Diana Da Costa, Calistung bersama Anak Papua Selatan
Diana Da Costa adalah guru di kampung pedalaman Papua Selatan. Dia percaya pendidikan bisa mengubah kehidupan di sana.
Papua memanggil Diana Da Costa (28). Ketika orang ramai-ramai ke kota agar hidup enak, guru asal Nusa Tenggara Timur ini sibuk memberantas buta huruf di kampung pedalaman Papua Selatan. Ia pikir, anak-anak di sana berhak mengakses pendidikan dasar agar bisa mewujudkan mimpi.
Pada Oktober 2018, Diana menjejakkan kaki di Mappi, Papua Selatan. Meskipun tumbuh besar di Atambua, NTT, yang juga berada di timur Indonesia, perbedaan langsung terasa. Papua Selatan adalah daerah berawa dengan sedikit bukit. Fasilitas telekomunikasi dan transportasi di sana waktu itu masih sangat terbatas.
”Saya cukup kaget karena di Kepi, ibu kota Mappi, akses internet hanya pakai voucer Wi-Fi sejam Rp 20.000. Kalau di kampung-kampung, sinyal telepon dan internet baru masuk setelah tahun 2021. Jadi, kami dua tahun pertama di kampung tidak ada sinyal, harus ke kota dulu,” kata Diana di Jakarta, Jumat (5/7/2024).
Diana adalah satu dari ratusan anak muda yang pergi ke Papua setelah lolos seleksi Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) Kabupaten Mappi, Papua. Program ini merupakan program kolaborasi Universitas Gadjah Mada dan Pemerintah Kabupaten Mappi untuk mendatangkan guru ke sana. Di Mappi, guru itu selangka emas.
Pesan dari Bupati Kristosimus Yohanes Agawemu (periode 2017-2022) membekas di benak Diana sebelum dia mengabdi. ”Beliau malu menggaji kami Rp 4 juta sebulan karena tidak cukup untuk makan minum. Tetapi, beliau mengingatkan bahwa ini misi kemanusiaan dan rezeki Tuhan yang atur,” ujarnya.
Kampung Kaibusene, Haju, menjadi lokasi penempatan pertama Diana dan rekan-rekannya untuk mengajar di SD setempat. Kaibusene merupakan satu dari dua kampung terpencil di Mappi.
Selama ini, orangtua menganggap tanpa sekolah pun mereka sudah bisa cari makan sendiri karena alam sudah menyediakan. Tetapi, saya ingin sampaikan, ini bukan hanya tentang makan, tetapi mimpi lebih tinggi.
Di Kaibusene, awalnya Diana tinggal di rumah salah satu warga sebelum ada rumah dinas. Ketika musim hujan, perempuan ini mesti menggunakan perahu untuk ke sekolah. Karena untuk mendapatkan air bersih susah, ia sampai tiga kali sakit infeksi saluran kencing pada tahun pertama kerja. Kontrak Diana di kampung ini berlangsung selama 2018-2020.
Pada 2021, Diana melanjutkan kontrak di Kampung Atti, Minyamur. Waktu tempuh perjalanan dari Kota Kepi ke Kampung Atti bisa memakan waktu satu hari. Dari Kota Kepi, Diana harus naik mobil ke Pelabuhan Agham menuju Kampung Khaumi. Dari kampung itu, baru Diana berjalan kaki menuju Kampung Atti.
Di Atti, Diana tinggal di mes guru dalam area sekolah bersama dua rekan asal NTT, yakni Fransiska Bere dan Oktofianus Halla. Sesekali, mereka pergi ke kota untuk berbelanja bahan kebutuhan. Akan tetapi, warga juga kerap memberi hasil bumi atau pancing untuk makan guru sehari-hari.
Baca juga: M Yakub, Maestro Gambo Autodidak
Baik warga di Kampung Kaibusene maupun Kampung Atti berasal dari suku Wiyagar. Mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Laki-laki biasanya mencari gaharu, sedangkan perempuan memangkur sagu. Sementara anak-anak sejak kecil terbiasa bekerja mencari makan, misalnya memancing. Karena itu, langkah awal Diana adalah menjelaskan tentang pentingnya pendidikan.
”Selama ini, orangtua menganggap tanpa sekolah pun mereka sudah bisa cari makan sendiri karena alam sudah menyediakan. Tetapi, saya ingin sampaikan, ini bukan hanya tentang makan, tetapi mimpi lebih tinggi. Saya berusaha membentuk pola pikir bahwa keinginan mereka hanya bisa diperoleh lewat pendidikan,” kata Diana.
Mengajar calistung
Masalah di Kampung Atti sama dengan kampung lainnya. Sekolah tercatat memiliki guru, tetapi tidak ada yang mengajar. Di Atti, ada 80-an siswa yang selama setahun terakhir tidak belajar saat awal Diana masuk.
Diana mengajar Matematika dan Bahasa Indonesia kepada siswa kelas V dan VI di SD Negeri Atti. Biasanya, sebelum masuk kelas, Diana dan rekan guru lainnya menyempatkan waktu guna mengajar PPKn kepada seluruh siswa terlebih dulu.
Meski mengajar di kelas tingkat akhir, Diana mesti mengajar kembali dasar-dasar calistung (membaca, menulis, dan berhitung) karena pembelajaran sempat terputus. ”Fokus utama adalah memberantas buta huruf, bahkan setelah saya tujuh tahun di sana,” katanya.
Ketika mereka sudah lancar, baru Diana membahas materi lain sesuai kurikulum. Agar efektif, Diana menerapkan metode pembelajaran kontekstual. Misalnya, ia mengajarkan perbedaan herbivora, karnivora, dan omnivora menggunakan hewan di kampung, termasuk buaya. Dia juga mengasah wawasan dan keberanian siswa dengan wajib membaca buku di depan kelas.
Proses pembelajaran tidak selalu mulus karena perbedaan budaya. Diana mula-mula mesti mengajarkan mereka agar tidak menyapa orang yang lebih tua seperti teman sebaya dan mandi sebelum ke sekolah.
Pernah ada satu siswa yang ingin menombak Diana karena ditegur saat buang air sembarangan di kelas. Beruntung, siswa yang lain melindungi Diana. ”Sorenya, ayah dan kakeknya datang untuk minta maaf. Anaknya akhirnya sadar maksud saya baik dan sekarang dia sudah lulus sekolah,” ujar Diana.
Kerja keras Diana berbuah pada akhirnya. Setiap tahun, Diana bisa menghasilkan lulusan SD yang layak untuk melanjutkan SMP di kota. Sebanyak 24 siswa lulus pada 2022 dan 18 siswa lulus pada 2023. Tahun ini, empat siswa mengikuti ujian akhir.
Kampanye dan donasi
Di luar kesibukan mengajar, Diana menyisihkan waktu untuk menyuarakan kesetaraan pendidikan di Bumi Cenderawasih. Pada 2019, Diana mengirim surat terbuka melalui media sosial kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
”Untuk mengatasi buta huruf di pedalaman Papua, semua komponen masyarakat harus satu pikiran. Kalau masyarakat punya niat baik, tetapi pemerintah tidak ada orientasi, ya agak susah karena hal kecil seperti tidak ada buku dan pulpen saja bisa menghambat proses belajar,” ujar Diana.
Sejak 2021, Diana bersama rekan-rekan guru di Kampung Atti membantu menyalurkan donasi dari perusahaan, organisasi, atau individu dari dalam serta luar negeri yang tersentuh dengan kisah siswa pedalaman. Biasanya, Diana menerima donasi barang untuk keperluan sekolah atau sehari-hari. Mereka pernah menerima bantuan gawai dari perusahaan Astra dan buku-buku dari presenter Ivan Lie Kabul.
Baca juga: Theresia Dwiaudina, Dewi Kesehatan Desa Uzuzozo
Diana juga menghubungkan sejumlah siswa yatim piatu dengan orangtua asuh. ”Sampai awal Mei 2024, ada tiga anak yang mendapat orangtua asuh dari Eropa. Setiap bulan, orangtua asuh itu mengirim bingkisan untuk ketiga anak ini setelah berkomunikasi lewat bantuan telepon teman guru saya,” tutur Diana.
Diana senang dirinya bisa berkontribusi dalam membangun pola pikir baru anak-anak Papua soal cita-cita. Beberapa siswa sudah mencetuskan impian untuk menjadi perawat atau guru.
”Kalau bicara tentang Papua, hati saya selalu tergerak dengan sendirinya, makanya mau mengabdi di sana. Kasihan kalau semua orang berbondong-bondong ke kota, sedangkan tidak ada yang mau ke pedalaman Papua,” kata Diana.
Diana Cristiana Da Costa Ati
Lahir: Dili, Timor Leste, 12 Februari 1996
Pendidikan terakhir:
- S-1 FKIP Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Nusa Cendana, Kupang (2013-2017)
- Pendidikan Profesi Guru, Universitas Widya Dharma Klaten (2022-2023)
Prestasi:
- Guru Berprestasi Daerah 3T Tingkat Nasional, Telkom Indonesia, 2019
- Guru Honorer Inspiratif Tingkat Nasional, PGRI, 2019”
- Penerima Apresiasi Bidang Pendidikan 14th Satu Indonesia Awards, Astra, 2023