Kardono secara otodidak mempelajari aksara Jawa, naskah kuno, dan budidaya daluang demi kelestarian budaya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Secara otodidak Kardono (41) mempelajari aksara Jawa—Ha na ca ra ka dan budidaya daluang untuk bahan baku kertas tradisional. Kedua hal itu dilakukannya agar peninggalan leluhur Indramayu dan sekitarnya ataupun Indonesia terpelihara hingga anak cucu.
Kardono mengeluarkan koleksi naskah kuno dan salinannya, Selasa (14/5/2024) siang. Secara perlahan tamatan sekolah dasar ini membaca naskah primbon tentang naga hari untuk mencari rezeki, pernikahan, dan lindu (gempa bumi).
”Jika lindu terjadi malam hari di bulan Sura (Suro), banyak orang susah kekurangan makanan. Sesajen nasi tumpeng dan berdoa kepada nabi dianjurkan untuk keselamatan,” ucap Kardono.
Kardono lahir dan tumbuh besar di Desa Mekarjaya. Salah satu desa di Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dia memenuhi kebutuhan sehari-hari dari bengkel sepeda motor. Terkadang juga memperbaiki traktor warga yang rusak dan alat berat, seperti ekskavator.
Lima tahun lalu suami dari Idah ini mulai belajar aksara Jawa dari Google Translate. Selama sebulan penuh dia mengotak-atik aplikasi penerjemah itu sembari bertanya kepada Muhamad Mukhtar Zaedin, pegiat manuskrip sekaligus pengelola Situs Keramat Pangeran Pasarean di Cirebon.
”Banyak teman suka keris. Saya justru berpikir coba mengangkat sejarah dari naskah kuno. Semuanya otodidak sambil bertanya ke orang yang lebih bisa. Ini artinya benar atau tidak,” tuturnya.
Perlahan tetapi pasti, Kardono terus mengasah kemampuan sambil mengumpulkan naskah kuno dan berjejaring lewat seminar ataupun pelatihan. Salah satunya seminar hasil penelitian nilai-nilai agama dalam tradisi lisan di Indonesia bagian barat oleh Balai Pelatihan dan Pengembangan Agama Jakarta pada 22-23 Oktober 2019.
Selepas itu dia menjadi narasumber seminar tentang naskah dalam kajian antardisiplin ilmu pada era 4.0 pada 6 November 2019. Seminar ini dihelat Laboratorium Filologi Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIB UI, dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara.
Bahkan, pada tahun 2021, dia turut membantu digitalisasi manuskrip oleh Digital Repository of Endangered and Affected Manuscript in Southeast Asia atau Dreamsea di Indramayu. Proses digitalisasi berjalan dalam kurun 17-29 Maret.
Dua tahun berselang, Kardono kembali mengikuti pelatihan bimbingan teknis konservasi dan digitalisasi naskah oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara. Pelatihan berlangsung dua hari, pada 19-20 Agustus 2023.
Rumah Daluwang
Selain mempelajari ha na ca ra ka dan naskah kuno, Kardono juga menjadikan rumahnya sebagai tempat budidaya pohon daluang (Broussonetia papyrifera) atau saeh—dalam bahasa Sunda. Serat daluang ini cikal bakal kertas tradisional Indonesia yang masuk warisan budaya tak benda pada tahun 2014.
Seiring waktu saya tertarik bikin salinan naskah. Sekali lagi belajar otodidak dari Facebook dan tanya-tanya kenalan tentang daluang.
Pohon daluang ini tumbuh subur di halaman Rumah Daluwang—begitu rumah Kardono disebut. Jumlahnya mencapai puluhan dengan tinggi 10 cm hingga 2 meter lebih.
Siang itu, bapak dua anak ini menunjukkan sebagian proses pembuatan daluang. Mula-mula dia mengambil serat daluang yang telah dipotong dan direbus selama 4 jam lebih di tungku.
Selembar serat ini lantas diletakkan di atas papan beralas karpet. Sejurus kemudian dia memalu serat kayu hingga pipih. Palu yang dipakai sudah dimodifikasi bentuknya supaya tidak merusak serat daluang.
”Seiring waktu saya tertarik bikin salinan naskah. Sekali lagi belajar otodidak dari Facebook dan tanya-tanya kenalan tentang daluang,” ujarnya.
Kenalan yang dimaksudnya ialah Tedi Permadi, filolog (ahli filologi atau ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa) dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Tedi merupakan pelestari daluang yang memberikan Kardono bibit sekaligus berbagi cara membuat kertas tradisional.
Kardono biasanya menguliti satu pohon daluang setelah setahun. Waktu ini dianggap paling tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Setelah dikuliti, daluang dibersihkan, direbus, dan dipipihkan. Kemudian daluang dijemur di bawah sinar mentari hingga kering. Umumnya dia menghasilkan lembaran berukuran 25 cm x 127 cm dan 50 cm x 130 cm.
Kardono mematok harga Rp 50 per 1 cm persegi. Kertas tradisional ini paling banyak dijualnya ke Bali. Sesekali datang juga pesanan dari luar negeri, seperti Singapura.
Pesanan dari luar negeri kerap membuatnya kewalahan. Hal itu lantaran ukuran kertas yang diminta lebih dari 1 meter. Bahkan, pernah ada permintaan kertas berukuran 7 meter.
Selain menjual, Kardono turut memanfaatkan kertas tradisional tersebut untuk salinan naskah dan karya seni, seperti Babad Dermayu dan lukisan wajah tokoh ternama atau pemesannya. Lukisan ini dipajang berderet di teras rumahnya.
Setelah lima tahun, ada satu hal disadarinya. Masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan ke depan. Mulai dari mempelajari dan mengumpulkan lebih banyak naskah kuno tentang Indramayu ataupun daerah sekitarnya, menyalin naskah itu, hingga menyebarluaskan sebagai pengetahuan.
Semua hal di atas tak mudah. Akan tetapi, tekad Kardono untuk memelihara khazanah Indramayu sudah bulat sekalipun hanya tamatan sekolah dasar. Dia meyakini, selama ada kemauan di situ ada jalan.