Sifan Hassan, Imigran yang Mengguncang Lintasan Lari Olimpiade Paris
Ketika banyak orang meragukannya di Olimpiade Paris 2024, Sifan Hassan menjawabnya dengan tiga medali.
Pernah menjadi pencari suaka, Sifan Hassan mengguncang dunia dengan meraih tiga medali nomor lari jarak jauh, termasuk maraton, di Olimpiade Paris. Lomba lari adalah ”jalan” bagi atlet Belanda itu untuk melakukan perlawanan dan melampaui batasan.
Bagi Hassan (31), pelari berkebangsaan Belanda, tidak ada hal yang tak mungkin. Baginya, batas bukan pagar pemisah, melainkan garis finis lainnya untuk dilewati. Batasan baru itu diraihnya saat menyelesaikan tiga nomor lari jarak jauh putri di Paris, yaitu lari 5.000 meter, 10.000 m, dan maraton, hanya dalam waktu 10 hari.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Hebatnya pula, ia selalu meraih medali di ketiga nomor itu. Ia meraih perunggu di lari 5K dan 10K, lalu emas di maraton. Ia menjadi manusia pertama, setelah Emil Zatopek (Ceko) pada 1952, yang meraup treble medali dari nomor-nomor lari jarak jauh itu di Olimpiade. ”Hassan menyelesaikan misi mustahil,” ungkap AFP, kantor berita ternama dunia.
Dengan kaki yang masih lelah, seusai menjalani perlombaan 10K pada dua hari sebelumnya, Hassan sempat tertinggal dari barisan terdepan pada final maraton putri, Minggu (11/8/2024). Namun, pada tahap akhir, ia melakukan sprint yang menjadi keunggulannya. Lawannya yang berada di depan, Tigst Assefa (27), mulai merasa terancam. Pemegang rekor dunia maraton putri asal Etiopia itu mencoba menghalangi dan memojokkan Hassan ke pembatas lintasan.
Bagi saya, adalah hal krusial mengikuti suara hati. Melakukannya lebih penting daripada medali emas. Itu membuat saya tetap termotivasi dan menikmati olahraga (lari) yang indah ini.
Namun, Hassan melawan sekuat tenaga. Saling sikut dengan rivalnya itu pun tidak terhindarkan. Hassan akhirnya finis terdepan dengan waktu 2 jam 22 menit 55 detik yang menjadi rekor baru di Olimpiade. Batasan baru pun kembali dilampauinya. ”Setiap langkah, saya menantang diri sendiri. Saya sungguh bersyukur,” ujarnya seusai lomba itu.
Perlawanan dan kegigihan semacam itu telah mendarah daging di diri Hassan. Ketika orang lain menyerah, ia bangkit untuk menyambut takdirnya. Pada penyisihan 1.500 m Olimpiade Tokyo 2020, misalnya, ia terjatuh. Padahal, tinggal tersisa satu putaran pada lomba itu. Orang biasa akan menyerah. Namun, Hassan bangkit berdiri dan melakukan sprint, melewati satu per satu dari 11 atlet di depannya. Ia pun finis terdepan.
”Bagi saya, adalah hal krusial mengikuti suara hati. Melakukannya lebih penting daripada medali emas. Itu membuat saya tetap termotivasi dan menikmati olahraga (lari) yang indah ini,” tutur Hassan yang meraih medali emas nomor 10K dan 5K serta perunggu 1.500 m di Tokyo 2020.
Maka, ketika banyak orang meragukannya bisa menjalani tiga nomor jarak jauh sekaligus di Paris, Hassan bergeming. Ia sangat menyukai tantangan. ”Saya bukanlah legenda,” ujarnya merendah. ”Saya hanya terkadang gila, orang penuh rasa penasaran yang ingin melakukan segalanya,” kata Hassan dikutip Olympics.com.
Meninggalkan Etiopia
Rasa penasaran dan dorongan suara hati membuat Hassan melakukan keputusan besar saat remaja. Pada usia 15 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya, Oromia di Etiopia. Ia tiba di Belanda sebagai pencari suaka alias pengungsi. Tidak dijelaskan mengapa ia pergi dan memilih Belanda sebagai negara barunya.
Namun, dalam wawancara dengan BBC, Hassan menyebutkan, ia tidak lagi sanggup melihat teman-teman dan kerabatnya hidup menderita, bahkan sekarat, di Etiopia. Tidak sedikit dari kenalannya yang menjadi korban dalam perang bersaudara di sana. ”Saya tak menyesal telah meninggalkan negara itu. Sangat menyakitkan di sana. Memikirkannya kembali (masa-masa di Etiopia) membuat hati saya terluka,” ujar Hassan pada 2021.
Namun, tak mudah bagi remaja seperti dirinya hidup di negeri orang, apalagi tanpa orangtuanya. Di Belanda, ia ditampung di sebuah penampungan imigran remaja di Zuidlaren. Baginya, hidup di sana bak dipenjara. Ia tidak bisa leluasa keluar-masuk, seperti di Etiopia. Ia pun menangis, nyaris setiap hari. ”Saya merasa seperti bunga yang tidak mendapatkan sinar matahari,” ujar Hassan mengenang masa awal hidup barunya di Belanda.
Namun, seperti ajaran agamanya, Hassan meyakini, di balik setiap kesulitan ada kemudahan. Saat mengikuti kursus calon perawat, ia bertemu dengan diaspora Etiopia yang merupakan anggota klub lari. Pertemuan itu mengubah jalan hidupnya, selamanya. Ia lalu bergabung ke klub lari, pindah ke Eindhoven dan mulai menemukan tujuan hidup baru.
Ia sangat menyukai lari. Kakinya bahkan sampai berdarah karena berlatih terlalu keras. Ia kerap mengajak rekan-rekannya berlatih tanding, yaitu mulai dari lari 5K, 10K, hingga half marathon (HM). ”Pokoknya tidak berhenti sampai saya yang menang,” ujar Hassan yang dahulu dikenal sangat pemalu.
Di klub lari Eindhoven Atletiek, bakat alami Hassan diasah dengan teknik-teknik baru dan sains olahraga. Meskipun demikian, ia masih suka melawan arahan pelatihnya. Pada 2011, tiga tahun ia menetap di Belanda, ia nekat mengikuti lomba HM Eindhoven, meskipun minim persiapan.
”Saya memintanya jangan tampil berlebihan karena bisa cedera. Namun, nyatanya, dia juara. Sejak remaja, dia memang selalu ingin memberikan lebih. Namun, saya harus berhati-hati karena dia masih muda,” ujar Ton van Hoesel, pelatih Hassan di Eindhoven, seperti dikutip The National News.
Kemenangan di HM Einhoven itu menjadi awal karier larinya yang cemerlang. Pada Liga Berlian 2013, dia menjadi runner-up lari 1.500 m. Lalu, pada 2015, tak lama seusai mendapat kewarganegaraan Belanda, dia mendapatkan medali perunggu 1.500 m pada Kejuaraan Dunia Atletik. Dia menjadi pelari putri kedua sepanjang sejarah Belanda, setelah Dafne Schippers, yang meraih medali di ajang kelas dunia itu.
Hassan tak takut dengan apa pun, kecuali Tuhan dan ajaran agamanya. Jos Hermens, manajer Hassan, bercerita, kliennya itu kerap lupa waktu ketika berlatih. Namun, ia tidak pernah lupa menjalankan shalat lima waktu. Poster Kabah bahkan terpampang di kamar mesnya di Eindhoven, alih-alih para pelari legendaris yang menjadi idola.
Tindakannya (Hassan) memberikan contoh kita bisa memadukan keyakinan agama dengan latihan keras, performa tinggi, dan kedisiplinan. Dia Muslim yang taat.
”Tindakannya (Hassan) memberikan contoh kita bisa memadukan keyakinan agama dengan latihan keras, performa tinggi, dan kedisiplinan. Dia Muslim yang taat,” ujar Hermens yang juga merupakan mantan pelari.
Ketaatannya pada agamanya membuat Hassan memberanikan diri mengenakan hijab dalam penyerahan medali emas maraton putri di Stadion Stade de France, Perancis. Penampilannya di depan hampir 70.000 penonton itu bak tamparan bagi tuan rumah Perancis, negara sekuler yang melarang atlet-atletnya mengenakan simbol keagamaan, termasuk hijab, di Olimpiade.
Sejumlah media Arab pun menyebut momen penampilan Hassan di podium sebagai tindakan heroik. Berkat tekad, keberanian, dan keyakinannya, Hassan akhirnya menemukan kemudahan, bahkan dianggap pahlawan, seusai melewati rangkaian kesulitan.Sifan HassanLahir: Oromia, Etiopia, 1 Januari 1993 Prestasi, antara lain:
- Olimpiade Tokyo 2020. Emas 10.000 meter putri, emas 5.000 m, dan perunggu 1.500 m
- Olimpiade Paris 2024. Emas maraton putri, perunggu 10.000 m, dan perunggu 5.000 m
- Kejuaraan Dunia Atletik 2019. Emas 10.000 m putri dan 1.500 m.