Windy Ariestanty, Ingatan Baik Peneroka Regenerasi Literasi
Ingatan baik dan mimpi-mimpinya menyatu menjadi sebuah mantra bagi Windy Ariestanty untuk terus membuka jalan.
Ingatan baik dan mimpi-mimpi menyatu menjadi sebuah mantra bagi Windy Ariestanty untuk terus membuka jalan. Himpunan kekuatan dari urun daya mereka yang peduli membawa Windy menapaki jalurnya di dunia literasi.
Di tengah padatnya kegiatan Patjar Merah Kecil 2024 yang berlangsung pada 29 Juni-7 Juli 2024, Windy meluangkan waktu untuk berbincang mengenai literasi dan mimpi-mimpinya, Jumat (5/7/2024) pagi. Perbincangan asyik itu dilakukan di Kedai Patjar Merah yang berada di bagian sisi kanan PosBloc, Jakarta.
Ia duduk bersila sembari menekuni sejumlah tas kanvas bertuliskan Patjar Merah, dikelilingi buku-buku berjajar rapi di rak. Tas itu berisi sejumlah barang dan makanan ringan. ”Sebentar, ya. Ini untuk kawan-kawan kecil hari terakhir nanti,” ujarnya.
Kawan kecil yang dimaksud Windy adalah sejumlah anak penulis yang singgah dan menghabiskan waktu di Patjar Merah Kecil.
Tak lama kemudian, Windy, yang suaranya mulai serak karena kelelahan, memulai perbincangan hangat pada hari yang dingin oleh hujan itu. ”Tiap kali Patjar Merah itu selalu saja ada keluarga yang datang. Mereka bisa menghabiskan waktu seharian penuh. Sementara kegiatan yang diperuntukkan untuk kawan-kawan kecil ini tidak banyak karena mayoritas acaranya remaja dan dewasa. Kalau ada pun sifatnya mendongeng, bercerita gitu,” ujar Windy.
Padahal, apabila digali lebih dalam, dunia literasi anak begitu luas dan tidak terbatas pada dongeng. Beberapa kali muncul gagasan untuk menyelenggarakan Patjar Merah yang merupakan Festival Literasi dan Pasar Buku keliling khusus untuk anak. Akan tetapi, Windy tidak berani mengeksekusinya karena terlalu berisiko. Tapi, saat itu, musisi Reda Gaudiamo meyakinkannya dan ikut berkeliling menghimpun kekuatan untuk mewujudkan Patjar Merah Kecil.
Pekerjaannya berkali lipat lebih besar. Sebab, kalau salah eksekusi, kawan-kawan kecil bukannya datang, melainkan jadi trauma. ”Ini kan usia emas mereka, ketika usia ini yang dipupuk adalah ingatan baik. Jangan sampai sebaliknya, jadi trauma dengan buku misalnya. Penginnya ini jadi momen regenerasi. Enggak hanya regenerasi penulis, tetapi juga regenerasi pembaca sejak dini,” tuturnya.
Apa yang disampaikannya ini terbukti sepanjang sepekan penyelenggaraan. Anak- anak dibiarkan bebas ke sana kemari. Dari memilih buku, membaca di pojok-pojok yang tersedia, bermain, menggambar, mewarnai, dan lain-lain. Membaca buku dan menulis berhasil dikenalkan sebagai wahana permainan menyenangkan dan membebaskan imajinasi anak-anak ini.
Kali ini, karena diperuntukkan bagi kawan kecil, maka sejumlah anak dilibatkan juga dalam kepanitiaan. Mereka menjadi kunci dan kurator apa saja yang dibutuhkan anak-anak. ”Kadang kita merasa, kita tahu apa yang mereka butuhkan. Padahal enggak. Yang tahu apa yang mereka butuhkan, ya, mereka,” ujar Windy yang melakukan proses uji coba selama setahun untuk menghadirkan Patjar Merah Kecil.
Baca juga: Kegilaan Soleh Solihun
Ingatan baik
Keinginan memberikan memori baik ini rupanya dipicu juga salah satunya oleh pengalaman masa kecil Windy yang lekat dengan literasi. Minimnya hiburan di masanya membuat bacaan menjadi satu-satunya media penghilang penat. Bahkan, ia bersama kakak dan adiknya juga membaca koran langganan sang ayah.
”Ngantre kalau mau baca koran. Papa langganan Kompas dan tabloid Monitor saat itu. Kami baru bisa baca setelah Papa selesai baca. Tapi, aku punya cara biar bisa baca duluan. Itu waktu di Manado, aku membacakan koran untuk nenekku yang buta huruf, tiap hari,” kenang Windy.
Saat tinggal di Palembang, nenek Windy memiliki aturan jika ingin keluar main harus sudah selesai membaca satu buku dan menceritakan kembali kepada sang nenek sebelum bermain. Hingga ada satu masa, Windy habis membaca semua buku di rumah dan mengulangnya berkali-kali sampai hafal ceritanya. Sang nenek lalu mengubah aturan, yaitu tidak lagi sekadar membaca, tetapi juga menulis cerita.
Sang kakek berbeda lagi. Windy diminta rutin membaca kamus sebagai jalan menambah kosakata. ”Baca koran terus koran itu nanti di-stabilo setelah di-stabilo aku harus berdiri di sebelah dia terus ngasih resume berita hari ini. Gue enggak ngerti juga kenapa dulu kakek nenek gue kayak gitu ya,” kisahnya sambil tertawa.
Di Malang, ketika kuliah, Windy menghidupi kebiasaan baca tulis ini melalui Pers Mahasiswa Dianns dan sempat duduk sebagai pemimpin redaksi. Saat itu, pers mahasiswa ini menolak pendanaan dari kampus agar lebih leluasa dalam menerbitkan tulisan dan karya yang dimuat juga di majalah dinding bernama Radikal, akronim dari ora wedi dicekal (tidak takut dicekal).
”Akhirnya dicekal juga, masuk sel kami. Ha-ha-ha. Itu gara-gara karikatur Soeharto terpilih lagi dan ada tulisannya Turut Berduka Cita. Malam-malam dicopot madingnya sama aparat. Kami dipanggil dan masuk sel sampai dijemput dekan,” ungkap Windy.
Melalui pers mahasiswa ini, Windy mengenal distribusi buku karena bersama teman-temannya menjual buku yang diambil dari rumah penerbit untuk dijajakan berkeliling dari fakultas ke fakultas. Hasil penjualannya dimanfaatkan untuk membiayai pers mahasiswa.
Keterlibatannya di dunia pers mahasiswa dan ingatan baiknya tentang pers Indonesia pada masa itu mengantarkannya pada cita-cita ingin menjadi wartawan. Ia menjajal melamar ke media yang telah lama diincarnya. Sayangnya, ketika ia mendapat telepon dari nomor Jakarta, Windy tengah berkegiatan sehingga kesempatan itu terlepas.
Baca juga: Resonansi Rasa Pat Boonnitipat
Kendati demikian, ia sempat berkontribusi di kanal kampus detik.com dan bisik.com. Baru setelahnya, ia beralih ke Gagas Media yang bergerak di penerbitan. Media baru yang menjadi tempatnya bebas berkreasi.
Selanjutnya, ia juga sering jalan-jalan dari pulau ke pulau di Indonesia sambil membawa buku. Selama dua tahun melakukan hal ini, ia menyadari buku masih memiliki daya tarik yang besar di mana saja ia berada. ”Ingat betul di Yahukimo waktu itu, aku taruh buku. Anak-anak keluar dan ambil buku-buku itu. Adanya perbedaan bahasa karena anak-anak di sana berbahasa Korowai juga ternyata tidak masalah karena ada gambarnya,” katanya.
Regenerasi dan akses
Dari perjalanan ini, Windy menjadi melek mengenai akses. Warga-warga di pulau-pulau yang disambanginya urung terjamah buku. Kalaupun kemudian ada rumah baca, jaraknya bisa sangat jauh dan koleksinya bertahun-tahun tak bertambah. Aksi kecil Windy meninggalkan sejumlah buku di setiap lokasi yang dikunjunginya merupakan satu cara.
Upayanya dengan Patjar Merah yang kini diampunya setelah mundur dari kantor penerbit juga untuk membuka akses. Hanya saja, ia paham jangkauannya masih terbatas. Untuk itu, ia menekankan kolaborasi.
Kini, Windy menekankan mengenai kesadaran regenerasi. Patjar Merah punya tujuan itu. Meski diakuinya jauh dari mudah untuk mewujudkannya. Titik nol Patjar Merah di gudang tua di Yogyakarta pada 2019, pembiayaannya dari merogoh kocek sendiri dan bantuan teman-teman komunitas.
Ia mengakui banyak pintu yang diketuknya untuk bekerja sama dalam Patjar Merah tertutup. Ada yang bahkan langsung menanyakan imbal balik atau hitungan bisnis. ”Kalau dipikir-pikir patah hatinya berulang kali.... Ya sudah, dikerjain saja nothing to lose,” ujarnya.
Mengenai lokasi acara, sebagian besar selalu digelar di tempat yang tadinya tak terurus karena lagi-lagi menyesuaikan dengan kondisi biaya. Seperti saat di Solo tahun lalu, Patjar Merah digelar di Ndalem Joyokusuman. Bangunan dengan pendopo dan halaman berpohon-pohon besar yang asri, tapi lama tak digunakan.
Windy dan teman-teman berhari-hari membersihkannya, mencabuti rumput, memetakan aliran listrik, dan menyikat kamar mandi agar layak digunakan. ”Baru kali ini (di Pos Bloc), sudah mapan,” guraunya.
Respons bagus dari publik menjadi bahan bakarnya untuk terus bergerak. Seperti di Solo, teman-teman dengan disabilitas mengucapkan terima kasih karena dilibatkan.
Begitu pula di Malang yang melibatkan teman-teman tuli berupa mendongeng dengan bahasa isyarat. Ada 200 orang yang datang di sebuah bioskop tua yang sudah terbengkalai. ”Bayangkan kamu hanya akan melihat satu area pasar buku segitu luas, hening, tapi kamu melihat jari-jari di atas bergerak (melakukan bahasa isyarat). Semua itu kenangan baik sekali yang kayak gila, ya, manusia itu terhubung lewat bahasa dan bahasa itu enggak harus terucap,” ujarnya.
Kini, giliran anak-anak yang memeluk erat Windy karena diterima dengan apa adanya.
Butuh perjalanan panjang mengetuk semua pintu untuk menyadari betapa pentingnya literasi. Sebab, bisa jadi memori baik tentang literasi belum sempat mampir dalam kehidupan yang memilih pintunya tetap terkunci dan enggan berkolaborasi. Namun, patah hati bukan berarti berhenti demi regenerasi literasi.
Windy Ariestanty
Lahir: 3 April 1979
Pendidikan:
Ilmu Administrasi Negara-Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya