Misna Setia ”Memangku” Gambang
Misna (69), generasi keenam di keluarganya yang memainkan gambang di Jambi. Kini, ilmunya diturunkan ke keponakannya.
Di tengah ”gempuran” mesin karaoke, radio, dan pelantar streaming musik, Misna (69) tetap setia begambang atau memainkan alat musik gambang. Sekarang, tak banyak orang yang bisa memainkannya, apalagi membuatnya. Misna pun menjadi salah satu penjaga seni tradisi yang terancam punah ini.
Malam di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, pada Selasa (9/7/2024) begitu tenang. Hanya ada langit gelap tak berawan, semburat cahaya bulan, dan suara samar para perempuan yang tengah asyik menganyam daun pandan.
Ketenangan desa di tepi Sungai Berembang ini pecah dengan alunan nada merdu dari gambang. Nada tinggi dan rendah mengayun, lalu disambut dengan tabuhan rebana dan gong. Suasana semakin meriah ketika syair dengan cengkok dan nada khas Melayu mengalun.
Pertunjukan dadakan di teras sebuah rumah itu menjadi tontonan. Ponsel warga desa hingga tamu dari luar desa menjulur untuk mengabadikan pertunjukan tersebut.
Kamera ponsel juga menyorot Misna, salah satu nyai (nenek) desa yang dikenal sebagai maestro kesenian gambang. Nama Misna sebagai maestro pun tercatat di data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Namun, Misna tak tampil sendiri di teras pada malam itu. Selain Misna yang duduk memangku gambang, ada pula Samsia (64) yang juga memainkan gambang, Ali Usman (71) sebagai pemain gendang, Saida (40-an) pemain gong, dan Nurisa (45) yang menyanyi.
Uniknya, kelima orang ini adalah keluarga Misna. Ali adalah suaminya, Saida kakak iparnya, Samsia adik iparnya, dan Nurisa adik kandung Misna.
Baca juga: Jejak Budaya Manusia Sungai Batanghari
Begambang di Desa Danau Lamo tanpa sengaja menjadi ”keahlian” keluarga Misna. Sebetulnya ada beberapa warga di desa ini yang bisa begambang. Akan tetapi, kata sebagian warga, mereka hanya sekadar bisa, tidak benar-benar mahir dan menekuni kesenian ini.
Misna sendiri adalah generasi keenam di keluarganya yang menekuni gambang. Dalam ingatan Misna, gambang sudah dimainkan sejak zaman nenek moyangnya, buyutnya, hingga orangtuanya. Kini, giliran keponakan Misna (generasi ketujuh) yang belajar gambang.
”Saya bisa main gambang dari kecil, entah dari usia berapa. Ada gambang di rumah dan saya coba-coba mainkan sendiri,” kata Misna dalam bahasa Melayu Jambi.
Gambang adalah alat musik yang terbuat dari beberapa bilah kayu. Kayu itu lantas disusun melintang di atas kaki, mulai dari pangkal paha ke mata kaki. Pengaturan ini membuat pemain gambang mesti duduk berselonjor.
Kadang, Misna tak kuat duduk seperti ini lama-lama. Ia lantas membuat kotak kayu untuk meletakkan gambang. Kotak itu bolong di tengah dan bagian atasnya terbuka. Bentuk ini membuat kotak tersebut punya fungsi lain, yaitu sebagai pengeras suara.
Mengatur nada
Gambang terdiri dari bilah-bilah kayu panjang dan pendek. Gambang milik Misna yang berusia 5 tahun ini mempunyai 10 bilah kayu. Kayu paling pendek sekitar 20 sentimeter, sementara yang paling panjang sekitar 40 sentimeter.
Saya bisa main gambang dari kecil, entah dari usia berapa. Ada gambang di rumah dan saya coba-coba mainkan sendiri.
Kayu ini menghasilkan nada yang berbeda-beda apabila dipukul dengan tongkat kayu. Bilah kayu paling pendek, misalnya, menghasilkan nada mirip do. Sementara kayu paling panjang keempat menghasilkan nada mirip do tinggi.
”Ya, mungkin bisa jadi begitu (ada notasinya). Tapi, moyang kami dulu main saja tanpa tahu nada do re mi,” kata Misna dan Ali yang disambung gelak tawa dari pemusik lain. ”Gambang ini rumit saat kita menyusun nadanya biar nyambung,” kata Misna lagi.
Kesulitan ini tampak saat Misna berkali-kali menyusun bilah kayu di kakinya. Setelah beberapa kayu ditaruh, ia langsung menyetem gambangnya dengan tongkat pemukul. Jika nada dirasa tidak padu, ia bakal menyusun ulang bilah-bilah kayunya sampai nadanya pas.
Bersama keluarganya, Misna memainkan beberapa lagu yang memiliki syair berima seperti pantun. Kebanyakan syair berkaitan dengan aktivitas pertanian. Menurut mereka, gambang bukan sebatas alat musik, melainkan juga medium untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan.
”Dulu, gambang dibawa orangtua ke sawah. Gambang dimainkan di pondok sawah kalau bosan. Gambang itu hiburan di zaman dulu,” kata Misna.
Gambang di masa kini menjadi ekspresi seni dan budaya, serta hiburan. Pertunjukan gambang kerap ditemui di berbagai acara, seperti perayaan ulang tahun, peringatan 17 Agustus, pernikahan, khitanan, dan untuk menyambut tamu.
Di masa lalu, suara dari gambang juga menjadi penanda kehadiran manusia. Dulu, permukiman manusia dikelilingi hutan-hutan yang masih rapat dan menjadi rumah berbagai jenis fauna. ”Suara gambang dipercaya membuat binatang buas enggan mendekat. Mereka juga tak akan mengganggu petani dan tanamannya (Kompas.id, 10/11/2022).
Baca juga: Gambangan yang Kembali Semarak di Jambi Tulo
Kayu sulit dicari
Gambang yang dibuat Misna terbuat dari kayu mahang dan marelang. Kayu mahang berwarna coklat muda dan menghasilkan nada yang lebih tinggi dari kayu marelang yang berwarna coklat tua.
Keduanya adalah kayu bertipe lempung yang lunak dan ringan. Kayu seperti inilah yang paling cocok dijadikan gambang. Namun, kayu mahang dan marelang kian sulit dicari. Dulu, Misna hanya perlu berjalan kaki sebentar untuk mencari kayu di hutan. Kini, ia harus berjalan kaki lebih lama. Itu pun kayunya tidak selalu berhasil didapat.
Hilangnya sumber kayu mahang dan marelang berkaitan dengan alih fungsi lahan di sekitar desa. Hutan tempat Misna mencari kayu telah beralih fungsi menjadi kebun sawit.
Sulitnya mencari kayu mengakibatkan pembuatan gambang bisa terhambat suatu hari nanti. Sebab, usia gambang biasanya hanya lima tahun. Untuk membuat gambang, kayu mesti dijemur hingga kering selama sekitar seminggu. Barulah kemudian kayu dibelah dan dikikis.
”Saya biasanya mengikis dengan alat di dapur saja. Biasanya pakai pisau untuk ayam!” katanya sambil tertawa.
Baca juga: Memompa Denyut Budaya Desa Penyangga Muarajambi
Tak hanya bahan baku gambang yang semakin langka, pemain gambang di desa ini pun semakin tua. Harapan akan keberlanjutan gambang kini ada di pundak keponakan Misna, Rendi Gunawan (25).
Malam semakin larut. Misna dan keluarganya pamit pulang. Gambangnya ia tinggalkan di teras rumah dan jadi mainan anak-anak desa keesokan harinya. Mungkin saja masa depan gambang masih panjang.
Misna
Lahir: Desa Danau Lamo, Jambi, 22 Juni 1955
Pencapaian: Maestro Gambang