Resonansi Rasa Pat Boonnitipat
Sutradara Pat Boonnitipat membuat film yang sukses, ”How To Make Millions Before Grandma Dies”. Seperti apa sosoknya?
Tujuan berkarya Pat Boonnitipat (33) adalah untuk berbagi rasa. Sutradara asal Thailand ini mewujudkan impian tersebut dalam film Lahn Mah atau How To Make Millions Before Grandma Dies (2024). Cerita soal cinta tulus keluarga menyentuh hati penikmat sinema di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dengan senyum hangat, Boonnitipat menyapa awak media yang berkumpul di Falcon Pictures, Jakarta, Sabtu (25/5/2024). Matanya menyapu kerumunan. Sesekali, ia membuat simbol V dengan jari ke arah kamera yang sibuk mengabadikan dirinya.
Boonnitipat yang pernah berkunjung ke Bali semasa kecil untuk kali pertama menghirup udara panas Jakarta. Kehadiran sutradara muda ini di kota metropolitan ini terjadi setelah film panjang debutnya, How To Make Millions Before Grandma Dies, meraih lebih dari satu juta penonton di Indonesia.
“Saat terbang ke sini, aku merasa gugup. Namun, ketika melihat mata orang-orang, aku bisa merasakan kehangatan dan merasa seperti di rumah. Terkadang aku berpikir untuk berbicara dalam bahasa Thailand di sini,” kata Boonnitipat sambil tertawa kecil.
Pembawaan Boonnitipat tenang, tetapi santai. Dalam bahasa Inggris, ia menjawab lugas pertanyaan bertubi atas keberhasilan filmnya. Apabila mendapat pertanyaan menantang, ia diam sejenak untuk merenung. Terkadang kalimat yang keluar dari mulutnya terasa filosofis.
Ketika pertama aku menerima cerita itu, hatiku terenyuh.
Intinya, Boonnitipat bahagia sekaligus kaget saat film itu laku keras di Indonesia. Sampai-sampai ia menerjemahkan komentar apresiasi di media sosial satu per satu dengan Google Translate.
How To Make Millions Before Grandma Dies merupakan film drama yang membahas dinamika keluarga Thailand keturunan Tionghoa di Talat Phlu, Bangkok. Cerita film ini menyoroti seorang cucu laki-laki bernama M yang mengincar warisan neneknya, Amah, yang tengah sekarat karena kanker.
Boonnitipat menggarap skenario film itu bersama Thodsapon Thiptinnakorn sekitar dua tahun. Rupanya Thiptinnakorn terinspirasi dari nenek sendiri yang terkena kanker dan menjual bubur. Ada sekitar 100 draf skenario yang mereka tulis. ”Ketika pertama aku menerima cerita itu, hatiku terenyuh,” ujarnya.
Riset mereka tak tanggung-tanggung. Boonnitipat pindah kembali tinggal dengan neneknya. Dia berusaha memahami sudut pandang generasi tua dalam mengekspresikan cinta, seperti kebaikan di balik sikap sarkastik sang nenek.
Boonnitipat memilih aktor Putthipong Assaratanakul atau Billkin sebagai M dan Usha Seamkhum yang baru memulai debut aktris sebagai Amah. Billkin yang ceria ternyata nyambungdengan Amah. Begitu cerita matang, Boonnitipat dan tim melakukan lokakarya bersama pemain selama setengah tahun lalu lanjut persiapan shooting selama dua bulan. Shooting berjalan 25 hari.
Sejak kunjungan Boonnitipat ke Jakarta, How To Make Millions Before Grandma Dies terus mencatat rekor baru. Klik Film sebagai distributor, per 6 Juni melaporkan pencapaian 3,04 juta penonton setelah 22 hari tayang. Film ini menjadi film impor Asia non-animasi peringkat pertama di Indonesia, diikuti Exhuma (2024) dan The Medium (2021).
Baca juga: Melati Wijsen, Pertiwi di Hati Melati
Respons positif turut muncul di Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. ”Reaksi orang-orang memberiku harapan bahwa meskipun berbeda, kita mencintai, menderita, dan memahami hal yang sama,” ujar Boonnitipat.
Angin segar
Lewat How To Make Millions Before Grandma Dies, Boonnitipat merefleksikan realitas keluarga Tionghoa kontemporer di Thailand. Nilai dalam keluarga berbenturan dengan zaman. Ada nilai yang hilang, ada pula yang bertahan.
Dalam film, perubahan terlihat pada struktur keluarga China-Thailand yang bergeser dari vertikal menjadi horizontal. Keluarga besar yang biasa menetap bersama kini tinggal terpisah-pisah. Alhasil, transfer pengetahuan lintas generasi terputus. Anak dan cucu kehilangan identitas, tradisi, serta tujuan hidup, sedangkan orangtua hidup bahkan bisa mati sendirian.
Baca juga: Film ”How To Make Millions Before Grandma Dies”, Realitas Keluarga Kontemporer
Namun, nilai patriarkis dalam keluarga masih berakar kuat. Anak laki-laki terus mendapat perlakuan baik ketimbang anak perempuan sehingga trauma generasi berlanjut.
”Bagiku, banyak nilai dari budaya lama yang mempunyai hal baik, tetapi ada juga yang membuat generasi berikutnya menderita. Namun, ketika nilai-nilai itu berubah, perubahan yang terjadi bukanlah perubahan yang direncanakan, jadi sistem itu rusak lagi,” tutur Boonnitipat.
Banyak lagi hal yang Boonnitipat utarakan dalam film itu. Refleksi yang lebih luas juga tersiratkan, umpamanya, soal kesenjangan jender di kerja perawatan dan fenomena susahnya anak muda mencari kerja formal. Di Indonesia, isu ini juga sedang hangat-hangatnya, apalagi seusai pandemi.
Karya Boonnitipat adalah angin segar untuk sinema Thailand dan Indonesia. Di dua negara ini, genre horor merajai bioskop sepanjang tahun. Jenuh, memang. Mungkin ini salah satu penyebab film drama keluarga ini sukses.
Bagiku, banyak nilai dari budaya lama yang mempunyai hal baik, tetapi ada juga yang membuat generasi berikutnya menderita. Namun, ketika nilai-nilai itu berubah, perubahan yang terjadi bukanlah perubahan yang direncanakan, jadi sistem itu rusak lagi.
”Studio-studio film berusaha membuat film yang tidak membuat mereka bangkrut. Tetapi, aku rasa penonton sebetulnya pintar. Meski mereka tidak bisa mengerti mengapa suatu film baik atau buruk, mereka bisa merasakannya,” kata Boonnitipat.
Terlebih, Boonnitipat meyakini film Thailand dan Indonesia punya daya jual tinggi. Budaya di kedua negara kompleks sehingga konflik kerap menerjang. Sedikit tragis, tetapi ini sumber cerita menarik. ”Semoga film ini bisa mendorong sineas lain membuat film yang betul-betul beresonansi dengan kehidupan, terlepas dari genre yang sudah sukses sebelumnya,” ujarnya.
Film Jepang
Niat menjadi pembuat film awalnya tidak muncul di benak Boonnitipat. Ketika belajar tentang pemasaran media di Chulalongkorn University pada 2009, ia bergaul dengan teman-teman yang belajar film. Boonnitipat jadi tertarik ikut sampai rela bolos kelas.
Boonnitipat memulai kiprah sebagai sinematografer, tetapi sadar tidak berbakat. Peluang terbuka ketika Boonnitipat bekerja sama dengan Songyos Sugmakanan selaku asisten sutradara setahun. Sugmakanan merupakan sutradara serial Hormones (2013–2015). Sejak itu, ia terpikat pada penyutradaraan.
Boonnitipat lalu membuat film dokumenter yang menarik perhatian studio GDH 559. Ia mendapat kesempatan untuk menggarap serial televisi, Project S: Skate Our Souls (2017).
Bukan Boonnitipat namanya kalau tidak suka tantangan. Pemuda ini menyanggupi untuk menyutradarai serial Bad Genius (2020). Pada masa itu, banyak sutradara menolak karena serial ini adaptasi dari film populer berjudul sama. Ekspektasi publik terlalu tinggi. ”Setelah itu, studio ingin aku membuat film dan di situlah aku mendapat kesempatan ini,” tuturnya.
Saat membuat film, aku ingin menggambarkan perasaan, emosi manusia. Aku ingin berbagi pengalaman baik yang aku rasakan dari tempat lain ke penonton dan orang-orang yang tidak punya kesempatan yang sama.
Sinema Jepang menginspirasi cara Boonnitipat bercerita. Dia menyukai film-film dari sutradara senior, sebutlah The Mourning Forest (2007) oleh Naomi Kawase, Pastoral: To Die in the Country (1974) oleh Shuji Terayama, dan The Ballad of Narayama (1983) oleh Shohei Imamura.
”Aku sangat suka narasi film-film Jepang. Dibandingkan dengan film-film Gelombang Baru Perancis, aku rasa sinema Jepang itu berada di antara film arthouse dan film komersial sehingga film bisa tetap menghibur sekaligus menciptakan hal baru untuk sinema,” kata Boonnitipat.
Boonnitipat punya kenangan manis perkara film The Mourning Forest. Suatu hari, ia bersama keluarga berjalan-jalan di sebuah mal di Bangkok. Kebetulan sedang berlangsung sebuah festival film yang merayakan sutradara perempuan Jepang, termasuk Naomi Kawase.
Keluarga Boonnitipat membeli tiket untuk menonton. Namun, karena takarir berbahasa Spanyol, mereka batal menonton, kecuali Boonnitipat. Boonnitipat jatuh cinta dengan film itu. Walau tidak mengerti dialognya, dia menciptakan narasi sendiri tentang film itu.
Baca juga: Figur: Minikino Setelah Dua Dekade
Setelah film berakhir, ada emosi kuat tumbuh dalam hatinya. Perasaan itu berbeda dari yang biasa Boonnitipat peroleh saat dirinya membaca buku, mendengarkan musik, atau membuat puisi. Itulah pengalaman hidup yang memengaruhi motivasinya membuat film.
”Saat membuat film, aku ingin menggambarkan perasaan, emosi manusia. Aku ingin berbagi pengalaman baik yang aku rasakan dari tempat lain ke penonton dan orang-orang yang tidak punya kesempatan yang sama,” tutup Boonnitipat.
Pat Boonnitipat
Lahir: Bangkok, 18 Juni 1990
Pendidikan: S-1 Fakultas Seni Komunikasi Chulalongkorn University (2009-2013)
Karya, antara lain:
Film Lahn Mah atau How To Make Millions Before Grandma Dies (2004)
Serial Bad Genius (2020)
Serial Project S: Skate Our Souls (2017)