Susanto Zuhdi, Kembalikan Kejayaan Bahari Nusantara
Nawacita kembali ke laut masih jauh dari harapan. Kebijakan masih berorientasi darat dan mengikis peradaban bahari.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Sore itu, saat kapal layar KRI Dewaruci melintasi lautan sisi timur Sumatera, Susanto Zuhdi duduk di haluan sembari menikmati sinar Matahari terbenam pada pelayaran hari pertama Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024. Senyumnya merekah karena setelah puluhan tahun mendalami ilmu sejarah maritim, ia bisa berlayar bersama kapal layar nan legendaris milik bangsa Indonesia.
Guru Besar Emeritus Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini sudah berusia 71 tahun, ia hanya terpaut empat bulan lebih muda dibandingkan dengan KRI Dewaruci yang memperkuat ABRI (kini TNI) Angkatan Laut sejak 24 Januari 1953. Namun, umur hanyalah angka, keduanya masih bergairah menyusuri lautan jalur rempah di Indonesia.
Kita harus mengembalikan persepsi bahwa Indonesia ini disatukan oleh laut, bukan dipisahkan oleh laut.
Selama pelayaran dari dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (7/6/2024), menuju Belitung Timur, Bangka Belitung, Susanto selalu berkeliling menjelajahi kapal cagar budaya tersebut. Dia mendapatkan ruang tidur yang nyaman di ruangan dekat kamar komandan, tetapi ia selalu keluar ke setiap sudut kapal.
”Pelayaran ini semacam impian saya yang terwujud karena dulu saya berada di Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan menjadi Direktur Sejarah (2001-2006). Dulu saya buat program Arung Sejarah Bahari (AJARI) dan sekarang disempurnakan dalam MBJR dengan KRI Dewaruci yang luar biasa,” kata Susanto.
Perjalanan akademik Susanto seperti menapaki sejarah di samudra ilmu pengetahuan yang luasnya tak terhingga. Dia terkagum-kagum dengan kekuatan bahari Nusantara yang disegani dunia, berikut dengan ”wangi” rempah-rempah yang menjadikan jalur perdagangan terbentang dari Merauke hingga ke Sabang, lalu meluas ke dunia Barat.
Peradaban Laut Melayu bertumpu di perairan Selat Malaka yang berimpitan dengan Laut Nusantara. Perairan ini sejak awal milenia pertama telah berperan penting dalam pelayaran dan perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat, terutama perdagangan rempah.
Masa kegemilangan Laut Melayu Nusantara selama berabad berlangsung di bawah penguasaan Sriwijaya, Majapahit, Melaka, dan Johor-Riau yang tidak hanya menumbuhkan perekonomian, tetapi juga peradaban dan kebudayaan. Namun, masuknya bangsa Eropa, yakni Inggris di Malaysia dan Singapura serta Belanda di Indonesia, lambat laun mengakhiri kegemilangan peradaban Laut Melayu Nusantara.
Secuplik kisah itu diceritakan Susanto di geladak kapal kepada 29 anak-anak muda yang menjadi laskar rempah dalam pelayaran muhibah ini. Mereka duduk bersila, melingkar tanpa jarak. Hantaman ombak dan terik matahari tidak membuat semangat mereka luntur. Anak muda dari generasi milenial, Z, hingga Alpha ini tetap setia menyimak layaknya mendengarkan dongeng dari orang tua.
"Ada harapan saya suatu saat ketika mereka menjadi pemimpin atau orang-orang berpengaruh, mereka membuat kebijakan untuk menyebarkan ajaran bahari dan kekuatan bahari kita akan kembali berjaya,” ucapnya.
Terlalu darat
Harapan Susanto pada anak-anak muda ini bukan tidak berdasar. Dia resah melihat pemerintahan di era modern ini yang hanya berfokus pada darat. Pembangunan jalan tol darat lebih masif daripada tol laut, kapal dan dermaga penghubung antarpulau masih kurang, hingga armada TNI AL yang begitu-begitu saja.
Salah satu kebijakan yang terlihat adalah perihal pembagian anggaran pada tiga matra TNI untuk tahun 2025. Dari total Rp 155 triliun yang diajukan Kementerian Pertahanan, Angkatan Laut hanya mendapatkan Rp 20 triliun, Angkatan Udara Rp 18 triliun, dan terbesar masih untuk Angkatan Darat Rp 54 triliun.
Kebijakan-kebijakan dengan orientasi darat turut mengikis kebudayaan bahari masyarakat hari ini. Pasar-pasar terapung di sungai kian ”tenggelam”, reklamasi semakin merusak alam bawah laut, hingga seni tradisi orang laut yang mati pelan-pelan.
”Nawacita untuk kembali ke laut masih sebatas jargon semata. Kita harus mengembalikan persepsi bahwa Indonesia ini disatukan oleh laut, bukan dipisahkan oleh laut. Ini pekerjaan rumah untuk presiden yang akan datang,” tutur Susanto.
Pelayaran MBJR 2024 diikuti oleh 79 laskar rempah yang dibagi dalam tiga kelompok pelayaran. Selama 38 hari dari 5 Juni sampai 17 Juli 2024 mereka akan berlayar menapaki tujuh titik jalur rempah Sumatera, mulai dari Jakarta, Belitung Timur, Dumai, Sabang, Malaka, Tanjung Uban, Lampung, lalu kembali ke Jakarta.
Setiap laskar rempah ditugaskan untuk membuat konten di media sosialnya untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat tentang jalur rempah dan kekuatan bahari Tanah Air. Ini menjadi bagian dari upaya Indonesia mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Targetnya, pengajuan itu bisa didapatkan pada 2024.
Susanto Zuhdi
Lahir: Banyumas, Jawa Tengah, 4 April 1953
Pendidikan:
S1 - Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1972-1979)
S2 - Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (1988–1990)
S3 dan Guru Besar Ilmu Sejarah-Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2005).