhir: SMA
Prestasi:
- Kalpataru kategori perintis lingkungan tingkat Provinsi DKI Jakarta tahun 2017
- Bank Sampah Gunung Emas sebagai satu dari sepuluh bank sampah kinerja terbaik oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023.
- Bank Sampah Gunung Emas sebagai satu dari sepuluh bank sampah binaan baru terbaik nasional dalam Program Clean n Gold Movement PT Pegadaian (Persero) tahun 2023.