Orang Indonesia banyak yang mengalami krisis ekspresi. Mereka tidak tahu bagaimana merasakan apa yang diucapkan.
Oleh
BUDI SUWARNA
·2 menit baca
Setelah sekitar satu dekade memberi pelatihan komunikasi dan mindfulness, Rani Badri Kalianda sering tersenyum sendiri melihat bagaimana para politikus Indonesia berpidato. Pasalnya, sering kali isi pidato mereka tidak sesuai, bahkan bertentangan, dengan ekspresi yang mereka perlihatkan.
”Bayanginaja, pidato berapi-api ngomong soal cinta dan perdamaian, tapi wajahnya serem. Itu mau ngajak damai atau ngajak ribut?” ujar Rani Badri, praktisi komunikasi dan mindfulness dari lembaga The Soul of Speaking dalam sebuah percakapan di Jakarta, Senin (23/7/2024) siang.
Menurut Rani, sebenarnya bukan hanya politikus, secara umum orang Indonesia banyak yang mengalami krisis ekspresi. Penyebabnya pola asuh orangtua di masa lalu yang sedikit-sedikit memberi komentar negatif atau menakut-nakuti.
”Anak lagi riang, lari sana-sini malah dikomentari, ’kamu kok pecicilan begitu, sih’. Anak mau main ke pantai, malah ditakut-takutin, ’ngapain ke pantai, ntar keseret ombak’. Kalau anaknya nangis dikomentarin, ’cengeng amat, sih. Kalau nangis terus ditangkap polisi’,” tutur Rani.
Akibatnya apa? Sampai dewasa, lanjut Rani, mereka bingung mengekspresikan perasaannya. Ketika berkomunikasi mereka lebih banyak menyampaikan apa yang mereka pikirkan, bukan apa yang mereka rasakan. Padahal, apa yang kita pikirkan belum tentu dipahami orang lain. Namun, apa yang kira rasakan bisa langsung terhubung dengan lawan bicara dan bisa menggerakkan.
”Kalau wajah kita murung, tanpa kita ungkapkan, orang tahu kalau kita sedang sedih atau ada masalah,” kata Rani yang sejak April 2024 menangani belasan politikus dari berbagai daerah yang ingin belajar berkomunikasi yang positif. Sebagian dari mereka berencana untuk bertarung dalam Pilkada 2024, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Sebagian politikus kita berkomunikasi tanpa rasa sehingga komunikasinya tidak menggerakkan orang. Isi orasinya janji-janji doang.
Umumnya, mereka ikut kelas-kelas privat dengan empat hingga 12 kali pertemuan demi mengatasi hambatan dalam berkomunikasi dengan publik. ”Ada yang datang karena kemauan sendiri, ada yang dikirim oleh lembaga marketing politik yang mereka pakai. Pokoknya gue jadi sibuk deh,” ujarnya menambahkan.
Apa, sih, persoalan komunikasi para politikus kita?
”Ya, seperti yang tadi saya jelasin. Sebagian politikus kita berkomunikasi tanpa rasa sehingga komunikasinya tidak menggerakkan orang. Isi orasinya janji-janji doang, enggak memberi kesadaran atau harapan,” katanya.
Yang lebih parah, lanjut Rani, kerap kali politikus menanam benih kebencian, pesimisme, dan ketidakpercayaan dalam pesan-pesan komunikasinya. Itu berbahaya sekali karena kata-kata negatif seperti virus yang mudah menyebar. Kata-kata negatif punya daya dorong yang merusak fondasi kepercayaan, persatuan, menciptakan jurang pemisah di antara masyarakat, memupuk konflik, dan menghancurkan semangat gotong royong.
Sebaliknya, komunikasi positif bisa menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan, baik secara sosial maupun ekonomi.
”Pilihan ada di tangan mereka. Mau menanam benih positif yang akan menghasilkan ladang subur perdamaian atau menabur benih negatif dan melihat ladang kita gersang yang penuh pertikaian,” tutup Rani.
Politikus yang bijak tentunya akan selalu menabur benih positif, memastikan bahwa masa depan masyarakatnya penuh dengan harapan dan buah-buah keberhasilan.