Salengke, Dedikasi untuk Kopi Indonesia
Selama bertahun-tahun, Salengke mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk meningkatkan kualitas kopi Indonesia.
Salengke sebenarnya bukan penggemar berat atau penikmat kopi. Dia bahkan baru belajar minum kopi saat melakukan penelitian. Keinginan memberi nilai tambah pada kopi membuatnya melakukan penelitian yang melahirkan produk prototipe teknologi fermentasi kopi yang meniru proses kopi luwak.
Suatu hari ketika pulang seusai menempuh pendidikan di Ohio State University di Amerika, Salengke berpikir untuk menetapkan arah penelitiannya. Pertimbangan dan pemikiran panjang membawanya pada keputusan untuk melakukan penelitian demi meningkatkan nilai tambah kopi.
Pemikiran ini didasari fakta, walaupun kopi menjadi salah satu produk unggulan Indonesia, produksinya masih 650.000-700.000 ton per tahun. Jumlah ini jauh di bawah produksi Brasil yang menghasilkan sekitar 3,5 juta ton per tahun atau Vietnam sekitar 1,5 juta ton per tahun.
”Untuk meningkatkan devisa dari kopi, kalau mengejar produksi, butuh waktu lama sehingga menurut saya shortcut-nya harus pada peningkatan harga melalui perbaikan kualitas. Saya menghitung, kalau produksi Indonesia 700.000 ton per tahun, kemudian rata-rata harganya bisa ditingkatkan Rp 50.000 saja per kilogram, itu berarti ada sekitar Rp 40 triliun per tahun nilainya,” tuturnya.
Baca juga: Mencecap Kopi Luwak di Kebun Kopi HJ Stock van Dijk
Saat itu yang tebersit di benak Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin ini adalah kopi luwak. Alasannya kopi ini disebut yang terbaik di dunia dan harganya cukup tinggi. Walau demikian, penerimaannya masih beragam. Sebagian menerima karena rasanya, tetapi menentang proses produksinya yang dianggap menyiksa binatang.
Untuk membuktikan kontroversi ini, Salengke berkunjung ke salah satu perusahaan kopi di Tana Toraja dan mendapati hal berbeda. Di tempat ini luwak tiap hari diberi lima buah pisang. Diberi kopi tapi terbatas. Setiap dua kali seminggu diberi telur ayam dan minuman probiotik.
”Ini jauh dari image yang selama ini kita dengar tentang sistem produksi kopi luwak. Namun, ini baru yang saya lihat sendiri di satu perusahaan. Entah yang lain seperti apa. Tahun 2017, saya pernah diskusi dengan pebisnis dari Bandung. Saya tanya produksinya berapa. Katanya 25 kilogram per hari. Itu dari sekitar 2.000-an luwak. Artinya, rata-rata seekor luwak menghasilkan 100 gram per hari,” katanya.
Fakta-fakta inilah yang membawa Salengke ke penelitian untuk menemukan kopi yang kualitasnya sama atau bahkan lebih bagus dari kopi luwak, tetapi produksinya bisa ditingkatkan, tanpa memaksa dan menyiksa luwak.
Dia berkesimpulan, sulit memassalkan produksi kopi luwak dengan keterbatasan memproduksi secara alami. Solusinya adalah mengembangkan teknologi fermentasi yang bisa menghasilkan kopi seperti kopi luwak. ”Kalau saya perkirakan, kira-kira panjang lambung dan usus luwak paling 60 sentimeter. Namun, apa yang terjadi di dalam 60 sentimeter itu sehingga kualitas kopi yang keluar menjadi baik. Itulah yang saya kembangkan teknologinya dan kondisinya disamakan dengan apa yang terjadi di dalam perut Luwak, tetapi dengan kapasitas yang jauh lebih besar,” katanya.
Baca juga: Menyesap ”Kaa” di Toraja
Teknologi Fermentasi Buah
Salengke kemudian mulai mengembangkan teknologinya. Dia mengajak sejumlah mahasiswanya. Dia bekerja sama dengan perusahaan kopi di Tana Toraja. Kerja sama ini untuk memastikan jika kelak penelitian ini berhasil, ada industri yang bisa memanfaatkan.
Penelitian ini diawali dengan merancang dan membuat alat. Selanjutnya dilakukan pengujian sepanjang 2019-2021. Setiap tahun selama penelitian, sampel dikirim ke pusat penelitian kopi dan kakao di Jember. Sekali mengirim jumlahnya sekitar 20-30 sampel. Ini karena ada proses variasi perlakuan.
”Setiap perlakuan kita kirim hasilnya seperti apa. Kenapa kita kirim ke sana? Karena di Jember ada Pak Yusyanto. Beliau ini ahli mencicipi kopi yang sudah bersertifikat internasional. Yang kedua, beliau itu independen. Kalau kita yang menilai sendiri, kan, kita subyektif. Kalau kita kirim ke orang lain untuk menilai, mereka lebih obyektif,” katanya.
Dari sampel-sampel yang dikirim ini, awalnya nilainya 82 dan terus meningkat hingga 86. Artinya, ini sudah masuk kategori specialty coffee. Namun, Salengke belum puas dan belum ingin mengakhiri usaha. Dia selalu mencari bagaimana mendapatkan nilai optimum. Penelitian terus dilakukan dan hasilnya cukup signifikan dengan nilai untuk sampel terakhir yang dikirim adalah 87. Angka ini disebut lebih tinggi dari skor kopi luwak.
”Skor yang dilaporkan dari Jember untuk kopi luwak antara 79 dan 84. Artinya apa? Dengan teknologi yang kita kembangkan, ini sudah bisa memberikan hasil dengan skor di atas kopi luwak. Ini dengan kapasitas yang jauh lebih besar,” katanya.
Baca juga: Mengangkat Pamor ”Ratu Kopi” Toraja
Dalam penjelasan sederhana, teknologi yang dikembangkan Salengke adalah alat untuk fermentasi buah atau biji kopi yang baru dikupas kulit luarnya atau buah kopi yang belum dikupas untuk menghasilkan kopi dengan kualitas memenuhi kriteria kopi spesial.
Teknologi ini mudah dioperasikan, konsumsi energi serta biaya pengoperasian rendah, dan kondisi fermentasi dapat dikontrol secara akurat. Fermentasi menggunakan mikroba alami yang ada pada kopi atau lingkungan tempat kopi berada.
Teknologi ini dapat digunakan untuk proses fermentasi kopi pada kondisi aerobic dan anaerobic. Selain itu dapat juga digunakan untuk proses fermentasi dengan metode carbonic maceration. Suhu fermentasi dikontrol secara otomatis dan dapat diatur sesuai dengan suhu fermentasi yang diinginkan.
Kondisi operasi yang telah terbukti menghasilkan kopi kualitas spesial adalah suhu antara 30-36 derajat celsius dan lama fermentasi 12-30 jam. Pengujian teknologi pada tahun 2021 dilakukan pada kondisi yang lebih luas, yaitu suhu fermentasi hingga 43 derajat celsius dan lama fermentasi hingga 44 jam.
Prototipe teknologi yang telah dikembangkan dapat mengolah 135-150 kilogram biji kopi yang telah dikupas, yang setara dengan 300 kg buah kopi per kelompok. Kapasitas ini dapat ditingkatkan dengan memperbanyak jumlah fermentor yang dioperasikan secara paralel.
”Penelitian pada 2021 telah membuktikan bahwa sembilan fermentor dapat dioperasikan secara paralel dengan hanya mengontrol tiga fermentor. Berdasarkan hasil uji tersebut, kapasitas pengolahan dapat ditingkatkan menjadi sekitar 1 ton buah kopi per hari. Kapasitas ini sudah ideal untuk pengolahan pada tingkat kelompok tani,” katanya.
Untuk mengantisipasi pemanfaatan teknologi pada tingkat individu petani, fermentor dengan skala 30 kg juga telah dikembangkan dan hanya membutuhkan energi listrik kurang dari 85 Watt.
”Kelemahan selama ini eksperimennya dilakukan di teaching industry di Makassar. Kopinya diambil dari Toraja Utara dan perjalanannya cukup lama, hingga lebih 8 jam. Kopi ini barang hidup yang walaupun sudah dipanen masih hidup secara biologis. Saat datang ke teaching industry, kondisinya bisa berubah. Bisa jadi dalam perjalanan ada mikroba lain yang ikut,” katanya.
Hal ini membuat Salengke mengembangkan penelitian dan memutuskan memindahkan alatnya ke perusahaan kopi di Tana Toraja. Targetnya memproses kopi yang baru dipetik. Ini seperti luwak yang mengonsumsi kopi segar.
Baca juga: Dari Perang Kopi hingga Pasar Kalosi
”Target saya adalah cuping score 90. Jadi, itu yang mendorong kami untuk penelitian terus, bisa nggak kopi Indonesia ini diproses hingga cuping score di atas 90. Selama ini, kan, yang mendapatkan cuping score di atas 90 itu varietas Burbon dari Panama dan Brasil,” kata Salengke.
Alat yang dikembangkan Salengke telah mendapatkan hak paten. Alatnya pun telah dimanfaatkan di salah satu perusahaan kopi terkemuka. Walau demikian, Salengke masih belum puas. Dia masih saja mengejar cupping score 90. Tentu saja semua dedikasinya ini untuk kopi Indonesia.
Salengke
Pendidikan:
- Sarjana Mekanisasi Pertanian (1987), Universitas Hasanuddin, Indonesia
- Master of Science di bidang Rekayasa Proses Pangan (1993), The Ohio State University, AS
- Doctor of Philosophy dalam bidang rekayasa proses pangan (2000), The Ohio State University, AS
Bidang Penelitian:
- Teknologi Pascapanen
- Pengolahan Makanan
- Rekayasa Pangan
Pengalaman kerja:
- Pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin (1986-sekarang)
- Wakil Dekan Bidang Keuangan dan Sumber Daya Manusia Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (2006-2010)
- Direktur Teaching Industry Universitas Hasanuddin (2010-2022)
- Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (2022-sekarang)
Publikasi: 51 publikasi di jurnal internasional bereputasi di bidang teknologi pascapanen, pengolahan pangan, dan rekayasa pangan