Kegilaan Soleh Solihun
Kegugupan melanda Soleh Solihun saat tampil di layar kaca. Ia pun tak mampu menepis grogi saat siaran radio perdananya.
Soleh Solihun (45) memang gila. Setidaknya, itu tak disangkal sang komika, aktor, dan sutradara. Ia sudah piawai bikin pegal rahang teman-temannya lantaran tertawa sejak kuliah. Buletin garapan Soleh saja memicu sebagian mahasiswa mencak-mencak, tetapi tak urung juga mereka mengulum senyum.
Soleh duduk santai di sofa empuk. Di rumahnya yang nyaman, ia tengah bercengkerama dengan anak-anaknya yang sedang menonton video kocak. Ruang tamu sesekali meriah oleh tawa terpingkal-pingkal anak-anak itu diselingi jeritan memanggil ayahnya ketika mendapati adegan komedi.
Piringan hitam, cakram kompak (CD), sampai kaset tertata rapi di lemari, lengkap dengan pemutarnya. Ia punya lebih dari 500 piringan hitam. Soleh menunjukkan piringan hitam To the so Called the Guilties (1967). Album Koes Bersaudara tersebut tergolong langka.
”Sebenarnya, vinil Indonesia jarang gue beli soalnya sedikit dan mahal. Gue suka bandnya jadi masuk koleksi,” ucapnya, Sabtu (22/6/2024). Soleh juga berburu kaset-kaset Iwan Fals sebelum bergabung dengan label mayor yang termasuk incaran penggemar fanatiknya.
Musisi kawakan itu masih menggenjreng gitar kopong dengan pengarah musik seadanya. Soleh memang mengagumi penyanyi tersebut karena karya-karyanya yang bersahaja, tetapi bernas. Sementara rak-rak memajang deretan figur aksi pemusik dunia, macam John Lennon, Iggy Pop, dan Sid Vicious.
Di ruang kerja sekaligus ruang hiburan itu, dindingnya turut disesaki mobil-mobilan, lukisan wajah Soleh karya Sujiwo Tejo, dan sejumlah poster vokalis dunia. Penyetel kaset, cakram kompak, hingga piringan hitam masih lengkap bertengger di atas lemari.
Musik memang tak bisa dilepaskan dari Soleh, mulai dari pakaian, buku, hingga pemikirannya. Cakram kompak koleksi warga Limo, Depok, Jawa Barat, tersebut berjumlah 400 keping dan kaset mulai peninggalan zaman kuliah sekitar 300 buah.
Geliat semasa mahasiswa memang jadi kawah penggodokan yang mengasah bakat cuap-cuap Soleh hingga menuai ketangkasannya saat ini. ”Gue memang berkembang waktu kuliah. Kayaknya kebentuk jati diri gue di kampus, gitu. Ketemu apa yang gue mau,” ujarnya.
Dibuat geregetan
Soleh kemudian mengenang saat SMA yang dilakoninya selaku murid biasa-biasa saja. Nyaris tiada hari tanpa terbenam dalam padatnya ekstrakurikuler, termasuk setiap Minggu. Banyak temannya yang tak percaya kalau ia ikut paskibra, bahkan ia pernah terpilih sebagai ketua Merpati Putih.
Meski energi Soleh nyaris habis, hasrat untuk kongko-kongko hingga larut malam tak pernah padam yang menyuburkan bakatnya melontarkan cerocosan. Berlanjut kuliah, ide nyeleneh berkali-kali meronta dalam benak pengagum Deddy Mizwar, Slank, dan Edgar Wright itu.
Ia dan rekan-rekannya menerbitkan Karung Goni. Antitesis dari pers kampus yang serius, mereka malah membahas kabar, ungkapan, dan gosip terkini yang menjadi akronim dari nama buletinnya. Alhasil, tak sedikit teman-teman seangkatan, bahkan kakak tingkat Soleh, yang dibuat geregetan.
”Ada kolom Cot & Bacot soal gosip mahasiswa yang deketin gebetannya. Bukan nama, tetapi inisial dan jurusannya saja,” katanya sambil terbahak. Posisi Soleh tergolong mentereng sebagai redaktur pelaksana Karung Goni yang menurunkan tulisan-tulisan ringan seputar kampus, tetapi mengena.
Tiras perdana sekitar 500 eksemplar langsung ludes dalam dua jam. Pernah, media tersebut mengulas toilet-toilet paling strategis supaya tidak malu diketahui teman-temannya jika hendak buang air besar. Kolom lain seperti Karung Zodiac dengan ulasan asal, tetapi kocak.
Soleh semakin menemukan kanal untuk ngocol-ngocol sewaktu terpilih menjadi komentator kompetisi sepak bola di fakultasnya. ”Gue pilih komunikasi soalnya nonton tokoh wartawan dalam Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Kayaknya gagah. Pakai motor, helm cakil, dan jaket,” ujarnya.
Selepas kuliah, Soleh melaju di jalurnya sebagai jurnalis majalah musik anak muda, tahun 2004. Selang setahun, ia beralih ke majalah pria dewasa yang kantornya sempat digeruduk rombongan ormas. Ia menjadi juara pertama Anugerah Adiwarta Sampoerna 2007 berkat artikel ”(ak.’sa.ra): skrg”.
”Kategorinya feature seni dan budaya. Artikel gue memotret kaum hipsters di Jakarta,” kata Soleh tentang penghargaan pertamanya itu. Artikel lain, ”Menunggu Matinya Majalah Musik”, juga berhasil menembus final dengan kategori yang sama.
Kancah berikutnya di majalah Rolling Stone Indonesia mulai tahun 2008, Soleh kian matang sebagai pewarta dengan karakter tulisan yang kuat. ”Gue paling berkembang waktu di Rolling Stone. Enggak sulit lagi nulis panjang, tetapi mengalir dan dalam,” katanya.
Soleh pun menjajal kemahirannya yang lain. Ia siaran di stasiun radio swasta setiap pagi pada 2010-2014 meski belum berpengalaman. ”Nah, kegilaan gue juga, tuh. Siaran langsung prime time (jam utama). Pasti grogi, ngomong sempat berlepotan,” ujarnya seraya nyengir.
Bertahan hidup
Lebih-lebih, Soleh dipercaya memandu release party atau perayaan kecil-kecilan setiap Rolling Stone Indonesia meluncurkan edisi terbarunya. Ia mulai menyadari talentanya sewaktu mendapati lelucon yang acap kali disambut meriah. Dunia komika pun mulai dirambah.
Soleh memulai debutnya di televisi tahun 2011 setelah ditawari produser yang menyaksikan kelihaiannya saat release party. ”Gue juga pernah pasang video di Youtube. Motifnya sederhana. Ada honornya, ya, gue maulah,” ucapnya diikuti gelak.
Maklum saja, selama hampir 10 tahun, gaji Soleh selalu pas-pasan hingga tak bisa menabung. Ia tak memahami penyebabnya mampu bertahan. ”Naluri bertahan hidup saja. Makanya, kalau diajak ke kafe, gue nolak. Pilih makan di warteg,” katanya.
Kegugupan tak pelak melanda Soleh saat tampil di layar kaca. Ia komika pertama yang tampil dalam episode perdana pula. ”Programnya juga termasuk paling awal, jadi belum ada pembanding. Syukurlah, pemasukan lama-lama nambah. Gue bisa nyicil rumah mulai tahun 2011,” ujarnya.
Soleh lalu beranjak menunjukkan poster Cinta Brontosaurus, lompatan selanjutnya dengan menapaki layar lebar. Sekali lagi, ia nekat tanpa pernah mencicipi asam garam dunia akting. Adegan diulang-ulang, dilihat banyak orang, dan berinteraksi dengan pemain lain yang biasanya melawak sendiri.
Soleh tancap gas untuk menimba pengalamannya dengan menyutradarai lewat Mau Jadi Apa (2017), Reuni Z (2018), Star Syndrome (2023), hingga Harta Tahta dan Raisa (2024). ”Gue mengalir. Enggak mikir yang berat-berat. Gue anggap rezeki saja,” ujarnya.
Ia juga dikenal tergabung dalam klub beranggotakan 13 pesohor yang gemar mengemudi sepeda motor, The Prediksi. Pertemanan yang sungguh menyenangkan. ”Selalu ketawa. Kalau sudah ngumpul, yang lain jauh lebih lucu. Gue enggak ada apa-apanya,” ucapnya sembari terkekeh.
Soleh Solihun
Lahir: Bandung, Jawa Barat, 2 Juni 1979
Pendidikan:
- SD Negeri Kalapanunggal 4, Bogor, Jawa Barat
- SMP Negeri 1 Cibinong, Bogor, Jawa Barat
- SMA Negeri 3 Bogor, Jawa Barat
- S-1 Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran