Ice Tede Dara, Dengarlah Sabu Bercerita…
Ice Tede Dara, petenun asal Sabu Raijua, setia memperkenalkan identitas Sabu lewat kain tenun ikat.
Petenun itu bernama Ice Tede Dara (37) dari Desa Pedarro, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Dengan pewarna alami, ia memintal sejarah, mengikat tradisi, dan menenun pengetahuan untuk anak cucu. Cerita Sabu ada di setiap lembaran kain tenun ikatnya.
Duduk di lantai, Ice menaruh langa tali—alat dari kayu untuk merentangkan benang guna membuat motif—di atas pangkuan. Tangannya meraih sepotong tali rafia biru pendek dan mengikatnya ke sejumput benang yang terentang sampai selesai. Jari lincahnya berpindah dalam sekejap ke bagian lainnya.
”Proses tenun ikat itu panjang. Sekarang ini beta ikat benang untuk buat motif baru,” kata Ice yang tengah menginap di rumah kenalannya di Depok, Jawa Barat, Kamis (18/7/2024).
Ice tak banyak bicara, tetapi matanya berbinar cerah ketika bercerita. Berbaik hati, ia menunjukkan sekilas alat-alat pembuatan tenun ikat yang sudah terbungkus rapi. Sebetulnya Ice baru saja mendarat di Jakarta dari Amerika Serikat semalam sebelumnya.
Selama seminggu lebih ibu empat anak ini berkelana di ”Negara Paman Sam” demi mendemonstrasikan proses pembuatan kain tenun ikat Sabu, termasuk di International Folk Art Market (IFAM), New Mexico. Namun, perjalanan belum usai. Setelah sehari di Depok, Ice akan segera terbang ke Kupang, ibu kota NTT, kemudian naik kapal ke kampung. ”Tenang, beta sih tidak capek,” ujarnya singkat.
Sudah kesekian kali Ice meninggalkan Sabu sejenak untuk memperkenalkan tenun ikat Sabu. Pada 2013, 2015, 2018, dan 2019, ia ikut dalam berbagai pameran wastra di Jakarta. Ia memberi kuliah di acara 5th ASEAN Traditional Textiles Symposium, Thailand, tahun 2015. Pada Maret 2024, Ice pergi ke Tanzania melatih pembuatan tenun ikat.
”Beta bangga bisa memperkenalkan Sabu. Apalagi, dulu orang pikirnya Sabu itu narkoba dan sampai sekarang juga orang masih Google cari letak Sabu di mana,” ujar Ice sambil geleng-geleng kepala. Miris sekali.
Keaktifan Ice mempromosikan Sabu adalah bagian dari kiprahnya sebagai anggota dan sekretaris di Tewuni Rai (Plasenta Bumi). Komunitas yang lahir pada 2006 ini beranggotakan 42 petenun Sabu. Mereka adalah penjaga tradisi dan budaya kain tenun ikat pewarna alami yang melawan terjangan pewarna kimia akibat tuntutan komersial.
Pewarna alami terbuat dari tumbuh-tumbuhan, seperti warna hitam dan biru dari tanaman nila, merah dari akar mengkudu, dan kuning dari kunyit. Semua digarap dengan tangan sampai-sampai ada sisa noda di sela-sela jari Ice. ”Kami sekadar mempertahankan warisan nenek moyang,” katanya.
Tewuni Rai kerap berkolaborasi dengan Meet the Makers Indonesia (MTM)—komunitas artis, seniman, dan desainer di Jakarta—saat beraktivitas di luar Sabu. Kolaborasi dua entitas ini tak lepas dari peran penulis dan antropolog Perancis, Genevieve Duggan, yang pernah riset di Sabu.
Generasi ketiga
Semasa kecil, Ice tinggal bersama bai (kakek) dan nenek dari ibunya, mendiang Dule Tede dan Modjo Huki, di Desa Pedarro. Karena ibu kandungnya merantau ke Kupang, Ice memanggil mereka dengan sebutan Bapa dan Mama.
Kegiatan menenun itu juga jadi pelarian untuk beta karena tidak ada kesibukan lain.
Di Sabu, tugas perempuan adalah menenun. Nenek, ibu, dan tante Ice juga menenun demi keperluan sandang, adat, barter, dan ekonomi. Ice adalah generasi ketiga petenun di keluarganya. Namun, Ice mencari jalannya sendiri untuk belajar saat berusia enam tahun. Soalnya, neneknya yang galak awalnya sempat melarang.
”Nenek takut benang rusak karena benang susah, harus kumpul bertahun-tahun dari pohon kapas. Jadi beta kumpul sisa-sisa benang, buat jadi benang panjang, dan tenun ikat pinggang kecil,” kenang perempuan yang juga disapa Napia ini. Saat nenek keluar mencari sirih pinang, itulah saat tepat bagi Ice untuk berlatih.
Menenun menjadi hobi dan kebiasaan yang bersifat eskapisme bagi Ice. Sehari-hari ia menghabiskan waktu memikul air dari sumur, menggembalakan kerbau, dan bersekolah di SD setempat. Ice enggan bermain dengan anak-anak sekampung. Teman seumuran di rumah hanya sang paman yang terpaut usia 10 tahun. Toh, mereka jarang berinteraksi.
Di rumah pun dulu tiada hiburan berarti. Tak ada namanya televisi, apalagi ponsel pintar. Listrik saja baru masuk desanya dua tahun lalu. ”Kegiatan menenun itu juga jadi pelarian untuk beta karena tidak ada kesibukan lain. Selain menenun, beta tidak tahu apa-apa lagi,” kata Ice yang jago mengikat motif sejak umur 15 tahun.
Pada usia itu pula Ice lanjut menuntut ilmu ke SMP di Desa Tanajawa, lalu SMA di Desa Seba. Selama itu juga dirinya menenun guna mengantongi uang sekolah dan uang saku. Pada 2007, Ice kuliah di Universitas Nusa Cendana, Kupang. Kebetulan antropolog Duggan yang kenal dengan neneknya mencarikan Ice sponsor untuk kuliah.
Baca juga: Indah Arsyad Menoleh ke Laut
Seusai bergelar sarjana dan berkeluarga, sang suami mengajak Ice tinggal di Kupang. Tidak, tolak Ice pasti. ”Sabu panggil beta pulang biar tanahnya kering dan panas. Beta cinta Sabu. Beta juga ingin lihat bai dan nenek,” ucapnya bangga.
Ice sekeluarga pulang kampung. Dia langsung bekerja sebagai guru honor SMP di Kecamatan Hawu Mehara sejak 2012, sedangkan suaminya menjadi bapak rumah tangga. Fase hidup baru tak membuat Ice lupa. Setiap sore, dia rutin menghabiskan sedikitnya satu jam untuk menenun.
Hati Ice juga tergerak untuk memacu tenun Sabu berkembang. Pada 2019, ia bereksperimen dengan benang tencel dari serat kayu yang dipesan dari Surabaya, Jatim. Ice berhasil mewarnai benang lembut ini dengan pewarna alami dari mengkudu dan kunyit.
Rekaman identitas
Kain tenun ikat selalu menjadi bagian dari siklus hidup orang Sabu. Mereka mengenakannya mulai dari saat lahir sampai meninggal. Sejarahnya cukup kompleks sampai ratusan tahun, tetapi diwariskan turun-temurun secara bertutur.
Masyarakat Sabu pada dasarnya punya garis keturunan rangkap. Ice menjelaskan, secara matrilineal, konon mereka terbagi menjadi dua garis keturunan setelah kakak beradik bernama Muji Babo dan Lou Babo bertengkar. Alhasil, ada kelompok Hubi Ae (Bunga Palem Besar) dan Hubi Iki (Bunga Palem Kecil). Setiap hubi kemudian terbagi ke beberapa subkelompok (wini).
Kain tenun tiap-tiap kelompok mempunyai ciri khas dari segi struktur, motif, warna. Setiap kelompok boleh memakai kain tenun dari kelompok lain asalkan desain penanda kelompok asal tidak hilang. Misalnya, ei raja punya garis sambungan merah dan ei ledo punya garis sambungan hitam
”Beta asal dari wini Jewu keturunan Hubi Iki. Bagi orang Sabu, kain tenun itu seperti paspor atau KTP untuk penanda dan pembeda identitas antardua kelompok itu,” kata Ice.
Ice menjelaskan, kain tenun untuk perempuan adalah sarung (ei), sedangkan untuk laki-laki adalah selimut (hiji, higi, atau hi’i). Untuk perempuan, misalnya, sarung dari Hubi Ae disebut ei raja, sementara sarung Hubi Iki disebut ei ledo. Ada pula kain tenun ei worapi yang bersifat netral karena bisa dipakai bebas oleh kedua kelompok.
Setiap motif pada kain tenun ikat bermakna. Sembari menunjukkan gambar koleksi kainnya di Instagram, Ice menjelaskan, motif-motif tersebut terkandung cerita kehidupan, peristiwa bersejarah, filosofi, dan ajaran hidup. Yang perlu diingat, ada motif yang bisa dipakai umum, ada pula motif larangan.
Kain untuk menutup jenazah itu akan menjadi alat identifikasi saat mereka bertemu nenek moyang.
Ice bisa membuat 10 motif, termasuk motif larangan leba, ketu pedi, dan kebeba Raijua. Hatinya kesal kalau melihat orang lain sembarang membuat motif. Motif leba yang mirip dua manusia berdampingan, contohnya, berdasarkan kisah pernikahan turun ranjang yang terjadi di Pulau Raijua.
”Mereka tidak lama meninggal. Makanya, anak mereka buat motif leba ini supaya keturunan selanjutnya tidak ada yang begitu. Kalau ada, pasti meninggal dan itu pernah terjadi,” ujar Ice.
Baca juga: Windy Ariestanty, Ingatan Baik Peneroka Regenerasi Literasi
Sampai akhir hayat orang Sabu, kain tenun akan mengiringi mereka ke perjalanan selanjutnya. Orang Sabu kebanyakan beragama Kristen, tetapi masih percaya pada agama leluhur Jingi Tiu. Kalau keturunan Hubi Ae meninggal, umpamanya, jenazah secara berurutan akan ditutupi ei raja, ei ledo, dan terakhir ei worapi.
”Kain untuk menutup jenazah itu akan menjadi alat identifikasi saat mereka bertemu nenek moyang. Tiga kain itu juga melambangkan bahwa meski ada perbedaan, orang Sabu berasal dari satu mama,” ucap Ice.
Kini, Ice mewariskan pengetahuannya kepada kedua putri kecilnya, para petenun generasi keempat. ”Supaya mereka tidak lupa. Orang Sabu itu banyak bertutur, tetapi kain tenun punya rekaman sejarah, filosofi, dan budaya sehingga identitas Sabu tidak hilang,” tutup Ice.
Ice Sarlince Tede Dara
Lahir: Sabu Raijua, NTT, 6 Mei 1987
Pendidikan terakhir: S-1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana, Kupang (2007-2011)
Pekerjaan: Guru IPS di SMP Negeri 3 Hawu Mehara
Suami: Kevin Ratu Ga
Anak: 4 orang