Shindy yang Memilih Bertani
Ketika banyak anak muda menjauhi pertanian, Shindy justru meninggalkan pekerjaan sebagai guru untuk menjadi petani.
Maria Mone Soge (31) yang biasa dipanggil Shindy seperti menentang arus. Ketika banyak anak muda menjauhi dunia pertanian, perempuan dari Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, ini justru meninggalkan pekerjaan sebagai guru yang telah dijalaninya selama sembilan tahun demi menjadi petani.
Menjadi guru merupakan cita-cita orangtuanya. Shindy kerap mendapatkan juara umum saat masih di sekolah menengah atas (SMA). Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Flores, Ende.
Begitu tamat kuliah pada 2014, anak bungsu dari lima bersaudara ini menjadi guru bantu di sekolah menengah pertama di Kimang Buleng, Kota Maumere. Setahun kemudian, dia menjadi guru matematika di SMA PGRI Gelekat Lewoboru, Hokengjaya.
”Menjadi guru adalah harapan orangtua dan itu sudah saya penuhi,” katanya. Shindy mengaku sebenarnya juga suka mengajar. Namun, panggilan hidup sebagai petani ternyata menguat seiring waktu.
Di sela-sela aktivitas sebagai guru, Shindy kerap ikut gemohing, gotong royong dalam kegiatan menanam dan panen. ”Sejak kecil saya sudah dekat dengan dunia pertanian karena orangtua juga petani,” ujarnya.
Shindy semakin tertarik dengan dunia pertanian setelah mengikuti pelatihan untuk petani muda yang diselenggarakan Yayasan Ayu Tani pada 2018. Semangatnya bertani membuatnya terpilih menjadi salah satu local champion atau penggerak petani lokal dari Koalisi Pangan Baik di wilayah Flores Timur pada 2021.
Koalisi ini diinisiasi oleh sejumlah lembaga di daerah dan juga nasional, seperti Yayasan Yaspensel, Keanekaragaman Hayati (Kehati), dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Shindy terhubung dengan para penggerak petani lokal dari berbagai daerah di Indonesia. Dia juga kerap diundang untuk belajar di komunitas lain.
”Saya belajar tentang pentingnya pangan lokal, gizi, budidaya berkelanjutan, perubahan iklim, hingga bagaimana menjadi wirausaha hijau,” tuturnya.
Semakin saya belajar, semakin saya prihatin dengan kondisi petani. Sudah miskin, banyak anak-anaknya mengalami masalah kesehatan dan gizi. Padahal, petani adalah penghasil pangan.
Shindy berupaya menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan untuk menyelesaikan persoalan di lingkungan sekitar. ”Semakin saya belajar, semakin saya prihatin dengan kondisi petani. Sudah miskin, banyak anak-anaknya mengalami masalah kesehatan dan gizi. Padahal, petani adalah penghasil pangan,” ujarnya.
Menurut Shindy, petani padi tergantung pada pupuk, pestisida, dan benih. Sementara itu, anak-anak petani banyak yang mengonsumsi pangan-pangan instan dan tidak sehat, padahal banyak sayuran dan pangan lokal. ”Mereka tidak pernah diajari tentang pentingnya makan-makanan sehat. Akhirnya, banyak kasus gizi buruk dan stunting di kampung,” tuturnya.
Baca juga: Petani Muda Kian Beringsut
Upaya mengatasi gizi buruk dan stunting sebenarnya telah dilakukan di kampungnya. Akan tetapi, menurut Shindy, yang juga aktif di posyandu, hal itu cenderung menyebabkan ketergantungan sehingga kurang berkelanjutan. Upaya mengatasi masalah gizi anak di kampung umumnya dengan pemberian atau bantuan makanan tambahan.
”Menu dan anggaran makanan ini ditentukan dari atas, misalnya harus pakai ayam beku dan tahu, yang itu harus dibeli dari luar. Menu untuk sayur juga ditentukan, seperti wortel yang tidak ada ditanam di sini. Kenapa tidak pakai ayam kampung, ikan segar, atau sayur kelor?” paparnya.
Kemandirian petani
Menurut Shindy, warga desa seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pangan anak-anak secara mandiri jika mau memanfaatkan lahan yang ada dengan pangan lokal. ”Mengatasi gizi buruk seharusnya tidak perlu menunggu bantuan. Di kampung ini banyak lahan dan sumber pangan lokal yang sehat,” katanya.
Untuk mendorong perubahan di kampung, Shindy berupaya memberi contoh. Dia menanam sayur-mayur di pekarangan rumah. ”Saya tanam berbagai sayur menggunakan polybag, pot bambu, dan sak semen bekas. Ternyata hasilnya bagus. Ibu-ibu tetangga saya minta ambil sayur gratis,” ujarnya.
Shindy kemudian menawarkan bibit sayur agar mereka bisa tanam dan panen sendiri. ”Mereka mulai ambil bibit dan tanam sayuran di pekarangan masing-masing,” ucapnya.
Tak hanya di rumah, di sekolah dia juga dikenal selalu mengenalkan pangan lokal kepada murid-murinya. Ketika ada muridnya melakukan kesalahan, misalnya datang terlambat, dia memberi tugas mereka untuk menanam sayuran di pekarangan sekolah. Mereka diminta merawat sampai tanaman itu memberi hasil.
Kerja di pertanian sebenarnya menguntungkan, asalkan menjadi petani yang cerdas. Kalau hanya tanam padi di sawah, pasti berat dan sulit untung, apalagi kalau semua input pertaniannya harus beli.
Meski demikian, perubahan itu tidak secepat yang diharapkan. Merasa tak akan bisa sendirian membawa perubahan di kampungnya, akhirnya dia membentuk Komunitas Wetan Hewa Lewo Rotan atau disingkat Wetan HLR. Komunitas itu kini beranggotakan 40 anak muda, mayoritas perempuan. Wetan merupakan nama lokal jewawut (Foxtail millet), tanaman pangan biji-bijian lokal yang kini jarang dibudidayakan dan dikonsumsi
”Dulu, tanaman wetan ini selalu ditanam di pinggir ladang karena merupakan benteng pertahanan untuk melindungi tanaman lain, seperti padi, jagung, kacang-kacangan. Wetan ini juga dipercaya untuk menjadi obat. Kalau ibu habis melahirkan atau orang luka-luka, akan diberi makan wetan,” paparnya.
Bersama anggota komunitasnya dan Ayu Tani, Shindy kemudian mengumpulkan berbagai benih tanaman lokal, termasuk belasan varietas padi lokal. Selain membudidayakan kembali tanaman lokal, mereka juga mulai mengolahnya untuk dijual.
”Kami mulai bikin keripik pisang, kolak, dan jagung titi. Kami jual ke kios-kios di kampung. Kami juga menumbuk dan mengemas wetan sehingga bisa langsung dimasak,” ujarnya.
Menurut Shindy, sejauh ini yang paling laris jewawut dan kacang-kacangan, serta produk olahan kolak atau keripik. Sebagai anak muda, mereka juga menggunakan media sosial untuk ajang promosi. ”Sebelum produksi juga kami informasikan ke masyarakat, kami mau olah apa. Nah, biasanya pada pesan di sana,” katanya.
Fokus bertani
Kegiatan bertani, berwirausaha, dan berorganisasi itu membuat Shindy kerap meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai guru matematika. Apalagi, belakangan dia juga kerap diundang menjadi pembicara untuk berbagi pengalaman ke komunitas lain di luar kota.
”Akhirnya, sejak 16 Februari 2024, saya memutuskan berhenti menjadi guru. Mama juga sudah meninggal, saya mesti urus ladang sendiri,” katanya.
Shindy merasa bersalah jika harus menduakan anak didiknya di sekolah. ”Sebagai guru honor, saya dibiayai peserta didik. Rasanya tidak enak kalau tidak bisa optimal mengajar karena harus banyak pergi. Saya ingin fokus jadi petani dan mandiri dengan wirausaha hijau,” tuturnya.
Sekalipun banyak teman mempertanyakan keputusan itu, Shindy berupaya meyakinkan mereka. Dari segi penghasilan, menurut dia, yang didapatnya dari pertanian dan wirusaha sudah melebihi pendapatannya sebagai guru.
”Sembilan tahun jadi guru honor, saya digaji Rp 1 juta per bulan ditambah honor sebagai wali kelas Rp 50.000 per bulan. Selain itu, ada tunjangan dari pemerintah provinsi Rp 400.000 per bulan. Sekarang, pendapatan per bulan bisa lebih,” ujar Shindy.
Menurut Shindy, kerja di pertanian sebenarnya menguntungkan, asalkan menjadi petani yang cerdas. Kalau hanya tanam padi di sawah, pasti berat dan sulit untung, apalagi kalau semua input pertaniannya harus beli.
Selain menanam padi ladang, Shindy juga mewarisi kebun kakao sekitar 1 hektar dan kelapa 0,5 hektar dari kedua orangtuanya. Dia juga mengoptimalkan ladangnya dengan menanam aneka pangan lokal, seperti kacang-kacangan, pisang, ubi, dan jewawut. ”Jewawut di sini nilai jualnya tinggi, Rp 100.000 per kilogram. Perawatan dan panennya juga bagus, padahal tidak perlu pupuk dan pestisida,” ujarnya.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
Dengan menjadi petani, Shindy juga bisa memenuhi hampir semua kebutuhan pangannya dengan mandiri. ”Semuanya organik, dari hasil tanaman sendiri. Untuk ikan, saya juga sering menyuluh di pantai bersama teman-teman. Dengan jadi petani, saya juga bisa mengatur hidup sendiri. Kapan harus bekerja, kapan harus istirahat. Saya bangga dengan pilihan jadi petani,” katanya.
Apalagi, Shindy juga masih bisa menyalurkan minatnya untuk mengajar. Dia membuka perpustakaan di rumahnya yang sekaligus menjadi ruang belajar anak-anak. ”Biasanya, saat sore saya memberikan pelajaran tambahan secara gratis kepada anak-anak, terutama pelajaran matematika,” ucapnya.
Maria Mone Soge atau Shindy
Lahir: Hewa, 8 Oktober 1989
Pendidikan: Universitas Flores (2010-2014)
Pekerjaan: Petani muda
Riwayat kerja: Guru SMAN 1 Wulanggitang (2015-Februari 2024)