Refol Malimpu, Panggilan Hati Mengajar di Pedalaman Papua
Bagi Refol, pendidikan moral juga penting untuk membentuk anak Papua yang tekun, ulet, dan berdedikasi bagi daerahnya.
Refol Malimpu (34), guru asal Poso, Sulawesi Tengah ini tidak menyangka bakal ditempatkan di pedalaman Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan. Kini sebelas tahun sudah Refol mengabdi di Tolikara. Dia tidak hanya mendidik tetapi juga berupaya meningkatkan gizi anak-anak didiknya.
Refol mulai mengabdi di Papua pada 2013, setahun setelah menyelesaikan pendidikan S-1 di jurusan Pendidikan Bahasa Perancis di Universitas Negeri Manado. Ia kemudian mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Kemendikbud.
Bersama empat rekannya, Refol ditempatkan di Kampung Anawi, Distrik Anawi, Kabupaten Tolikara. Saat itu, nama Tolikara masih asing di telinganya. "Saya tidak membayangkan akan ditempatkan di sana. Ada ragu bisa bertahan mengajar," kata Refol saat dijumpai di Jayapura, Papua, Rabu (15/5/2024).
Baca juga: Petronela Merauje, Ekspresi Perempuan dalam Menjaga Hutan Mangrove
Meski begitu, ia tetap berangkat dengan niat untuk mengabdi. Setelah sampai di sana ia langsung bergelut dengan masalah pendidikan dasa di sana, termasuk ketiadaan aktivitas belajar mengajar di sekolah-sekolah di banyak tempat di pedalaman Papua. Padahal anak-anak antusias untuk belajar. Mereka mau bersusah payah berjalan kaki hingga berhari-hari melewati hutan, bukit, dan lembah dari kampungnya menuju sekolah.
Salah satu masalah pelik adalah jarang ada guru yang mau ditempatkan di daerah pedalaman dan meninggalkan kenyamanan hidup jika tinggal di kota. Bayangkan saja, Kampung Mamit, Distrik Kembu, Tolikara, tempat Refol mengajar saat ini, berjarak 30 kilometer dari Karubaga, ibu kota Kabupaten Tolikara. Jarak itu ditempuh dengan ojek motor sekitar 2-3 jam lantaran jalannya rusak dan medannya sulit. Biaya ojek mahal, hingga 500.000 ribu sekali perjalanan.
Kalau seorang guru perlu membeli sesuatu seperti perlengkapan mengajar, dia mesti pergi ke Wamena (Kabupaten Jayawijaya) yang waktu tempuhnya bertambah 4-5 jam dari pusat kota Karubaga.
Persoalan-persoalan seperti itu menyadarkan Refol bahwa keberadaan guru di pedalaman seperti itu sangat dibutuhkan. Maka, dia dan teman-temannya menetapkan hati untuk mengabdikan diri menjadi guru di Tolikara agar anak-anak di sana bisa mengakses pendidikan.
Sayangnya, program SM3T yang ia ikuti hanya berlangsung satu tahun. Alhasil, pada 2014, Refol mesti terpaksa kembali ke Poso. Di Poso, ia memilih menuntaskan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Manado.
Kembali ke Tolikara
Waktu berjalan, Refol rindu pada anak-anak didiknya di Tolikara. Ia membayangkan anak-anak didiknya itu kemungkinan melewati hari-hari tanpa belajar yang efektif karena ketiadaan guru. “Sebelum kami datang, di sana hanya ada satu orang guru dan satu orang kepala sekolah. Ini membuat saya semakin terpanggil (kembali ke Tolikara," ceritanya.
Baca juga: Anak Putus Sekolah di Papua Mencapai 314.606 Jiwa
Saat sedang PPG, Refol dan teman-temannya mencoba mencari informasi tentang kemungkinan kembali mengajar di Tolikara. Sayangnya informasi itu tidak mereka temukan.
Pada akhir 2015, Refor dan teman-teman akhirnya memutuskan kembali ke Tolikara secara sukarela. Mereka merogoh kocek pribadinya untuk akomodasi ke Tolikara.
Pada 2016, Refol mendapat informasi ada program Gerbang Emas dari Pemprov Papua. Program itu membuka jalan bagi Refol dan beberapa temannya mengajar di kampung Anawi, Tolikara. Setelah beberapa bulan di sana, Pemkab Tolikara memindahkan Refol ke sekolah dasar di Kampung Mamit, Distrik Kembu, tempatnya saat ini mengajar. “Tetapi program Gerbang Emas hanya bertahan selama setahun. Pada 2017, karena kontrak itu sudah habis, teman-teman saya kembali ke kampung halaman masing-masing,” tutur Refol.
Saya bertahan di sana, kendati dengan kondisi yang bisa dibilang memprihatinkan.
Refol memutuskan tetap bertahan dan mengajar di Kampung Mamit. Selama beberapa bulan ia mengajar tanpa gaji. “Tuhan mungkin mau uji saya sejauh mana saya mau mengabdi, kendati tanpa mendapatkan upah,” katanya.
Kondisi serba kurang justru membuat tekad Refol untuk mengabdi dan memastikan anak-anak di pedalaman, semakin kuat. Meski begitu, ia tidak memungkiri mengajar tanpa fasilitas memadai dan tidak digaji, membuat ia sempat stres bahkan depresi.
Baca juga: Origenes Monim, Menjaga Daya Hidup Kebudayaan Sentani
Hal yang membuat dia kuat adalah ia tidak ingin larut dengan kondisi yang ada. Selain itu, ia mendapat dukungan penuh dari orangtuanya untuk bertahan dan mengabdi di Tolikara. Ia pun meneruskan aktivitasnya menggelar. Bahkan memperbanyak kegiatan bersama anak-anak didiknya. Ia misalnya memberi pelajaran tambahan bagi siswa.
“Saya bertahan di sana, kendati dengan kondisi yang bisa dibilang memprihatinkan. Namun, pada akhirnya pada 2018, Pemkab Tolikara memberikan lagi kontrak dan saya berstatus sebagai guru honorer lagi,” katanya.
Refol jadi tambah semangat. Pada tahun itu juga, ia menginisiasi taman baca. Kegiatan itu ia unggah di akun media sosial miliknya. Ia pun mulai mendapat bantuan buku dari relasi-relasinya. “Awalnya yang kirim dari dosen saya di Manado. Waktu demi waktu, semakin banyak yang mengirim buku, bahkan mereka juga mengirim pakaian, susu, hingga makanan kemasan,” ujar Refol yang semangatnya makin berlipat ganda ketika kakak perempuannya turut menyusul untuk mengajar di sekolahnya pada 2018.
Refol makin gencar membagikan kegiatan bersama anak didiknya di kanal media sosialnya bertajuk “Diary Guru Pedalaman”.
Saya ingat kata misionaris di kampung, jangan mengajari anak-anak mental ‘gratisan’.
Refol tidak hanya memberi pelajaran dan kegiatan, ia juga ingin membentuk anak-anak didiknya memiliki karakter yang kuat. “Saya ingat kata misionaris di kampung, jangan mengajari anak-anak mental ‘gratisan’. Makanya, biasanya mereka harus melakukan sesuatu dulu, seperti bersih-bersih rumah atau kerja bersama di lingkungan untuk mendapatkan makanan atau buku donasi (yang dikirimkan donatur),” katanya.
Baca juga: Hari Otonomi Khusus Papua, Jalan Panjang Mencapai Sejahtera
Refol mengalokasikan donasi untuk kebutuhan kecukupan gizi anak-anak didiknya. Apalagi ia menyaksikan kondisi ekonomi yang sulit membuat anak-anak tersebut tidak cukup gizi. Padahal gizi berpengaruh dalam proses pendidikan anak-anak pedalaman ini.
“Karena ada murid yang datang dari kampung lain, maka tidak sedikit yang tinggal di rumah orang atau kerabat. Tinggal di rumah sendiri saja sulit mendapatkan makanan bergizi, apalagi di rumah orang lain," kata Refol yang akhirnya diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara pada 2021.
Berkat dedikasi selama bertahun-tahun mengabdi di pedalaman Papua, Refol mendapat anugerah Guru Dedikatif Nasional dari Kemendikbudristek 2023. Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan perayaan Hari Guru Nasional 2023 di Jakarta.
Refol Malimpu
Lahir: Poso, 30 September 1989
Pendidikan: S-1 Pendidikan Bahasa Perancis Universitas Negeri Manado (2007-2012)
Penghargaan: Peraih Anugerah Guru Dedikatif Nasional 2023 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi