Iwan Fals: Sekarang Lebih Lantang
Musisi Iwan Fals bersiap menyusuri 25 kota lewat acara Gaung Merah Segalanya yang dimulai 8 Juni nanti.
Tak ada matinya. Hal itu menggambarkan sosok Virgiawan Listanto (63) yang populer dengan nama Iwan Fals. Sejak 1970-an hingga kini, ia terus aktif mewarnai musik Indonesia dengan lagu-lagunya yang menyentuh hati dan relevan dengan kondisi sekitarnya.
Semua berawal ketika Iwan bersekolah di Bandung. Ia mulai ngamen kala itu dengan lagu-lagu yang telah diciptakannya sendiri. Walau sesekali ia juga membawakan lagu milik The Rolling Stones.
Dari sebuah radio milik Institut Teknologi Bandung, Iwan dijumpai Bambang Bule untuk rekaman. Album Amburadul (1975) direkam saat itu, tetapi tidak laku. Berlanjut ke festival lagu humor yang setelahnya membuat lagu Iwan direkam oleh ABC Records. Lagi-lagi pendengarnya masih terbatas di kalangan anak muda.
Pada 1981, namanya kian naik melalui album Sarjana Muda yang di dalamnya terdapat lagu ”Guru Oemar Bakri”. Saat itu, Iwan masuk Musica Studio ditangani Willy Soemantri. Album demi album rutin keluar. Ia pun mulai tampil di televisi.
Kepekaan pria yang aktif karate dan pernah melatih ini pada sekitar membawanya pada syair yang humanis dibalut dengan pemilihan kata yang kadang satir, kadang juga terang-terangan. Seperti ”Guru Oemar Bakri”, misalnya, liriknya sederhana, tetapi mengena, yakni tentang guru dengan gaji tak seberapa, tetapi terus mendapat potongan, sedangkan tugasnya betapa berat mendidik anak negeri.
Ada juga ”Kereta Tiba Pukul Berapa” dari album Sumbang (1983). Di tengah cerita tidak sabar menunggu kedatangan kawan karibnya dalam lagu tersebut, ia juga menyinggung tentang polisi yang akrab dengan negosiasi bayaran ketika menilang orang.
Baca juga: Iwan Fals, Siap Sampaikan Pesan di 25 Kota
Orde Baru yang cukup ketat pada masa itu merasa terganggu. Jadwal konser Iwan dilarang dan dibatalkan. Bengkel Teater WS Rendra beralih menjadi tempatnya berekspresi. Selanjutnya, ia bergabung dengan Swami bersama Sawung Jabo. ”Bento” dan ”Bongkar” menjadi hit yang sampai sekarang melegenda.
Masih bersama Jabo, ia juga memperkuat Kantata Takwa pada 1990. ”Kesaksian” merupakan salah satu lagu yang mencuri perhatian. Tahun-tahun setelahnya, lagu-lagu Iwan sedikit bergeser lebih puitis dan hangat. Bahkan, di album terakhir yang digarap juga bersama Jabo dan dirilis tahun lalu, lagu-lagunya bercerita tentang Sang Pencipta.
Sekelumit tentang transformasi yang senantiasa dijalaninya ini langsung dijawabnya ketika momen wawancara di Pos Bloc, Jakarta, dalam rangka rilis acara Gaung Merah, Kamis (30/5/2024). Berikut tanya jawab dengan Iwan.
Selama ini, Iwan Fals dikenal dengan lagu-lagu yang lantang, yang menyuarakan pendapat. Masih sepakatkah bahwa musik itu sebagai sarana untuk menyuarakan pendapat dan untuk menyerap aspirasi dari akar rumput karena lagu-lagunya sendiri dari dulu sampai sekarang masih relevan dengan kondisi yang terjadi di sekitar kita? Apakah semangat menyuarakan pendapat itu masih terus tumbuh?
Kalau bahasanya lantang, mungkin sekarang lebih lantang, lebih kencang gigitnya. Tapi, saya tahu diri. Banyak teman-teman sekarang, mereka pakar-pakar keluar di media. Ada pakar politik, budaya, macam-macam gitu. Wah, terima kasih Tuhan, jadi Kamu kasih kesempatan saya nyanyi-nyanyi.
Tapi, kalau soal lantang mungkin lebih lantang. Ya, karena udah enggak ada pikiran apa-apa. Anak sudah gede-gede, fans-nya mulai tumbuh, kadang ada fans yang bawa anaknya, cucunya. Kebetulan yang mendampingi saya, pemain drumnya anak saya, (bidang) kreatif mamanya sama Cikal. Jadi, alasan apa untuk enggak lantang? Kalau memang itu.
Tapi, saya dari dulu enggak pernah punya pikiran itu: lantang, kritis, pemberontak. Enggak ada pikiran saya semacam itu. Membawakan isi hati saja. Kalau ditafsirkan seperti itu ya monggo bahwa ”Yang Terlupakan, ”Mata Indah Bola Pingpong”, ”Ku Menanti Seorang Kekasih”, ”Kemesraan”, ”Izinkan Aku Menyayangimu” saya bawakan dengan lantang juga, gagah. Wong itu kenyataan juga, kok. Lagi pula, gimana kita bisa bertempur kalau enggak ada cinta?
Baca juga: ”Pun Aku”, Iwan Rasa Baru
Ini juga supaya kita bisa melahirkan generasi yang pemberani, generasi yang tahu diri, generasi yang tahu adab. Kalau enggak gimana? Cuma mengandalkan gereja, masjid, pura. ”Hiburan” itu penting juga untuk memberikan inspirasi, istilahnya edutainment.
Misal, eh, enggak semua tentara brengsek, lho, enggak semua polisi blangsak, enggak semua politisi bajingan. Ada kok yang baik-baik, di sekolah dipelajari semua. Semua kiai juga baik, pendeta baik, ya, hal-hal yang sederhana kayak gitu, tapi kadang kita takut menyuarakan itu, itu yang bikin kita terlambat maju. Dan konser menyala ini insya Allah membuka tabir itu walaupun sekarang udah terlalu terbuka juga, ya.
Iwan Fals banyak melakukan kolaborasi dengan musisi muda. Apa sebenarnya kriteria yang dipilih untuk kolaborasi, apakah karena benang merah semangat yang sama dan apakah nanti di Gaung Merah ada kolaborasi juga dengan musisi muda?
Anak muda mereka banyak tahu. Saya banyak belajar walau sering lupa juga. Saya diajarin bikin password, bahkan terakhir Tapera, UKT, Tapera Tabungan Perumahan Rakyat, ya, bukan tambahan penderitaan. Ha-ha-ha.
Terus ya seger aja, mungkin karena terlalu kepo, pengin muda terus, ya, dan wawasan mereka luas, sih, dari bermusik. Skill mereka juga luar biasa dan semangat untuk menyongsong hari depan. Kalau saya, kan, udah mulai turun, tiba-tiba ada anak muda yang mendorong-dorong. Jadi, saat saya sudah mulai nyaman, ada anak muda yang mendorong. Anak muda juga belajar kontrol karena emosinya masih meledak-ledak, ya. Kadang saya nanya ngapa, sih, mesti ngoyo. Mereka jawab enggak bisa, Om, tapi lama-lama turun. Kurang lebih gitu. Kangen juga sama teman-teman, di samping banyak yang sudah meninggal.
Terkait perkembangan musik di Indonesia saat ini, pasti beda jauh dengan saat awal Iwan Fals berkarier, baik dari segi musik, lirik, penggarapan, maupun semangat mereka, sehingga pola distribusi juga berbeda. Bagaimana pendapat tentang hal ini?
Setiap zaman punya persoalan sendiri, ya. Sekarang pilihan sound begitu beragam sekarang, ribuan. Terus sekolah-sekolah musik, di zaman saya ada satu atau dua dulu Yamaha, sangat sulit. Tetapi, mungkin karena dulu media sosialnya sedikit, jadi orang gampang ingat sama lagu itu. Kalau sekarang begitu banyak sound dan gampang memasarkannya kayaknya cepat naik juga cepat hilang. Berat pilihan-pilihannya begitu beragam. Persaingan juga otomatis, kan. Kalau enggak benar-benar menguatkan hati, gampang oleng.
Kalau zaman saya dulu masih bisa, ah, gue mau jadi wartawan, gue mau main musik, gue mau jadi atlet, saya sempat 10 tahun sampai ”Kemesraan” itu saya masih bisa milih-milih yang lain. Mau jadi penulis, mau jadi atlet, mau jadi apa. Baru setelah ”Kemesraan” di sini saya ternyata musik saja. Kalau anak saya enggak bisa gitu, anak saya itu main drum. Saya tanya mau lanjutin sekolah apa, terserah, eh mau main musik aja dia. Sekarang itu, lebih berani untuk memutuskan.
Kalau syair kayaknya lebih bagus yang sekarang ya ha-ha-ha. Semua orang jadi penulis di Facebook, Twitter, kata-katanya itu bagus-bagus, diksinya. Tapi, ya setiap zaman dulu lebih tahan mungkin karena enggak ada persaingan. Promosi juga cuma satu televisi, kalau sekarang semua orang punya televisi di handphone di tangannya.
Hal apa yang ingin dibawakan kepada generasi muda lewat konser?
Ya, keseharian, hidup sebentar ini kita berbuat baik. Kalau kita buat tabel baik dan jahat mana, sih, untungnya, lebih untung baik atau jahat, sih? Kalau banyakan baik, ya, selamat, kalau ternyata jahat, ya, masuk penjara dan masuk neraka. Jadi, kayak gitu, keseharian, mukjizat datang setiap hari, ketemu teman baru seperti sekarang saya ketemu sekarang itu hal yang perlu disyukuri.