Meilati Muriniani pontang-panting tuntaskan ”Pusaka Rasa Nusantara”. Ia sampai pening mengecek kemungkinan salah ketik.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·1 menit baca
Meilati Muriniani tak kuasa menahan tawa saat diterangkan mengenai lempah uroeng tugang di sela kunjungannya ke Bangka. Ia mendapat penjelasan dari warga soal sajian yang terbuat dari ayam hutan itu. Bukan sembarang unggas yang membuat penulis buku tersebut mendapati tantangan.
”Ayamnya harus perawan. Bapak yang cerita, sih, serius. Tapi, aku mikir, cari ayam hutan saja susah. Harus yang perawan lagi,” tuturnya sambil tersenyum. Mei, demikian sapaannya, menalarkan saja ujaran itu dengan asumsi bahwa ayam yang masih muda tentu berdaging lebih empuk.
”Katanya, kalau bukan ayam perawan, terasa beda. Ternyata, maksudnya belum bertelur,” katanya di Jakarta, Rabu (31/7/2024). Ia meyakini moyang warga masyarakat yang meramu resep tersebut menyampaikan kepada anak cucunya tanpa pemaparan detail.
”Bilangnya cuma ayam perawan. Waktu aku ke sana, yang dimasak punai. Harusnya pakai tugang atau ayam hutan,” ujarnya.
Katanya, kalau bukan ayam perawan, terasa beda. Ternyata, maksudnya belum bertelur.
Indonesia sebenarnya menyimpan khazanah kuliner yang begitu istimewa. Sayangnya, catatan mengenai hidangan tradisional tergolong minim karena budaya literasi yang lemah.
Berangkat dari kerisauan itu, Mei menggarap seri Pusaka Rasa Nusantarayang terdiri atas empat buku. Kuliner Nusantara sangat unik lantaran bervariasi. ”Semua dimakan, dari berkaki sampai yang enggak. Laron, larva, cacing, kembang, sampai yang beracun kayak keluak pun diolah,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia tersebut mengaku pontang-panting menuntaskan karyanya. Ia, misalnya, mengecek salah ketik sampai pening. ”Kliyengan. Benar enggak kata-katanya. Tebalnya bikin babak belur,” pungkasnya diikuti gelak.