Kitaro, Si Jago Tua yang Bersahaja
Sewaktu Kitaro menggelar lokakarya, seorang ibu meminta advis sang begawan untuk anaknya yang mengidap spektrum autisme.
Komposer, pengaransemen, dan produser global berdarah Jepang, Kitaro, tak hanya dikenal sebagai maestro, tetapi juga tutur katanya yang halus. Seniman gaek yang masyhur itu masih lincah pula hilir mudik di pentas untuk memainkan aneka instrumen.
Kitaro tak henti menggeliat. Di Marina Bay Sands, Singapura, misalnya, ia menggelar tur pada 25-26 Juni 2024. Masih termasuk rangkaian The Best of Kitaro World Tour, ia melanjutkan konsernya di Kaohsiung Music Center, Taiwan, dua hari kemudian.
Kitaro pun telah meluncurkan albumnya, Zen–Live In Katsuyama yang terdiri atas dua cakram kompak, Jumat (23/8/2024). Pertunjukan tersebut direkam di kuil Daishizan Seidai-ji, Fukui, Jepang, November 2023. Secara total, ia telah mencetak hingga 24 album.
Setelah meramaikan Arena of Stars, Resorts World Genting, Malaysia, pada 23 Juni 2024, Kitaro yang telah berusia 71 tahun masih unjuk kebolehan di negeri jiran itu. Ia memeriahkan Rainforest World Music Festival yang didahului workshop atau lokakarya di Kuching, Sarawak, akhir Juni lalu.
Kitaro membuka Rainforest World Music Festival dengan menyampaikan pemaparan yang bertajuk ”Natural Inspiration” sekitar pukul 14.00 sebelum memulai pertunjukannya. Ia berkali-kali menunjukkan kebersahajaannya dengan membungkuk seiring wajah yang agak menunduk.
”Senang bertemu kalian. Aku gembira bisa mengunjungi Sarawak. Malaysia sangat indah. Aku akan mencoba untuk lebih sering datang,” ujarnya. Theatre Stage di Sarawak Cultural Village tersebut sesak dengan penonton yang duduk serta mereka yang rela berdiri.
Wajar mereka begitu antusias lantaran setelah hiatus selama tujuh tahun yang diperparah pandemi, Kitaro kembali memboyong magisnya ke tengah penggemar. ”Musisi-musisi datang ke Rainforest World Music Festival. Aku berharap mereka berbagi energi yang sungguh kuat,” ucapnya.
Baca juga: Ice Tede Dara, Dengarlah Sabu Bercerita…
Spektrum autisme
Keramahan Kitaro juga demikian kentara dengan budi bahasa yang lembut, selain memberikan kesempatan kepada audiens untuk bertanya. Seorang ibu asal Selangor, Malaysia, meminta advis untuk anaknya yang berusia 17 tahun. Meski mengidap spektrum autisme, ia mahir memetik gitar, bahkan sudah membuat album.
”Waktu seusia anakmu, aku malah bermain tenis dan joging. Sekarang pun masih. Kadang, aku belajar meditasi. Tentu, tujuannya bukan untuk menguatkan fisik,” tuturnya. Kitaro mengungkapkan filosofi pemusatan pikiran dan perasaannya untuk mengontrol diri.
”Aku menjadi semacam sentral. Kalau anak muda, tentu memiliki peluang lebih besar dengan masa depan yang sangat terbuka lebar,” katanya. Ia meminta anak itu membuka mata dan mengeksplorasi tak hanya dunia, tetapi juga kelokalan dengan energinya.
Kitaro dengan rendah hati menyatakan pula ketidaksukaannya mengajar karena khawatir dianggap menggurui. Sang begawan lebih suka bermusik bersama. ”Aku gemar berbagi energi. Musik punya manfaat yang baik. Tolong berikan cakram kompakku buat anakmu,” ujarnya disambut tawa audiens.
Kitaro kadang bicara terbata-bata, tetapi ucapan-ucapannya tetap jernih dan dalam. Interaksi selama 20 menit tersebut disusul pergelaran yang bertajuk ”The Best of Kitaro” sekitar pukul 21.45. Di ruang artis, ia melayani penggemarnya yang hendak berfoto bersama dengan hangat.
Sejak pukul 16.30, pemburu hiburan sudah berdatangan meski matahari masih bersinar dengan garang. Penonton yang semula berkerumun di keteduhan sudah menjadi lautan manusia saja dalam dua jam. Pengunjung sampai sulit melangkah di sela membeludaknya massa.
Setelah upacara Miring, Nisa Addina bersama Tribal Tide, The Colour of Sound’s Malaysia, Ensemble Melayu Nusantara, The Borneo Collective, dan kolaborasi Rhythm Rebels dengan Selonding Bali Aga, bintang yang paling ditunggu-tunggu pun tampil.
Khalayak yang sudah tak sabar berseru memanggil Kitaro berkali-kali dan bertepuk tangan. Sorak-sorai pecah ketika drum tradisional Jepang, taiko, mengalun bertalu-talu disusul suling yang begitu syahdu. Nomor pembuka, ”Silk Road”, kemudian bergema.
Layar di samping panggung memampangkan foto deretan unta yang berjalan di gurun, siluet pagoda, dan penari sufi. Ponsel-ponsel yang tak terhitung banyaknya spontan membidik panggung. Kitaro tancap gas dengan hitsnya, ”Oasis”, yang khidmat.
Videotron lalu menayangkan wajah pucat serupa boneka perempuan yang menyeramkan. Penari tradisional Jepang, butoh, turut berjalan pelan menebar nuansa mistis. Lambat laun, sosok dengan aksi teatrikal itu bersimpuh hingga menjelma sebagai fokus panggung melampaui Kitaro.
Baca juga: Resonansi Rasa Pat Boonnitipat
Menambah wawasan
Tembang yang paling dinanti tentunya ”Matsuri”. Sambutan paling riuh selaras dengan televisi besar yang memutar kedahsyatan gerhana matahari. Si jago tua yang menguasai lebih dari 50 alat musik tersebut masih lihai saja menabuh perkusi besar Jepang, o-daiko, dengan presisi luar biasa.
Selain kibor, kadang Kitaro mencabik gitar. Mahakarya Kitaro terpopuler dari album Kojiki itu sungguh sinkron dengan bintang-bintang di langit cerah yang berkelap-kelip. Terlebih, saat ”Reimei” berkumandang, ia menghamparkan kecintaannya kepada astronomi sekaligus menambah wawasan audiens.
Seraya menikmati musik, Kitaro membawa pemujanya untuk menyusuri sejarah, pengetahuan, dan teknik astronomi. Lompatan teknologi, mulai Stonehenge, mitologi Jepang soal asal-usul jagat raya atau Kojiki, peluncuran Sputnik dan Yuri Gagarin, hingga pendaratan di Bulan, bisa disimak berwahanakan video.
Pergelaran tersebut dipungkasi kesempatan yang tergolong langka. Kitaro menyanyikan gubahan John Lennon dan Yoko Ono, ”Imagine”. Koor kontan membahana sebelum ia mengajak rekan-rekannya untuk membungkuk, melambaikan tangan, dan berfoto bersama sekitar pukul 23.30.
Baca juga: Toni Collette: Film, Momen Penemuan Jati Diri
”Aku mendengar banyak suara dan musik. Burung-burung bernyanyi dan angin yang berembus, umpamanya, penting sekali untukku,” ucap Kitaro sebelum menghelat atraksinya. Ia tak mengenyam pendidikan yang formal, tetapi sangat menggandrungi musik.
Lagi-lagi, Kitaro mengekspresikan kerendahhatiannya dengan mengaku masih belajar. Ia juga mengutarakan niatnya untuk kembali ke Rainforest World Music Festival. ”Di Malaysia, aku sering makan nasi lemak,” katanya sambil terkekeh.
Kitaro
Nama asli: Takahashi Masanori
Lahir: Toyohashi, Jepang, 4 Februari 1953
Penghargaan:
- Grammy Awards kategori album New age Terbaik tahun 2001
- Golden Globe untuk lagu pengiring film Heaven & Earth tahun 1994