Samsul Bahri, Kesatria Penjaga Mangrove di Bengkalis
Sejak 24 tahun lalu, Samsul Bahri tekun menanami mangrove. Ketekunannya itu bisa menangkis abrasi.
Ketekunan Samsul Bahri (56) dalam menjaga mangrove berbuah anugerah. Lahan yang semula rusak tergerus abrasi kini hijau ditumbuhi hutan mangrove nan lebat. Warga yang berada di sekitar Samsul pun menuai berkah dan mulai menyadari pentingnya mangrove bagi kehidupan.
Rabu (10/7/2024), Samsul mengajak para peneliti dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mendatangi hutan mangrovenya yang terletak di Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis, Riau. Hutan mangrove itu tampak sangat lebat dengan ditumbuhi 27 jenis tanaman mangrove. Tanaman itu antara lain mangrove api-api (Avicennia spp), mangrove pepada, bakau (Rhizophora sp), dan nyirih (Xylocarpus spp).
Rimbunnya hutan mangrove di wilayahnya tidak lepas dari ketekunan Samsul dan sang ayah, Cipto, yang sejak tahun 2000 sudah menanam berbagai jenis tanaman mangrove. Alasannya karena saat itu, rumah yang keluarganya tempati sering mengalami banjir rob. ”Bencana itu selalu berulang karena para tetua dulu menjadikan hutan mangrove sebagai tempat menanam pohon kelapa,” katanya.
Aktivitas itu membuat daratan tidak memiliki tameng untuk menangkis serangan gelombang. Alhasil, banjir rob pun terus terjadi. Samsul dan warga terpaksa harus pergi menjauh dari laut untuk menghindari banjir rob susulan.
Baca juga: Pelestarian Mangrove dengan Metode Rumpun Berjarak Diterapkan di Riau
Risiko banjir rob di wilayahnya tergolong sangat tinggi mengingat desa yang kini ditinggali sekitar 1.300 jiwa itu berbatasan langsung dengan Selat Malaka. ”Jika dalam cuaca ekstrem, ketinggian gelombang di Selat Malaka bisa mencapai 3 meter,” katanya.
Oleh sebab itu, Samsul dan sang ayah secara rutin mengambil bibit mangrove dan menyemainya, lalu ditanam dengan jarak antarpohon sekitar 2 meter. Kebiasaan ini terus ia lakukan hingga tidak ada lagi ruang untuk menanam mangrove. ”Sekarang mangrove tersebut sudah bisa tumbuh secara alami,” kata Samsul.
Untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya mangrove, Samsul mengajak serta para warga untuk turut menanam dan menjaga mangrove. Samsul menaungi warga itu dalam kelompok yang bernama Belukap. ”Di awal, jumlah orang yang bergabung dalam Belukap hanya 20 orang. Kini jumlahnya terus bertambah,” katanya.
Dalam prosesnya, Samsul juga bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk lembaga swadaya masyarakat yang turut mendampingi kelompok masyarakat untuk menanam mangrove.
Pada 2010, misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan program kebun bibit rakyat (KBR). Dalam program yang berjalan hingga 2014 itu, kelompok masyarakat memperoleh bantuan bibit mangrove untuk lahan seluas 10 hektar.
Bantuan kembali datang pada tahun 2016, saat itu Dinas Kelautan dan Perikanan Riau memberikan bantuan bibit mangrove untuk ditanami di atas 8 hektar lahan. Begitupun seterusnya berbagai bantuan berdatangan. Namun, ada juga mangrove yang ditanami secara swadaya.
Setelah 24 tahun berlalu, seluas 40 hektar lahan mangrove yang ada di desanya sudah rimbun, beragam bantuan lain yang masih berdatangan ia alihkan ke kelompok masyarakat yang lain. ”Karena di desa lain masih banyak lahan mangrove yang gundul,” katanya.
Baca juga: Suku Asli di Bengkalis Diajak untuk Menjaga Mangrove
Beragam tantangan
Samsul mengakui, ketika pertama kali memulai usaha untuk menanam mangrove, beragam tantangan menghadang. Tantangan itu mulai dari industri panglong arang yang terus mengintai kayu mangrove, termasuk warga yang ngeyel ketika diperingatkan untuk tidak menebang hutan mangrove.
Samsul teringat, sekitar tahun 2008, masih ada lima panglong arang yang beroperasi di sekitar Sungai Kembung. Keberadaannya berbatasan dengan kawasan mangrove yang sedang ia tanami. Panglong arang pun menjadi ancaman lantaran dalam satu bulan, satu panglong arang bisa memproduksi sekitar 30 ton arang.
Dengan produksi arang sebegitu besar, itu berarti puluhan bahkan ratusan hektar lahan mangrove pun terancam dirambah. Panglong arang itu bermunculan karena adanya peluang pasar. Arang yang diambil dari Desa Teluk Pambang juga dipasarkan ke Malaysia hingga ke Singapura. Jika di dalam negeri arang itu dihargai Rp 9.000 per kilogram, sampai ke Malaysia harganya melonjak hingga Rp 15.000 per kg.
Khawatir dengan keberadaan panglong arang, pada tahun 2008, Samsul mengusulkan KLHK untuk mencabut izin operasional industri panglong arang. ”Seminggu setelah usulan itu dilontarkan, kelima panglong arang itu pun tutup,” kata Samsul.
Namun, ancaman perambahan masih saja terjadi karena di desa lain puluhan panglong arang dengan kapasitas yang lebih kecil, yakni 4 ton per bulan, masih tetap beroperasi. Tak heran, beberapa warga yang terdesak kebutuhan hidup akhirnya harus menebang hutan bakau, termasuk di kawasan yang sedang ia tanam.
”Bahkan, akhir-akhir ini, ada warga yang menebang kayu dengan menggunakan mesin gergaji,” katanya.
Karena itu, sejak 2023, Samsul bersama warga telah membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang di dalamnya juga terdapat tim pengawasan yang secara rutin berpatroli menyusuri Sungai Kembung bahkan sampai ke pesisir pantai Selat Malaka. Tugas mereka adalah memastikan tidak ada warga yang merambah hutan mangrove.
Samsul juga mengajak warga Suku Asli yang tinggal di pesisir untuk bergabung dalam kelompok LPHD. Dulunya, warga Suku Asli turut menebang hutan mangrove untuk dijual dan digunakan sendiri guna membangun fondasi rumahnya.
”Harapannya, dengan melibatkan warga Suku Asli, mereka tidak lagi memiliki hasrat untuk menebang hutan mangrove,” ujarnya.
Sekarang ini, ujar Samsul, warga pun sudah menikmati hasilnya. Saat mangrove kembali lebat, satwa khas mangrove, seperti ikan, kerang, dan kepiting, tidak sulit lagi ditemukan.
Ke depan, Samsul berencana menyulap kawasan hutan yang mereka kelola itu menjadi tempat wisata yang mengundang banyak wisatawan. Dia berencana membuat hutan mangrove ini menjadi tempat perkemahan, memancing, tempat suvenir, dan sarana edukasi bagi siswa agar mereka mulai mencintai lingkungannya.
”Dengan begitu, warga sekitar bisa memperoleh manfaat ekonomi dari ekowisata ini,” kata Samsul.
Taufik Hidayat, peneliti mangrove dari YKAN, mengatakan, upaya konservasi mangrove harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya berfokus pada penanaman mangrove, tetapi juga menyentuh pada perbaikan hidrologi mangrove. ”Karena itu, dalam upaya pelestarian, keterlibatan masyarakat setempat sangat krusial,” katanya.
Dengan cara ini, Samsul yakin warga sekitar mangrove akan tetap sejahtera, mangrove pun lestari. Saat ini, upaya restorasi lahan mangrove sedang dilakukan di bibir pantai yang berada di Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis. Di sana timnya telah menanam tumbuhan mangrove dengan pola rumpun berjarak.
Pola ini diterapkan dengan membuat lahan penanaman mangrove yang dikelilingi pagar bambu dengan ukuran setiap rumpun selebar 2,5 meter dan panjang 10 meter.
Dalam pelaksanaannya, warga Desa Teluk Pambang diajak untuk turut menanam dan mengawasi pertumbuhan mangrove. Taufik meyakini, dengan mengajak warga terlibat dalam pelestarian mangrove, ke depan warga akan lebih siap untuk menjaga mangrovenya sendiri tanpa harus didampingi lagi.
Samsul Bahri
Lahir: Desa Teluk Pambang, 3 Juni 1968
Istri: Siti Wasiah (49)
Penghargaan: Lencana Lestari Bumi di tahun 2014 dari Pemprov Riau
Pendidikan: SD Negeri 19 Teluk Pambang (tidak tamat)