Temu Misti, Melintas Zaman dan Tetap Digandrungi
Temu (71) menari gandrung selama hampir enam dekade. Sempat tenar sebagai penari populer, kini ia maestro seni tradisi.
Berawal dari ajakan, Temu Misti (71) akhirnya belajar menari gandrung saat usianya 15 tahun. Dalam beberapa tahun saja, ia menjadi mahir, terkenal, dan lantas menjalani hari-hari yang padat dengan pentas ke berbagai tempat. Walau era itu sudah lama berlalu, ia tak bisa dipisahkan dari tari gandrung.
Di panggung tak berundak di ruangan yang gelap dan dingin, Temu seperti dibawa kembali ke masa lampau ketika ia menjadi bintang. Tubuhnya yang dipulas riasan wajah dan kostum merah bak bersinar disorot lampu. Tubuhnya bergerak otomatis saat musik mengalun.
Selendang merah yang tersampir di leher dikibaskan. Pinggul, tangan, jari, dan kakinya bergerak harmonis. Sesekali ratusan penonton yang memadati Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Kamis (13/6/2024) malam bertepuk tangan.
Tepuk tangan itu tak berlangsung lama lantaran penampilan Temu di Panggung Maestro rupanya masih berlanjut. Kini, Temu melantunkan tembang dengan suara melengking. Tak lama kemudian, ia menari ditemani seorang penari lelaki berbaju hitam. Penonton lintas usia di ruangan tersebut bertepuk tangan menyemangati.
Malam itu, Temu adalah salah satu maestro kesenian tradisi Indonesia yang tampil di gelaran Panggung Maestro 2024 edisi kelima. Acara ini digagas oleh Yayasan Bali Purnati dan didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Berdasarkan data Kemendikbudristek, sejak 2007 hingga 2023 ada 118 maestro seni tradisi di Indonesia. Sebagian di antaranya sudah menapaki usia lanjut. Tak bisa dimungkiri, kebugaran tubuh mereka menipis terkikis usia.
Baca juga: M Yakub, Maestro Gambo Autodidak
Para maestro tiba di lokasi berjam-jam sebelum mulai pentas. Proses menunggu itu membuat sebagian orang tampak lelah. Mereka lantas mengisi tenaga dengan tidur dan berkonsultasi ke dokter yang disediakan panitia penyelenggara. Sebagian lainnya menghangatkan diri dengan jaket tebal dan kaus kaki.
Diajarin, ya, sudah. Saya praktik saja dan hapal semua. Memang takdir, ya. Sampai sekarang (masih menari). Alhamdulillah.
Tubuh mereka yang tampak lelah dan renta sempat memunculkan keraguan. Apa mereka kuat tampil di panggung?
Namun, itu terpatahkan sebelum pentas. Entah dapat kekuatan dari mana, para maestro langsung bugar saat sudah mengenakan kostum untuk tampil. Temu Misti pun demikian. Tubuhnya seakan dialiri energi baru yang membuatnya lincah di panggung.
Pulasan gincu dan perona pipi pun membuat wajah Temu seolah bersemi. Sebelum dirias, Temu sempat berpesan sambil tertawa ke penata rias, ”Sing kinclong, yo. Malu aku karena sing lain muda-muda (Yang kinclong, ya. Malu aku karena yang lain muda-muda).”
Primadona
Seperti nama tariannya, Temu adalah salah satu penari yang digandrungi publik di masa lampau. Ia adalah primadona tari gandrung yang populer di tahun 1970-an hingga 1980-an. Saking populernya, hari-harinya padat untuk menyambut undangan orang yang nanggap pertunjukan gandrung. Ia ibarat rock star yang sedang tur.
Pokoknya sampai (sakit) di jalan, sembuh di jalan.
Temu yang tinggal di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, ini bahkan sudah terbiasa tak pulang ke rumah. Waktunya habis untuk pentas semalam suntuk dari pukul 21.00 sampai pukul 04.00. Suatu masa, Temu pernah pentas selama setengah tahun sampai rasanya rindu tidur di rumah sendiri.
”Pokoknya sampai (sakit) di jalan, sembuh di jalan,” katanya. ”Ibu pernah sampai nyari-nyari (saya) tidur di mana. Pokoknya capek, ya, tidur di situ. Namanya orang capek, tidur di mana-mana pules saja,” katanya lagi sambil tertawa.
Popularitas Temu tumbuh dengan proses. Ia pertama kali menari gandrung pada 1968 saat usianya 15 tahun. Keputusan untuk belajar menari pun sebetulnya terjadi tanpa rencana. Kala itu, ia diajak oleh perias gandrung untuk menari di acara yang akan berlangsung lima hari lagi. Temu pun belajar menari dalam lima hari.
”Diajarin, ya, sudah. Saya praktik saja dan hapal semua. Memang takdir, ya. Sampai sekarang (masih menari). Alhamdulillah,” ucap Temu.
Sebetulnya, Temu berkenalan dengan tari gandrung jauh sebelum itu. Temu sempat sakit waktu kecil. Ia menduga ini karena dulu Temu minum air tajin, bukan susu. Ia lantas dibawa ke dukun pijat. Sepulang dari sana, Temu minta makan.
Ibunya pun membawa Temu ke juragan gandrung bernama Mbah Ti’ah untuk meminta makan. Temu ingat kala itu makan sayur semanggi. Mbah Ti’ah lantas berkata ke ibu Temu untuk menjadikan anaknya penari gandrung saat sudah besar. Ibunya menyerahkan keputusan itu ke anaknya.
Temu akhirnya menjadi penari gandrung sungguhan. Kemampuan Temu—yang tak sengaja ditemukan—lantas dipoles dengan niat untuk belajar sungguh-sungguh. Ia tak hanya belajar menari, tetapi juga menembang hingga menjadi penampil ”paket lengkap”. Tak banyak penari yang bisa menyanyi seperti Temu.
”Ya, itu, biar disayangi orang, digandrungi orang, saya harus belajar, belajar, belajar. Kalau anak sekarang, gampang putus asa,” ucap Temu.
Walau digandrungi orang, ada kalanya Temu menerima makian orang lain yang tak suka entah kepada dirinya atau tari gandrung. Maklum, ada stigma negatif yang menempel pada penari gandrung di masa lalu. Saat dimaki, ia mengatakan bahwa ia hanya mencari makan dan membantu orangtua.
Baca juga: Siti Linda Yuliarti Merawat Mpa’a Lenggo hingga Senja
Maestro
Pengabdian panjang Temu pada kesenian ini akhirnya menjadikan Temu sebagai maestro tari gandrung. Mulanya, ia tak paham arti maestro. Setelah dijelaskan bahwa maestro adalah penari gandrung tertua yang sudah melanglang buana, Temu menerima saja gelar ini.
Ia lantas mengajarkan tari gandrung kepada anak-anak sekolah lewat program Belajar Bersama Maestro oleh Kemendikbudristek. Ia pernah mengajar sampai ke Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta. Temu sebetulnya juga masih mengajar. Siapa pun yang mau belajar boleh datang ke rumahnya.
Sayangnya, kemampuan Temu malah dimanfaatkan secara banal. Suara dan foto Temu dijadikan bagian dalam CD ”Songs Before Dawn” yang di Amerika dijual seharga 15-18 dollar AS, sementara di Eropa sekitar 20 euro per keping.
Karena Allah. Saya ditugaskan menghibur orang sedunia.
Pada pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat album itu terjual 284.999 copy dalam 24 jam. Hak cipta album itu dipegang sebuah lembaga pendidikan di AS. Namun, nama Temu tak ada di situ. Memang dulu ada orang asing yang mendatangi Temu untuk merekam suara dan gambarnya, tetapi katanya ini bukan rekaman komersial (Kompas, 26/10/2007).
Kejadian itu menjadi pengingat bahwa tidak semua orang menghargai seni dan kejujuran. Terlepas dari itu, Temu tetap tekun dan setia kepada tari gandrung. Saat ditanya kenapa setia berkesenian, Temu menjawab, ”Karena Allah. Saya ditugaskan menghibur orang sedunia. Teman-teman saya sudah mendahului kita. Alhamdulillah Mak masih sehat.”
Temu Misti
Lahir: 20 April 1953
Pendidikan: Sekolah Rakyat (tidak tamat)
Pencapaian:
- Maestro tari gandrung
- Pendiri Sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro