Imam percaya, setiap petani sebenarnya punya peluang untuk mengembangkan klon-klon lokal dari kebunnya sendiri.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Imam Rosadi (53) menjadikan kebun kopinya sebagai kebun percobaan mandiri. Ketelatenannya menyemai benih kopi dan menyilangkan tanaman kopi selama bertahun-tahun menghasilkan berbagai jenis klon kopi unggulan yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Sehari-hari, Imam sebenarnya bekerja sebagai aparatur sipil negara di kantor Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat. Seperti pegawai negeri pada umumnya, Imam bekerja sejak pagi hingga sore hari.
Namun, kecintaannya pada tanaman kopi tak membuat Imam meninggalkan kebun. Hampir setiap hari setelah shalat Subuh, ia menyempatkan diri mengurus kebun yang berada di Pekon Giham Sukamaju, Kecamatan Sekincau. Imam juga memanfaatkan waktu liburnya setiap akhir pekan atau ketika tanggal merah untuk merawat kebun kopi.
Kebun kopi seluas 1 hektar itu berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Untuk sampai ke sana, Imam harus mengendarai sepeda motor menembus jalan setapak yang curam dan berliku.
Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, itu pindah ke Lampung Barat bersama orangtuanya pada 1977. Sejak kecil, Imam sudah belajar bertani cengkeh dan lada bersama orangtuanya.
Setelah dewasa, Imam mengelola lahan seluas 1 hektar yang tidak tergarap dengan baik oleh ayahnya. Kebun yang semula ditumbuhi semak belukar itu kemudian dijadikan kebun kopi.
Imam mencari sendiri bibit kopinya. Awalnya, ia meminta satu keranjang buah kopi yang baru dipanen dari kebun kakaknya yang berada di kawasan Gunung Subhan, Lampung Barat. Biji kopi tersebut lalu ia tebar di kebunnya.
Butuh waktu setidaknya 5 tahun sampai kebun itu rimbun dengan pohon kopi. Setiap musim panen, Imam memberi tanda pada pohon-pohon kopi yang buahnya lebat. Ia juga mencatat perkembangan produktivitas pohon kopinya setiap tahun.
”Akhirnya ketemu satu pohon induk yang produktivitas buahnya stabil. Saya mulai kembangkan dengan menyambung tunas dari pohon itu ke batang-batang pohon yang lain,” kata Imam saat ditemui di rumahnya pada Rabu (3/7/2024).
Meski tak punya latar belakang pendidikan di bidang pertanian, Imam suka mencoba menyilangkan tanaman kopi di kebunnya. Hobi inilah yang membuat kebunnya punya beragam klon lokal.
Jerih payah Imam merawat kebun kopi puluhan tahun membuahkan hasil. Hampir setiap musim panen, Imam mendapat kopi lebih banyak dari petani-petani lain di desanya. Ia mendapat hasil panen kopi setidaknya 2-2,5 ton dari 1.500 batang pohon kopi. Meski jumlah batang kopi di kebunnya tidak begitu banyak, hampir semuanya produktif sehingga hasil panen bisa lebih melimpah.
”Waktu itu saya tertarik dengan budidaya kopi karena berpikir kalau lahan saya ini, kan, enggak lebar, gimana caranya biar hasilnya maksimal? Jadi, saya coba menyilangkan tamanan kopi,” katanya.
Varietas lokal
Dari berbagai jenis klon lokal yang ada di kebun itu, satu klon sudah didaftarkan sebagai varietas lokal asli Lampung Barat pada 2022. Dinas Perkebunan Lampung Barat bersama Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) mendaftarkan klon kopi itu dengan nama varietas ”Imam Giham”. Nama tersebut diambil dari nama petani dan lokasi tanaman induknya tumbuh.
Dari hasil identifikasi oleh petugas pertanian, tanaman induk kopi itu diperkirakan sudah berumur di atas 25 tahun. Tinggi tanamannya sekitar 2,5 meter dengan asal biji atau perbanyakan secara generatif. Tanaman ini memiliki sekitar 20 cabang primer.
Ukuran buah kopinya juga lebih besar dibandingkan dengan klon kopi lokal lainnya di Lampung Barat. Warna buah kopinya hijau keabu-abuan saat belum matang.
Saat ini, klon kopi Imam Giham telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Lampung Barat. Imam juga membantu Dinas Perkebunan Lampung Barat dan Provinsi Lampung untuk menyebarkan bibit kopi lokal unggul tersebut. Hingga saat ini, Imam setidaknya telah menyediakan lebih dari 50.000 batang tunas muda klon kopi tersebut untuk diberikan kepada petani-petani lainnya.
Imam yang penasaran dengan cita rasa kopi kemudian mencoba mengikuti lomba cita rasa kopi robusta Lampung. Tak disangka, ia pernah mendapat juara II tingkat nasional untuk lomba cita rasa kopi robusta. ”Kalau kata orang yang mencicipi, aromanya memang lebih tajam dan rasa kopinya lebih kuat,” ucap Imam.
Hingga saat ini, Imam masih mempertahankan petik merah kopi. Selain harga jual yang lebih tinggi, ia menyakini cita rasa kopi yang sudah memerah lebih baik.
Selain menjual kopi dalam bentuk green bean, ia juga memproduksi kopi bubuk petik merah atau fine robusta saat ada pesanan. Harga kopi bubuk tersebut dijual Rp 300.000 per kilogram.
Saat ini, Imam masih meneliti perkembangan empat klon lokal lain yang ada di kebunnya. Ia juga mencatat perbedaan sifat satu klon lokal tersebut, mulai dari bentuk daun, buah, hingga batangnya.
Tak hanya berbagi klon unggul dari kebunnya, Imam juga senang berbagi ilmu kepada para petani yang datang ke rumahnya. Ia berharap para petani kopi di Lampung Barat juga menjaga kearifan lokal dengan rajin menyemai benih. Selain menjaga keanekaragaman hayati kopi, kebiasaan baik itu juga dapat menguntungkan petani karena kebun kopinya akan berbuah lebat.
”Setiap petani sebenarnya punya peluang untuk mengembangkan klon-klon lokal dari kebunnya sendiri. Asalnya mau mencari satu tanaman yang paling unggul yang bisa mempertahankan produksi dan adaptif terhadap lingkungan,” katanya.