Silpanus tak ingin kampungnya dikepung asap dari kebakaran lahan gambut. Dia aktif mengajak warga menjaga lahan gambut.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·4 menit baca
Silpanus tidak ingin kampungnya berulang kali dikepung asap akibat kebakaran lahan gambut. Untuk itu, dia mengajak warga menjaga lahan gambut tetap asri, tetap basah, agar tak mudah dilahap si jago merah.
Siang itu, Jumat (21/6/2024) waktu baru menunjukkan pukul 10.00 WIB, tetapi suhu di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jebiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, begitu gerah, mencapai 36 derajat celsius. Silpanus (42) berdiri di tepi sekat kanal lahan gambut memakai kaus lengan panjang dan bertopi menjawab setiap pertanyaan para mahasiswa tentang lahan gambut. Hari itu, dia kedatangan belasan mahasiswa dan seorang guru sekolah menengah atas yang tengah menggali data tentang gambut. Mereka adalah sukarelawan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Silpanus menjelaskan, kanal gambut dibuat sebagai jalur transportasi ketiga jalan di darat terganggu. Kanal juga berfungsi sebagai pemutus api tatkala terjadi kebakaran di lahan gambut karena api tidak bisa melintas ketika dihadang air kanal. Dari sisi ekonomi, kanal juga membantu dalam pengelolaan air untuk pertanian di lahan gambut, memungkinkan budidaya tanaman yang lebih baik dan produktif. Bisa juga untuk perikanan.
Yang utama, kata Silpanus, kanal dibuat guna mencegah air keluar dari lahan gambut. Ini dapat mempertahankan lahan gambut tetap basah sehingga tidak rawan terbakar. Akan tetapi, kadang air di lahan gambut terlalu deras turun ke kanal dan mengalir hingga ke sungai atau laut. Untuk itu, perlu dibuat penahan. ”Maka kami membuat sekat kanal,” kata Silpanus.
Sekat kanal itu berupa bangunan sederhana berbahan kayu atau kanvas beton yang berfungsi menahan laju air. Ada juga sekat kanal yang bagian tengahnya dibiarkan berlubang dan sewaktu-waktu diberi pintu air ketika hendak mencegah laju air. Kanal tersebut dibiarkan terbuka karena dipakai untuk jalur perahu warga. ”Kanal ini menghubungkan tiga rukun tetangga, sering warga lewat sini dengan perahu,” kata Silpanus menjelaskan salah satu sekat ait yang berpintu air di Desa Tumbang Nusa.
Silpanus mengenang masa-masa suram tinggal di lahan gambut yang rawan kebakaran. Pada suatu pagi tahun 2015, dia bangun dan mendapati seluruh kampungnya dikepung asap. Dia kehilangan arah karena jarak pandang demikian pendek. ”Banyak orang naik perahu atau naik motor nyasar karena tidak tahu arah,” kata Silpanus.
Kebakaran tahun 2015 merupakan salah satu kebakaran hutan dan lahan gambut terparah dalam sejarah Kalimantan Tengah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Tengah mencatat, luas wilayah terbakar mencapai 14.843,3 hektar (ha). Adapun versi citra satelit NOAA-18 mencatat luas wilayah terbakar mencapai 402.779 ha dengan hotspot (titik api) sebanyak 4.292 titik.
Kebakaran tersebut, antara lain, menyebabkan kandungan air dalam lahan gambut berkurang drastis sehingga ekosistem lahan gambut terganggu bahkan rusak. Silpanus mengingat, saat itu tanaman sulit tumbuh. Tentu saja bukan kali itu Silpanus menyaksikan lahan gambut terbakar, tetapi baru saat itu kebakaran lahan gambut demikian parah sehingga dia tak bisa melihat. Dalam hati Silpanus muncul gejolak untuk mangatasinya, tetapi dia tak tahu caranya.
Saya berpikir, kalau lahan gambut ini terus terbakar tiap tahun, pasti rusak. lalu bagaimana dengan anak cucu kami nanti. Mereka tinggal di mana.
”Saya berpikir, kalau lahan gambut ini terus terbakar tiap tahun, pasti rusak. lalu bagaimana dengan anak cucu kami nanti. Mereka tinggal di mana,” kata Silpanus mengutarakan kegundahannya.
Pemerintah kemudian mengatasi kebakaran itu dan mencoba merancang upaya pencegahan. Caranya, antara lain, dengan bekerja sama dengan USAID Lestari dan Badan Restorasi Gambut yang kemudian berganti nama menjadi (BRG) Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Kalteng menjadi salah satu provinsi prioritas. Dalam program tersebut, pemerintah melibatkan masyarakat, termasuk pemberdayaan masyarakat tentang peluang secara ekonomi yang bisa diambil dari lahan gambut tanpa merusaknya.
Silpanus mendengar program ini dan kemudian ikut aktif di dalamnya. Dia juga sejak tahun 2020 tergabung dalam Masyarakat Peduli Api (MPA) binaan KPHP Kahayan Hilir dan kini dia didapuk sebagai Koordinator MPA Perintis Desan Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Petani karet ini memperoleh pengetahuan tentang jenis lahan berikut ancaman kebakaran dan cara mengatasinya.
Silpanus aktif mengimbau warga untuk tidak menebang pohon secara ilegal di lahan gambut. Sebab itu dapat merusak ekosistem. Sebaliknya, dia mengajak warga menanam pohon di lahan kosong untuk mengurangi risiko kebakaran lahan gambut. Berdasarkan pengetahuan yang dia dapat dalam beberapa pelatihan, Silpanus paham bahwa pohon akan menyerap air sehingga kadar air lahan gambut berkurang. Kadar air yang rendah dapat mencegah kebakaran di bawah permukaan tanah.
Selain itu, pohon dapat mengembalikan ekosistem lahan gambut ke kondisi alaminya. Lahan gambut yang lebih basah karena tertutup dedaunan pohon atau vegetasi menurunkan potensi kebakaran lahan. Pada saat yang sama, pohon juga menurunkan suhu sampai ke permukaan tanah sehingga lahan lebih sejuk dan potensi kebakaran ikut turun.
Pohon juga ikut berperan memperbaiki struktur tanah. Struktur tanah yang baik dapat menurunkan risiko kebakaran di atas permukaan tanah atau di dalam lahan gambut. Yang utama, kata Silpanus, kalau masyarakat peduli, pembakaran lahan gambut bisa dicegah.
Dalam beberapa kasus, kebakaran lahan gambut biasanya disengaja untuk pembukaan lahan. Meskipun demikian, Silpanus tetap menghadapi kendala. Ini klasik, tapi terus berulang. ”Kendala terberat adalah peralatan yang kurang menunjang untuk pemadaman. Seperti dana operasional tidak ada, minyak, uang harian,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, keanggotaan MPA ini bersifat sukarela. Dia tidak bisa memaksa warga untuk ikut. Apalagi jika tidak ada iming-iming dana atau uang harian. Ini tantangan lain Silpanus dalam membangun kesadaran warga.