Indah Menoleh ke Laut
Indah menoleh ke laut, melihat masa depan manusia. Tetapi, ia malah resah.
Empat tahun silam sewaktu pandemi Covid-19 meneror dunia, Indah Arsyad (59) juga terpapar virus mematikan itu. Indah merasakan tubuhnya kekurangan oksigen, tetapi ia berhasil bertahan. Sejak saat itu, muncul pertanyaan di benaknya: bagaimana nasib manusia jika Bumi kita seperti tubuh yang terkena Covid dan kekurangan oksigen?
Setelah sembuh, Indah mencari tahu tentang kondisi oksigen di Bumi. Setahu dia, sejak kecil, oksigen dihasilkan dari fotosintesis tumbuhan di daratan. Akan tetapi, ia mendapatkan data baru yang membuatnya kaget. Oksigen ternyata sebagian besar dihasilkan dari laut. Oksigen di Bumi sekitar 80 persen justru diproduksi fitoplankton.
Kesadaran itu memunculkan pertanyaan baru di benaknya: bagaimana dengan kondisi laut yang kini makin tercemar? Akankah laut akan tetap berkontribusi memberikan 80 persen oksigen?
Seiring makin banyaknya polutan di laut, kemampuan fitoplankton memproduksi oksigen tentu akan turun. Bagaimana kalau ketersediaan oksigen nanti tidak mencukupi kebutuhan manusia? Mungkin saja manusia bakal seperti terinfeksi virus Covid-19. Tubuh-tubuh manusia bakal kekurangan oksigen.
Baca juga: Windy Ariestanty dan Ingatan Baik Peneroka Regenerasi Literasi
Indah mulai menerawang manusia dengan napas-napas terakhir di Bumi. Sebagai seniman, keresahan Indah seperti ini diekspresikan ke dalam pameran tunggal seni rupa kontemporer yang bertajuk ”Ocean’s Whispers” di Galeri Cemara 6, Jakarta, pada 8 hingga 30 April 2023.
Salah satu karya seni instalasinya diberi judul Ultimate Breath atau Napas Terakhir. Pameran itu pun belum menjawab keresahan Indah.
Baru-baru ini, Indah kembali menampilkan karya seni instalasi yang diberi judul ”Bumerang”. Ia menggunakan rangkaian bambu yang tingginya sekitar 6 meter, panjang 7 meter, dan lebar 5 meter. Rangkaian bambu ini hanya potongan dari instalasi ternak kerang hijau milik nelayan di Teluk Jakarta. Masih terlihat bibit-bibit kerang hijau menempel erat di bambu-bambu tersebut.
Indah memindahkannya ke ruang pamer di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta. Ia menamai pamerannya Jakarta Provoke!. Seperti judulnya, pameran yang berlangsung 14 hingga 23 Juni 2024 itu benar-benar memprovokasi pengunjung.
Pada hari-hari pertama pameran sudah tercium aroma amis yang cukup menyengat. Hari-hari berikutnya, kerang serta biota laut lainnya mulai membusuk dan aromanya makin menyengat hidung. Terjadilah polusi udara dengan polutan bibit kerang hijau yang membusuk.
Lewat karya itu, Indah menyuguhkan polutan udara meskipun sesungguhnya ia menyuarakan bahwa pencemaran laut tersebut sangat nyata. Pada akhirnya nanti pencemaran laut bisa berujung fatal seperti pandemi Covid-19. Ia bagai bom waktu yang terus berdetak menghitung mundur.
Jejak seni
Indah Arsyad lahir di Ambon, Maluku, 19 Mei 1965, sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Soemitro, adalah seorang militer asal Blitar, Jawa Timur, yang sempat menjabat sebagai Gubernur Maluku periode 1968-1973. Ibunya berdarah Ambon.
Kedua orangtuanya gemar mengunjungi museum. Indah sering diajak mengunjungi museum-museum di Tanah Air dan beberapa museum di Belanda dan negara lainnya di Eropa.
Ayahnya menyukai wayang. Dari situlah Indah memiliki jejak seni. Di tengah keluarga, Indah menjadi satu-satunya orang yang memilih jalan hidup sebagai seniman.
”Bapak saya dulu pernah bercerita, kalau tidak menjadi seorang militer, mungkin menjadi seorang seniman, menjadi seorang dalang,” ujar Indah, yang di usia sekitar 8 tahun pada 1973 mulai tinggal di Jakarta.
Indah mengenyam pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga lulus kuliah di Jakarta. Setelah lulus SMA pada 1984, ia masuk kuliah di Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta. Ia menuntaskan studinya tersebut pada 1991.
Indah sejak kecil memiliki kegemaran corat-coret. Setelah lulus kuliah, ia menyalurkan hobinya itu. Ia bekerja sebagai desainer lanskap hotel di Jakarta. Pada 1993, ia menikah dan pindah ke Bali. Ia tinggal di kawasan Nusa Dua.
Di ”Tanah Dewata”, Indah mengisi hari-harinya dengan belajar melukis. Ia sering mengikuti pembantunya pulang ke Gianyar dan di sana bertemu dengan banyak seniman.
Tidak berselang lama, sekitar tahun 1995, Indah dan keluarganya kembali ke Jakarta sampai sekarang. Indah terus belajar melukis hingga suatu saat menemukan buku tentang seniman Teguh Ostenrik di sebuah Toko Buku Gramedia di Jakarta.
Pada 2002, ia berusaha menghubungi Teguh Ostenrik yang tinggal di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Sejak itu, Indah belajar seni rupa dari Teguh Ostenrik.
Pada tahap awal, Indah belajar melukis figur manusia. Hingga suatu saat Teguh Ostenrik menyarankan Indah untuk melukis abstrak sebagai ekspresi pembebasan lewat seni.
Pada 2005, Indah mulai berpameran lukisan dan patung bertema Jakarta dan kehidupannya. Ia menggunakan arang atau charcoal untuk lukisan-lukisannya.
Indah belajar dari Teguh Ostenrik hingga 2008. Saat itu, ia mulai giat mengembangkan karya seni instalasi. Pada 2010 sempat memamerkan karya seni instalasi menggunakan media ban-ban mobil yang diberi sayap dengan bulu-bulu angsa.
Ada 26 ban yang saya beri sayap. Ini tentang Jakarta yang macet. Dengan ban bersayap, ingin rasanya terbang untuk menghindari kemacetan di Jakarta.
”Ada 26 ban yang saya beri sayap. Ini tentang Jakarta yang macet. Dengan ban bersayap, ingin rasanya terbang untuk menghindari kemacetan di Jakarta,” kata Indah.
Pameran-pameran bersama mulai sering diikutinya. Pameran yang berkesan lainnya, di antaranya pada 2012, ketika Indah membuat karya seni instalasi dengan menggunakan 1.000 cetakan kondom untuk tema pameran ”Jugun Ianfu”.
”Saya mengambil contoh kondom yang diproduksi Jepang sejak era Perang Dunia I di tahun 1930-an,” kata Indah.
Sebanyak 1.000 cetakan kondom itu untuk membentuk citra bunga seruni dengan 16 kelopak. Citra ini sebagai simbol kekaisaran Jepang.
Pada tahun-tahun berikutnya, Indah makin giat berkarya dan mengikuti berbagai pameran di Tanah Air dan di luar negeri. Pada Oktober 2020, ia mengikuti Biennale London di Inggris. Saat itu, Indah sudah pulih dari paparan virus Covid-19. Indah menampilkan karya grafir simbol-simbol budaya Jawa yang dikaitkan dengan pandemi Covid 19.
Mengunjungi laut
Dalam perbincangan dengan Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (16/7/2024), Indah menceritakan tentang interaksinya bersama para nelayan kerang hijau di Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara. Indah pun menawarkan untuk mengunjungi lokasi ternak kerang hijau di Teluk Jakarta.
Tidak berselang lama, kami tiba di rumah salah satu nelayan, pemilik tiga kapal sewa untuk penyeberangan atau wisata di wilayah Kepulauan Seribu. Rumahnya dekat sekali dengan Dermaga Muara Kamal. Ia sekaligus juga memiliki ternak kerang hijau di laut.
Air laut di dermaga menghitam. Ini menunjukkan pencemaran dan dampak sedimentasi yang cukup tinggi.
Ketika melaju dengan kapal motor dari dermaga melintasi bawah Jembatan Pantai Indah Kapuk 2, di tengah jembatan itulah batas antara wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Banten.
Kebetulan kapal diarahkan terlebih dahulu ke Pulau Kecipir, pulau terdekat, untuk mengantar rombongan anak muda yang ingin berkemah di sana. Di sepanjang hamparan air laut terdapat banyak sekali instalasi ternak kerang hijau.
Di atas permukaannya terlihat begitu beragam materialnya. Ada yang menggunakan bambu, banyak pula yang menggunakan tabung galon kemasan air mineral mengapung-apung di permukaan laut sebagai penanda lokasi ternak kerang hijau.
Hamparan air laut di antara Dermaga Muara Kamal dan Pulau Kecipir sudah seperti ladang kerang hijau yang begitu luas. Bahkan, lokasi ternak kerang hijau itu menyamping ke kiri dan kanan di sepanjang pantai yang cukup jauh.
Setelah dari Pulau Kecipir, kapal kembali ke tengah laut dan berhenti di lokasi ternak kerang hijau. Kebetulan kerang hijaunya habis dipanen. Kru kapal segera menyelam untuk mengambil kerang hijau yang masih tersisa.
Indah tidak ragu turut mencebur ke pijakan bambu ternak kerang hijau dengan kedalaman sepinggangnya. Kedalaman laut diperkirakan 7 meter. Kerang-kerang hijau yang tersisa cukup banyak. Ukurannya juga cukup besar, seukuran kerang hijau yang siap panen.
Baca juga: Kegilaan Soleh Solihun
”Seperti inilah instalasi bambu untuk ternak kerang hijau yang sesungguhnya. Instalasi bambu yang dipamerkan di Pos Bloc hanya sebagian saja, dipotong tidak sampai ke dasar laut,” ujar Indah.
Karya seni instalasi di Pos Bloc tersebut diberi judul ”Bumerang” yang memiliki makna bisa menyerang diri sendiri. Begitu pula ketika mengonsumsi kerang hijau, sebetulnya ada potensi kandungan logam berat atau polutan pencemar lainnya yang bisa membahayakan kesehatan konsumennya.
Pada kesempatan lain, Indah menceritakan, Teluk Jakarta merupakan kawasan paling tercemar polutan di Indonesia, disusul kawasan lain di pesisir Lampung dan Cirebon.
”Kondisi air laut yang tercemar di Teluk Jakarta membuat ikan-ikan tidak bisa bertahan hidup. Akan tetapi, kerang hijau bisa bertahan karena kemampuannya menyerap racun dari polutan,” ujar Indah.
Indah pun menemukan data dari penelitian ilmiah. Ia tidak bisa begitu saja percaya. Suatu kali ketika Jakarta dilanda hujan deras dan air-air sungainya meluap, ia memutuskan untuk pergi ke laut dan melihat kondisi kerang hijau di sana.
”Waktu itu, luapan air dari 13 sungai di Jakarta membawa polutan yang cukup tinggi. Saya mendapati kerang-kerang hijau pun mati,” ujar Indah.
Indah Arsyad
Lahir: Ambon, 19 Mei 1965
Pendidikan: Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta.
Pameran:
- Pameran Bersama Jakarta Provoke! di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta (2024)
- Pameran Tunggal Ocean’s Whisper di Galeri Cemara 6, Jakarta (2023)
- Pameran bersama Indonesian Women Artists (IWA) #3: Infusions into Contemporary Art di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2022)
- Pameran Biennale London di Inggris (2020)