Sumaindra Jarwadi, Bergelut di Jalan Pengabdian untuk Kaum Marginal
Delapan tahun mengabdi tanpa imbalan Sumaindra Jarwadi menegaskan pentingnya kesadaran dan hati nurani dalam profesi.
Sudah hampir delapan tahun, Sumaindra Jarwadi (31) bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung sebagai salah satu pengacara yang mendampingi kelompok masyarakat rentan yang sedang berhadapan tanpa bantuan hukum. Dalam kurun waktu tersebut, pikiran, tenaga, dan waktunya tercurah tanpa mendapat imbalan jasa.
Sumaindra memang tak sendiri. Setidaknya ada lima pengacara lain dan empat staf LBH Bandar Lampung yang berada di bawah koordinasinya juga melakukan pengabdian saat ini. Merekalah yang menghidupkan denyut organisasi yang didirikan sejak 28 tahun lalu. Dalam perjalanannya, LBH Bandar Lampung memang mengabdikan diri untuk memberikan bantuan hukum struktural. Penanganan kasus tak hanya dilihat dari sisi hukumnya semata, tetapi juga pada situasi ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Maka tak heran, organisasi ini menyasar kelompok masyarakat miskin, marginal, dan berhadapan dengan kekuasaan baik pemerintahan maupun modal.
Menarik untuk melihat bagaimana Direktur LBH Bandar Lampung itu kemudian tercebur ke dalam dunia “pergerakan” membantu kaum miskin dan terpinggirkan. Sumaindra bukan dari keluarga berada. Ayahnya adalah seorang petani, sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh cuci untuk membantu ekonomi keluarga. Pada suatu kali, ibunya dituduh mencuri. Saat itu, ia masih duduk di bangku kelas tiga atau empat sekolah dasar. Meskipun kasus tersebut tak sampai ke proses hukum, tuduhan yang dialamatkan kepada ibu kandungnya tersebut membuat Sumaindra yang masih bocah memendam trauma.
Baca juga : Sifan Hassan, Imigran yang Mengguncang Lintasan Lari Olimpiade Paris
Disadari ataupun tidak, hal tersebut membantunya menemukan jalan yang kini dilalui selama delapan tahun terakhir, yaitu memilih jurusan hukum saat kuliah kemudian menjadi pengacara. Lebih spesifik lagi, pengacara bagi warga miskin dan terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah ataupun pemilik modal.
Berkaca dari pengalaman masa kecil dan suka-duka mendampingi warga, ia sampai pada kesimpulan bahwa kemiskinan membuat orang-orang tersebut kadang menjadi tertuduh, menyandang label negatif bahkan tanpa berbuat apapun. “Begitulah polanya. Orang miskin akan mudah untuk dibegitukan (dituduh melakukan kejahatan-red),” ungkap Sumaindra.
Orang miskin juga lebih rentan terhadap perlakuan tidak adil. Tidak hanya dari lingkungan sosial, perlakuan diskriminatif tersebut juga diterima mereka dari oknum aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi agen terpenuhinya hak-hak warga yang dijamin konstitusi.
Dalam beberapa kasus yang didampingi oleh LBH Bandar Lampung, Sumaindra menemukan ada perlakuan tidak adil terhadap kelompok masyarakat rentan tersebut ketika berhadapan dengan hukum. “Kita lihat kasus pencurian, kenapa sih dia sampai menjadi korban extrajudicial killing oleh oknum penegak hukum. Kalau lebih jauh lagi (dipikirkan), itu karena kemiskinan dia, bukan karena penjahat. Sekarang pertanyaannya, ada nggak kasus korupsi yang ditangkap sampai misalnya ditembak? Nggak ada. Di satu sisi, orang itu bisa dipukulin massa orang sekampung, itu karena dia miskin. Coba tanya orang kampung, kalau ada korupsi di desa, berani nggak mukulin kepala desa. Nggak berani,” kata Sumaindra yang oleh kawan-kawan dan masyarakat sering dipanggil Indra.
Bahkan, setelah menjadi korban kekerasan oleh aparat ataupun menjadi korban main hakim sendiri oleh warga sekampung, orang miskin tersebut belum tentu berani untuk menggugat balik para pelaku. Hal tersebut lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketiadaan akses terhadap upaya mencari keadilan melalui jalur hukum. LBH, menurutnya, bekerja pada wilayah-wilayah tersebut.
Indra mengenal LBH Bandar Lampung sejak tahun 2013, saat masih menjadi mahasiswa semester 3 Fakultas Hukum Universitas Lampung. Ia sering mengikuti diskusi dan beragam aksi yang dilakukan LBH Bandar Lampung. Setelah itu, ia mengikuti program Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), sebuah forum Pendidikan hukum dan hak asasi manusia yang diselenggarakan LBH dengan tujuan mencari kader-kader pengabdi bantuan hukum.
Saat itulah, ia mulai aktif terjun ke masyarakat-masyarakat yang didampingi LBH Bandar Lampung. Menurut Indra, mayoritas kasus yang ada di Lampung dan mendapat bantuan advokasi dari LBH selama bertahun-tahun adalah konflik agrarian. Ada sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan korporasi, ataupun antara masyarakat dengan kelompok kepentingan lain.
Pada saat mulai aktif itulah, ia pun sudah mulai menjadikan LBH Bandar Lampung “tempat tinggal”-nya. Selain karena memang aktif di berbagai kegiatan LBH, Sumaindra juga merantau ke Bandar Lampung berbekal doa dari orang tuanya. Ia kuliah di Fakultas Hukum Unila dengan biaya penuh dari kampus, sementara biaya hidup dan tempat tinggal lebih mengandalkan kemampuan sendiri meskipun orang tuanya tetap membantu. Sebelum akhirnya tinggal di kantor LBH, Sumaindra yang aktif mengikuti berbagai unit kegiatan mahasiswa sering kali tinggal di base camp organisasi.
Begitulah polanya. Orang miskin akan mudah untuk dibegitukan (dituduh melakukan kejahatan-red).
Pada 2017, ia full bekerja di LBH setelah menyelesaikan studinya hingga pada akhirnya dia diberi tanggung jawab untuk menjadi direktu LBH Bandar Lampung pada tahun 2021. Sebagai direktur, Sumaindra bertanggung jawab mengatur seluruh manajemen kantor baik manajemen pemberian layanan bantuan hukum, pendampingan termasuk hingga ke basis-basis masyarakat yang didampingi.
Tak hanya itu, ia juga memikirkan bagaimana memanagemen pendanaan kantor. Seperti diketahui, pengacara dan staf LBH Bandar Lampung tidak menerima gaji. Hanya ada sesekali uang transportasi, itu pun tak rutin seperti layaknya kantor atau perusahaan lain.
Bekerja sebagai pemberi bantuan hukum sekaligus pendamping bagi kelompok rentan, utamanya kelompok-kelompok yang tengah berhadap-hadapan dengan pemodal dan penguasa, bukan tanpa risiko. Meskipun ancaman secara langsung baik yang disampaikan tatap muka atau pesan gawai belum pernah dihadapi, Sumaindra pernah dilaporkan ke polisi saat mendampingi warga Malang Sari, Lampung.
Baca juga : Iwan Kustiawan, Karya Mini Bermakna Besar
“Soal risiko, sebetulnya saya berbicara beberapa kali dengan orang-orang dan menjelaskan bahwa ini bagian dari segalanya. Ada satu momen sih, yang kemudian saya dilaporkan ke polisi. Ya saya harus bercerita dengan istri ya. Di momen tertentu ya istri sempat shock, tapi di LBH itu saya sampaikan bahwa itu adalah risiko membela kelompok masyarakat yang nggak mampu. Jadi di awal drop, tapi kemudian di ujung justru men-support apa yang saya lakukan,” kata dia.
Berkaitan dengan risiko-risiko yang harus dihadapi, Sumaindra mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya bukannya tidak memiliki rasa takut. Terutama apabila ada ancaman. Namun, ia kemudian mengingatkan kembali bahwa posisinya adalah sebagai pendamping masyarakat yang tingkat intimidasi atau bahkan kriminalisasi-nya lebih intens dibanding dirinya.
“Kalau hari ini saya takut, apalagi masyarakat. Kalau saya menunjukkan ketakutan itu, masyarakat makin lebih takut. Ya udah, apa yang kemudian bisa dikerjakan bersama, berjuang bareng dengan mereka, dan seterusnya. Itu sih menurut saya menjadi gambaran yang paling penting. Bagaimana bisa menguraikan persoalan dan seterusnya,” ungkap Sumaindra.
Masa-masa terpuruk
Ada kalanya ada rasa jenuh melanda. Namun, di kala rasa tersebut datang, Indra pun selalu mengembalikan pada pertanyaan reflektif seperti tujuan awal bekerja di LBH. Begitu pula apabila ada staf LBH Bandar Lampung yang merasa sedang kehilangan semangat atau sedang down. Bila situasi semacam itu muncul, momentum rapat evaluasi baik rutin atau insidentil digelar untuk membahas berbagai tantangan yang ada di lapangan.
Namun, apabila perasaan down itu lebih karena pertanyaan apa yang didapat selama mengabdi di LBH, ia kemudian menggali kembali “kesadaran” bahwa LBH bukanlah untuk tempat mencari uang ataupun kekayaan. Nilai-nilai yang ditanamkan sejak awal bagi kader-kader muda calon pengacara dan staf LBH itulah yang perlu direfleksikan ulang.
Nilai-nilai tersebut ditransfer, selain melalui kegiatan resmi seperti pendidikan dan pelatihan “Kalabahu”, juga melalui obrolan-obrolan santai di kantor LBH antara yang sudah senior dengan yunior. Pada saat salah satu staf sedang down dan mengalami “krisis”, maka penting untuk kemudian melihat kembali situasi yang dihadapi oleh para pengabdi bantuan hukum dan masyarakat miskin yang tengah berhadapan dengan hukum.
Baca juga : Temu Misti, Melintas Zaman dan Tetap Digandrungi
“Di level ini, kita sentuh nuraninya. Kalau tidak ada LBH atau kawan-kawan yang bekerja di sini, terus siapa yang akan membela mereka,” ujarnya saat ditanya bagaimana mengatasi staf atau relawan yang sedang down saat menghadapi beratnya persoalan sekaligus realitas adanya kebutuhan yang juga harus dicukupi.
Situasi yang bisa dibilang “tidak mapan” tersebut bukan tanpa tantangan. Godaan tentu datang dan pergi. Tak sekali Sumaindra diajak bertemu oleh pihak-pihak yang menjadi lawan pergerakan, baik pemilik modal ataupun penguasa.
Namun, ajakan bertemu tersebut selalu ditolak. Saat ditanya apakah tidak tergoda, ia menjawab, “Pastilah. Itu yang menjadi tantangan terbesar kita. Di tengah kita nggak ada pendanaan di kantor, kemudian orang-orangnya yang nggak mendapatkan gaji, itu jadi tantangan kita. Jadi, kita benar-benar kuatin soal kesadaran teman-teman, membagi tanggung jawab bahwa di sini mereka adalah pengabdian. Bahwa mereka memberikan kerja-kerja kepada kelompok miskin, marginal.”
Pelajaran berharga yang ia peroleh dari LBH hingga beberapa tahun pengabdian yang dilakukan, bagi Sumaindra akan menjadi bekal penting ketika berkiprah di luar. Ia akan mengakhiri pengabdiannya di LBH Bandar Lampung pada tahun depan (2025) mengingat ada batas maksimal seseorang terus berada di organisasi tersebut. Nilai-nilai yang tertanam selama di LBH akan menjadi pegangan ketika memasuki dunia lawyer profesional, jika jalan itu nanti yang akan ditempuh.
“Banyak lawyer yang kemudian dia berpegang pada siapa yang membayar. Dengan situasi yang kayak gitu, saya rasa bangunan di LBH, perjuangan LBH dan perjuangan nilai, itulah yang harus dipegang untuk perjalanan ke depan,” pungkasnya.
Sumaindra Jarwadi
Lahir: Poncowarno, 7 Mei 1993
Pendidikan:
- SDN 02 Poncowarno, Lampung Tengah
- SMPN 01 Kalirejo, Lampung Tengah
- MA Bustanul Ulum Kalirejo, Lampung Tengah
- S-1 Hukum, Universitas Lampung
Organisasi:
- Ketua UMUM UKMF- MAHKAMAH FH UNILA (2014-2015)
- Ketua UMUM HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat Hukum UNILA (2015-2016)
- Direktur LBH Bandar Lampung Periode 2021-2025