Britania Sari, Tertampar Lalu Peduli kepada Tetangga
Britania Sari tertampar melihat keluarga prasejahtera yang sulit memenuhi kebutuhan harian dan masalah pendidikan anak.
Tak perlu jauh melihat, lihatlah dulu di sekitar. Wujudkan saja dulu mimpi kecil, tetapi langsung dirasakan oleh sekitar.
Seperti tersadar dan merasa tertampar saat Britania Sari (40) melihat langsung seorang anak berusia tujuh tahun dalam kondisi gizi buruk. Di usia itu seharusnya seorang anak bisa bermain dengan teman-temannya, belajar, dan melakukan banyak hal lainnya. Ternyata, untuk berbicara saja dia susah.
Sari juga melihat sejumlah tetangganya hidup dalam kesusahan dan kekurangan secara ekonomi sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan harian, mulai dari makan hingga masalah pendidikan anak-anak.
Saya mau lihat yang dekat dulu. Masih banyak yang belum beruntung.
”Ke mana saja kamu Sari? Realita yang menampar wajah sendiri,” kata Sari saat ditemui di rumahnya di Perumnas 2, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Sabtu (10/8/2024).
”Saya mau lihat yang dekat dulu. Masih banyak yang belum beruntung,” ucapnya.
Baca juga: Misna Setia ”Memangku” Gambang
Rasa sakit, sedih, kasihan bercampur menjadi satu. Itu yang kemudian mendorong Sari untuk berbuat sesuatu dengan membantu orang-orang sekitarnya. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu titik balik Sari melakukan gerakan sosial dengan membagikan sayur atau pangan sehat mentah.
Tujuan membagikan sayur itu agar warga bisa mengaktivasi dapurnya. Bahwa makan enak dan bergizi berawal dari dapur sendiri. Selain itu, dengan mengonsumsi sayur, mereka bisa meningkatkan imunitas.
Bukan tanpa alasan Sari membuat program aktivasi dapur itu. Ia melihat masih banyak keluarga prasejahtera di sekelilingnya lebih memilih membeli makanan jadi, bahkan mengonsumi banyak makanan olahan. Kebiasaan itu dia nilai memperburuk kondisi kesehatan, terlebih pada masa pandemi. Kondisi itu pula yang menyebabkan ada seorang anak mengalami gizi buruk.
Baca juga: Fitriyani, Bertumbuh dari Memanjat Tebing
Program aktivasi dapur ini lalu berkembang menjadi program kebun warga. Dari sebelumnya membagikan sayur-sayur bergeser memproduksi sayur di halaman sendiri. Dibantu suaminya, Stephanus Iqbal (41), halaman rumah warga mereka sulap menjadi kebun produktif dengan aneka tanamanan, misalnya cabai, sawi, dan beragam sayuran lain.
Iqbal dan Sari bermimpi, dari hasil kebun itu, warga bisa mandiri secara pangan. Tak hanya itu, sejumlah halaman warga juga disulap menjadi kandang ayam. Untuk pakan ayam, mereka membeli murah sayur dan buah yang tidak laku terjual dari pedagang sayur langganan mereka.
”Ayamnya juga makan sehat,” kata Sari tertawa.
Hasil ternak dan telur itu bisa menambah variasi makanan warga. Tak sekadar dibuatkan kebun, warga juga diajarkan untuk menanam dan merawat tanaman.
”Selain mandiri dan meningkatkan ketahanan pangan warga, juga meningkatkan interaksi. Kami ingin nularin’rumput tetangga lebih hijau’ agar warga lainnya juga mau berkebun. Semakin banyak kebun lebih bagus karena warga akan saling berbagi. Kalau setiap kebun tanamannya variatif, warga juga bisa menikmatinya saling bertukar. Terus, kalau ada telur, lebih bisa ditukar dengan sayur. Artinya, masing-masing tetangga tahu kondisi tetangga lainnya,” tutur Iqbal dan Sari saling mengisi.
Ada pula kebun posyandu. Hasil dari kebun posyandu itu akan diberikan kepada ibu hamil dan ibu menyusui. Dalam kebun posyandu itu diselipkan juga edukasi terkait pangan sehat dan cara mengelola berbagai macam pangan itu. Terdengar sepele, tetapi Sari melihat masih banyak ibu-ibu yang bingung untuk mengelola pangan tersebut.
Kami juga ada rekanan dokter untuk membantu ibu-ibu hamil. Program ini agar posyandu menjadi garda terdepan untuk kesehatan para ibu dan anak. Jangan sampai ada yang stunting.
”Ada berbagai olahan pangan yang bisa dinikmati, tidak harus selalu digoreng. Pangan sehat posyandu ini intervensi kepada ibu-ibu hamil. Kami juga ada rekanan dokter untuk membantu ibu-ibu hamil. Program ini agar posyandu menjadi garda terdepan untuk kesehatan para ibu dan anak. Jangan sampai ada yang stunting,” kata Sari.
Sari sadar dari hasil kebun posyandu saja tentu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada ibu-ibu yang datang ke posyandu. Di awal, posyandu yang jaraknya hanya sejengkal dari rumah mereka itu selalu sepi. Namun, sejak ada program pangan sehat posyandu, warga, terutama ibu-ibu, terus berdatangan dari 40 orang, meningkat 50, hingga 100 orang.
Oleh karena itu, pasangan suami-istri itu memanfaatkan lahan di belakang rumahnya untuk ditanam berbagai macam sayur yang bisa dipanen secara cepat secara berkala. Di lahan belakang rumah mereka juga ada tiga kandang ayam.
Seperti pada Sabtu (10/8/2024) pagi, Iqbal dan Sari sibuk menyiram dan merawat kebun seluas sekitar 200 meter persegi yang ditanami bayam, kangkung, cabai, terung, kenikir, pokcoy, kunyit, jahe, dan aneka tumbuhan lainnya. Beberapa tanaman itu baru saja bertunas.
Belum lama, mereka baru saja memanen hasil kebun mereka dan langsung ditanam kembali. Selain disiapkan untuk dibagikan, Sari juga mengajak ibu-ibu sekitar untuk memanen, masak, dan makan bersama hasil kebun itu.
Pengalaman berbagi kepada keluarga prasejahtera itu kerap Sari unggah di akun media sosial. Ternyata kegiatan yang Sari lakukan mendapatkan respons positif dari warganet. Beberapa dari mereka memberikan dukungan moril hingga materil berupa donasi untuk membiayai berbagai programnya.
Baca juga: Frans Witjaksono, Ikhtiar Angkat Kopi Pagaralam
”Hasil panen bayam dan kangkung ini untuk dibagikan ke ibu-ibu (posyandu). Dibagikan pula kepada keluarga prasejahtera. Kami membagikan paket pangan dengan anggaran Rp 10.000 per paket untuk 120 anak balita (ibu yang mempunyai anak balita). Ada sayur, telur, tahu/tempe, dan buah. Bahan-bahan itu saya beli dari tukang sayur langganan dan hasil kebun,” ujar ibu satu anak itu.
Semua dibagikan gratis. Makan sehat bergizi dan murah. Makan tidak asal kenyang, tetapi bisa kok makan kenyang dan bergizi.
Selain itu, ada paket pangan sehat untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan kelompok lansia senilai Rp 15.000 per paket. Terbaru, kata sari, mereka membagikan paket pangan sehat keluarga prasejahtera setiap Senin dan Kamis dengan anggaran total sebesar Rp 25.000 per paket. Paket itu berisi aneka sayur, seperti wortel, kangkung, oyong, dan jagung. Lalu ada buah, telur, hati ampela, dan ikan.
”Semua dibagikan gratis. Makan sehat bergizi dan murah. Makan tidak asal kenyang, tetapi bisa kok makan kenyang dan bergizi,” katanya.
Baca juga: Diana Da Costa Calistung Bersama Anak Papua Selatan
Anak asuh
Kegelisahaan Sari tidak hanya kepada kesehatan sehingga membuatnya bergerak untuk memberikan pangan sehat dan membuat kebun serta kandang ayam.
Lulusan pendidikan Bahasa Perancis Universitas Negeri Jakarta itu gelisah dengan masalah pendidikan anak-anak. Kondisi keluarga prasejahtera nyatanya telah berdampak luas juga kepada akses dan tingkat pendidikan anak-anak di sana.
Keterbatasan ekonomi membuat para orangtua tidak bisa menyekolahkan anaknya. Jika pun mampu, mereka dimasukan ke sekolah yang gurunya saja jarang masuk.
”Yang penting anak sekolah. Ternyata ada sekolah yang enggak ada gurunya, tidak ada proses belajar. Di sekolah, SPP satu bulan Rp 10.000, tetapi guru hanya masuk pagi menjelang siang. Anak-anak bebas mau ngapain. Masih banyak anak-anak yang belum bisa baca. Kami ada anak asuh 120 orang (SD-SMA),” kata Sari.
Sekali lagi, hati Sari terusik dan tak mau hanya sekadar menjadi penonton saja. Sari ingin berbagi pengalaman dan ilmu. Rumahnya seolah menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Mereka bebas membaca ratusan buku yang berderet di dinding. Mereka juga bisa menonton ataupun berkebun bersama-sama.
Di rumahnya, setidaknya seminggu sekali Sari sering mengajak teman-temannya untuk mengisi kelas dan berbagi pengalaman, seperti kelas bahasa dan kelas pengeditan. Di luar kelas itu, anak-anak mendapatkan pembelajaran untuk menambah keterampilan, seperti membuat kompos, bakso, siomai, telur asin, dan belajar berorganisasi.
Dalam program orangtua asuh, khususnya pada tahun ajaran 2023/2024, ada 50 anak dari keluarga prasejahtera mendapatkan bantuan biaya sekolah. Setiap pekannya mereka mengikuti kelas pendampingan, seperti membaca dan menghitung. Mereka juga mendapatkan satu buku bacaan setiap pekan.
Baca juga: Dinawati dan Ikhtiar Mengumpulkan Khazanah Kuliner Riau
Sari khawatir dan tidak ingin ada cerita anak-anak tiba-tiba putus sekolah dan kehilangan hak dasar pendidikan. Atau cerita anak-anak yang telah lulus tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga ijazah ditahan karena anak-anak itu masih belum melunasi tunggakan SPP, biaya study tour, atau acara kelulusan.
Kekhawatiran itu pernah terjadi kepada delapan anak asuh SMA yang di akhir kelulusannya masih menanggung utang ratusan hingga jutaan rupiah.
”Anak-anak kita telah menjadi korban. Pendidikan hanya untuk orang berduit? Jika pendidikan penting untuk anak-anak, mestinya pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak semua anak,” ujar Sari.
Sari tak pernah berhenti untuk bermimpi dan mewujudkannya dalam realitas kecil di lingkungannya. Mimpi yang mengantarkannya untuk bermanfaat bagi lingkungan. Mimpi untuk melihat ibu-ibu dan anak sehat dan mimpi semua anak mendapatkan hak dasar pendidikan yang layak.
Britania Sari
Jakarta, 28 November 1983
Pendidikan Strata Satu Pendidikan Bahasa Perancis Universitas Negeri Jakarta